Untuk menghilangkan 1.500 hektar rawa yang masih tersisa dari pembangunan terowongan pertama, pemerintah Indonesia punkemudian merencanakan pembangunan [[Parit Agung]] dan terowongan kedua,<ref name="jica7">{{cite book| last = | first = | title = Development of the Brantas River Basin (part 7)| publisher = [[JICA]]| series = | volume = | edition = | date = 1998| location = Tokyo| pages = 113| language = Inggris| url = https://openjicareport.jica.go.jp/pdf/11968989_07.pdf}}</ref> yang akhirnya mulai dibangun oleh [[Brantas Abipraya]] pada bulan Mei 1981 dengan menggunakan dana pinjaman dari [[ADB]] sebesar US$ 45,263 juta dan anggaran pemerintah Indonesia sendiri sebesar Rp 3,485 milyar. Pada bulan Oktober 1986, parit sepanjang 24,2 kilometer dan terowongan sepanjang 1,2 kilometer pun selesai dibangun, beserta 10 unit jembatan untuk memudahkan masyarakat dalam menyeberangi parit.<ref name="jica10">{{cite book| last = | first = | title = Development of the Brantas River Basin (part 10)| publisher = [[JICA]]| series = | volume = | edition = | date = 1998| location = Tokyo| pages = 218| language = Inggris| url = https://openjicareport.jica.go.jp/pdf/11968989_10.pdf}}</ref>
Untuk memanfaatkan air yang mengalir melalui terowongan kedua, pemerintah Indonesia lalu merencanakan pembangunan sebuah [[PLTA]] berkapasitas 36 MW, yang akhirnya mulai dibangun pada bulan April 1989 dengan menggunakan dana pinjaman dari pemerintah [[Austria]] sebesar US$ 28,2 juta dan anggaran pemerintah Indonesia sendiri sebesar Rp 6,612 milyar. PLTA yang dapat membangkitkan listrik hingga 184.000 MWh per tahun tersebut pun selesai dibangun pada bulan Desember 1991, dengan sebagian besar permesinannya dipasok oleh [[Voestalpine]] asal Austria.<ref name="jica10"/>