Darma: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bot5958 (bicara | kontrib)
k Perbaikan untuk PW:CW (Fokus: Minor/komestika; 1, 48, 64) + genfixes
Ariyanto (bicara | kontrib)
k Bersih-bersih (via JWB)
Baris 13:
| title = Dharma
| image1 = A havan ceremony on the banks of Ganges, Muni ki Reti, Rishikesh.jpg
| caption1 = Ritual dan ritus peralihan<ref>[[Gavin Flood]] (1994), Hinduisme, dalam Jean Holm, John Bowker (Editor) ''Rites of Passages'', {{ISBN|1-85567-102-6} }, Bagian 3; Kutipan – Kutipan–"Ritus peralihan adalah dharma dalam tindakan."; "Ritus peralihan, kategori ritual,..."</ref>
| image2 = Yoga Meditation Pos-410px.png
| caption2 = Yoga, perilaku pribadi<ref>lihat:
*[[David Frawley]] (2009), ''Yoga dan Ayurveda: Penyembuhan Diri dan Realisasi Diri'', {{ISBN|978-0-9149-5581-8}}; Kutipan – Kutipan–"Yoga adalah pendekatan dharma untuk kehidupan spiritual...";
* Mark Harvey (1986), The Secular as Sacred?, Modern Asian Studies, 20(2), hlm. 321–331.</ref>
| image3 = Ahimsa.svg
| caption3 = Kebajikan seperti [[ahimsa]] (tanpa kekerasan)<ref>lihat di bawah:
*[[J. A. B. van Buitenen]] (1957), "Dharma dan Moksa", ''Filsafat Timur dan Barat'', 7(1/2), hlm. 33–40;
*James Fitzgerald (2004), "Dharma and its Translation in the Mahābhārata", ''Journal of Indian Philosophy'', 32(5), hlm. 671–685; Kutipan – Kutipan–"kebajikan memasuki topik umum dharma sebagai 'umum, atau umum, dharma', ..."</ref>
| image4 = Balanced scales.svg
| caption4 = Hukum dan keadilan<ref>Bernard S. Jackson (1975), "Dari dharma ke hukum", ''The American Journal of Comparative Law'', Vol. 23, No. 3 (Musim Panas, 1975), hlm. 490–512.</ref>
| image5 = Raja Ravi Varma - Sankaracharya.jpg
| caption5 = Sannyasa dan [[Āśrama (panggung)|tahapan kehidupan]]<ref>[[Harold Coward]] (2004), "bioetika Hindu untuk abad kedua puluh satu", ''JAMA: The Journal of American Medical Association' ', 291(22), hlm. 2759–2760; Quote – Quote–"Pendekatan tahapan kehidupan Hindu (ashrama dharma)..."</ref>
| image6 = Dharma Wheel.svg
| caption6 = Tugas, seperti belajar dari [[Dharmachakra|guru]]<ref>lihat:
* Austin Creel (1975), "Pemeriksaan Ulang Dharma dalam Etika Hindu", ''Filsafat Timur dan Barat'', 25(2), hlm. 161-173; Kutipan – Kutipan–"Dharma menunjuk pada tugas, dan tugas tertentu ..";
* Gisela Trommsdorff (2012), Pengembangan regulasi "agen" dalam konteks budaya: peran pandangan diri dan dunia, Perspektif Perkembangan Anak, 6(1), hlm. 19–26.; Kutipan – Kutipan–"Mengabaikan tugas seseorang (dharma – tugasdharma–tugas suci terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan kemanusiaan) dipandang sebagai indikator ketidakdewasaan."</ref>
}}
 
Baris 90:
== Etimologi ==
Kata dharma berakar dari bahasa Sansekerta dhr-, yang berarti menahan atau menopang, dan berhubungan dengan bahasa Latin firmus (tegas, stabil).<ref>{{Cite journal|last=Algeo|first=John|last2=Barnhart|first2=Robert K.|last3=Steinmetz|first3=Sol|date=1989-12|title=The Barnhart Dictionary of Etymology|url=http://dx.doi.org/10.2307/414944|journal=Language|volume=65|issue=4|pages=848|doi=10.2307/414944|issn=0097-8507}}</ref> Dari sini, ia mengambil arti "apa yang ditetapkan atau tegas", dan karenanya "hukum". Ini berasal dari bahasa [[:en:Vedic Sanskrit|Sanskerta Weda]] yang lebih tua n-batang dharman-, dengan arti harfiah "pembawa, pendukung", dalam pengertian agama yang dipahami sebagai aspek Rta.
[[File:Dhamma inscription.jpg|pra=https://en.wiki-indonesia.club/wiki/File:Dhamma_inscription.jpg|jmpl|Kata Prakerta "dha-ṃ-ma"/[[wiktionary:𑀥𑀁𑀫|𑀥𑀁𑀫]] ([[Bahasa Sanskerta|Sansekerta]]: Dharma ) dalam aksara Brahmi, seperti yang ditulis oleh Kaisar Ashoka dalam Edicts of Ashoka-nya (abad ke-3 SM).]]
Dalam [[Regweda|Rigveda]], kata tersebut muncul sebagai n-batang, dhárman-, dengan berbagai arti yang mencakup "sesuatu yang mapan atau kokoh" (dalam arti literal prods atau poles). Secara kiasan, itu berarti "pemelihara" dan "pendukung" (para dewa). Secara semantik mirip dengan [[themis]] Yunani ("dekret tetap, undang-undang, hukum").
 
Dalam bahasa Sanskerta Klasik, dan dalam [[Bahasa Weda|bahasa Sanskerta Weda]] dari [[Atharwaweda|Atharvaveda]], batangnya adalah tematik: dhárma- ([[Aksara Dewanagari|Devanagari]]: ). Dalam [[Bahasa Prakerta|Prakrit]] dan [[Bahasa Pali|Pali]], itu diterjemahkan sebagai dhamma. Dalam beberapa bahasa dan dialek [[:en:Indo-Aryan languages#New Indo-Aryan|India kontemporer]], kata ini muncul sebagai dharma.
 
Pada abad ke-3 SM [[:en:Maurya Empire|Kaisar Maurya]] [[Asoka|Ashoka]] menerjemahkan dharma ke dalam bahasa Yunani dan Aram, ia menggunakan kata Yunani [[:en:Eusebeia|eusebeia]] (εὐσέβεια, kesalehan, kedewasaan spiritual, atau kesalehan) dalam [[:en:Kandahar Bilingual Rock Inscription|Prasasti Batu Bilingual Kandahar]] dan [[:en:Kandahar Greek Edicts of Ashoka|Dekrit Yunani Kandahar]].<ref>{{Cite book|last=Middleton|first=Hugh|date=2015|url=http://dx.doi.org/10.1057/9781137460585_2|title=The Medical Model: What Is It, Where Did It Come from and How Long Has It Got?|location=London|publisher=Palgrave Macmillan UK|isbn=978-1-349-49879-6|pages=29–40}}</ref> Dalam [[:en:Kandahar Bilingual Rock Inscription|Prasasti Batu Bilingual Kandahar]] ia menggunakan kata Aram (qšyṭ’; kebenaran, kebenaran).<ref name=":7"/>
Baris 106:
Arti kata dharma tergantung pada konteksnya, dan maknanya telah berkembang seiring dengan berkembangnya ide-ide Hinduisme sepanjang sejarah. Dalam teks-teks paling awal dan mitos kuno Hinduisme, dharma berarti hukum kosmik, aturan yang menciptakan alam semesta dari kekacauan, serta ritual; di kemudian [[Weda]], [[Upanisad|Upanishad]], [[Purana]] dan [[Wiracarita|Epos]], artinya menjadi halus, lebih kaya, dan lebih kompleks, dan kata itu diterapkan pada konteks yang beragam.<ref name="Horsch 423–448"/> Dalam konteks tertentu, dharma menunjuk perilaku manusia yang dianggap perlu untuk ketertiban di alam semesta, prinsip-prinsip yang mencegah kekacauan, perilaku dan tindakan yang diperlukan untuk semua kehidupan di alam, masyarakat, keluarga serta di tingkat individu.<ref name=":10"/><ref name=":10"/><ref name=":10"/><ref name="Horsch 423–448"/> Dharma mencakup gagasan-gagasan seperti tugas, hak, karakter, panggilan, agama, adat istiadat, dan semua perilaku yang dianggap pantas, benar, atau lurus secara moral.<ref>{{Cite book|date=1977|url=https://www.worldcat.org/oclc/4314257|title=The Concept of duty in South Asia|location=New Delhi|publisher=Vikas Pub. House|isbn=0-7069-0534-2|others=Wendy Doniger, J. Duncan M. Derrett|oclc=4314257}}</ref>
 
Antonim dari dharma adalah [[:en:Adharma|adharma]] (Sansekerta: ),<ref>{{Cite book|date=2009-11-26|url=http://dx.doi.org/10.1017/cbo9780511706547.002|title=A Sanskrit-English Dictionary pages 146 to 287|publisher=Cambridge University Press|pages=146–287}}</ref> yang berarti "bukan dharma". Seperti halnya dharma, kata adharma mencakup dan menyiratkan banyak gagasan; dalam bahasa umum, adharma berarti sesuatu yang bertentangan dengan kodrat, tidak bermoral, tidak etis, salah atau melanggar hukum.<ref>{{Cite book|date=1998|url=https://www.worldcat.org/oclc/36746459|title=Themes and issues in Hinduism|location=London|publisher=Cassell|isbn=0-304-33850-8|others=Paul Reid-Bowen|oclc=36746459}}</ref>
 
Dalam agama Buddha, dharma menggabungkan ajaran dan doktrin pendiri agama Buddha, [[Siddhartha Gautama|Sang Buddha]].
 
== Sejarah ==
Menurut Pandurang Vaman Kane, penulis buku otoritatif [[:en:History of Dharmaśāstra|History of Dharmaśāstra]], kata dharma muncul setidaknya lima puluh enam kali dalam himne [[Regweda|Rigveda]], sebagai kata sifat atau kata benda. Menurut Paul Horsch,<ref name="Horsch 423–448"/> kata dharma berasal dari mitos Hinduisme Veda. Himne Rig Veda mengklaim Brahman<ref name="Grassmann 1999"/> menciptakan alam semesta dari kekacauan, mereka memisahkan (dhar-) bumi dan matahari dan bintang-bintang, mereka mendukung (dhar-) langit menjauh dan berbeda dari bumi, dan mereka menstabilkan (dhar-) mengguncang gunung dan dataran.<ref name="Horsch 423–448"/><ref>{{Cite journal|last=Keith|first=A. Berriedale|date=1910-07|title=Der Rigveda im Auswahl. (Erster Teil, Glossar; Zweiter Teil, Kommentar.) By Karl F. Geldner. Stuttgart, 1907 and 1909.|url=http://dx.doi.org/10.1017/s0035869x00040363|journal=Journal of the Royal Asiatic Society|volume=42|issue=3|pages=921–930|doi=10.1017/s0035869x00040363|issn=1356-1863}}</ref> Para dewa, terutama Indra, kemudian membebaskan dan menjaga ketertiban dari kekacauan, keselarasan dari kekacauan, stabilitas dari ketidakstabilan – tindakanketidakstabilan–tindakan-tindakan yang dibacakan dalam Veda dengan akar kata dharma.<ref name="Horsch 423–448"/> Dalam himne yang disusun setelah syair-syair mitologis, kata dharma memiliki makna yang diperluas sebagai prinsip kosmik dan muncul dalam syair-syair yang tidak bergantung pada [[dewa]]. Ini berkembang menjadi sebuah konsep, klaim Paul Horsch,<ref name="Horsch 423–448"/> yang memiliki arti fungsional dinamis di [[Atharwaweda|Atharvaveda]] misalnya, di mana ia menjadi hukum [[:en:Buddhist cosmology|kosmik]] yang menghubungkan sebab dan akibat melalui subjek. Dharma, dalam teks-teks kuno ini, juga mengambil makna ritual. Ritual itu terhubung dengan kosmik, dan "dharmani" disamakan dengan pengabdian seremonial pada prinsip-prinsip yang digunakan para dewa untuk menciptakan keteraturan dari ketidakteraturan, dunia dari kekacauan<ref name="Horsch 423–448"/>. Melewati ritual dan rasa kosmis dharma yang menghubungkan dunia saat ini dengan alam semesta mitos, konsep tersebut meluas ke pengertian etis-sosial yang menghubungkan manusia satu sama lain dan dengan bentuk kehidupan lainnya. Di sinilah dharma sebagai konsep hukum muncul dalam agama Hindu.<ref name="Horsch 423–448"/><ref>{{Cite book|date=1887-12-31|url=http://dx.doi.org/10.1515/9783111486512-002|title=A. Aus dem Ṛig-Veda|publisher=De Gruyter|pages=1–40}}</ref>
 
Dharma dan kata-kata terkait ditemukan dalam literatur Veda tertua Hinduisme, di kemudian hari Weda, Upanishad, Purana, dan Epos; kata dharma juga memainkan peran sentral dalam literatur agama-agama India lainnya yang didirikan kemudian, seperti Buddhisme dan Jainisme.<ref name="Horsch 423–448"/> Menurut Brereton,<ref>{{Cite book|date=2012-09-10|url=http://dx.doi.org/10.4324/9781843145103-11|title=Parliament that has inherited its power from the monarch, and in the body of the monarch itself which contains the promises of both God and people. Today, law also finds its sources in the legislative acts of the European Community and the decisions of the European Court of Justice and the European Court of Human Rights (religion will often refer to a sacred text). All our understanding is reducible to the ability to comprehend the expansiveness and limits of our language and the cultural boundedness of our language. It was Edward Sapir who most poignantly maintained that the limits of our language are the limits of our world. Over the years of socialisation, ‘ways of seeing’ are developed that are socially constructed by the limits of a particular language. Yet, as language is all around, there is a temptation to see it as a neutral tool, a mirror that tells it ‘like it is’. All language does is to give someone else’s interpretation of their belief, or their experience. It is no more, and no less, than a guide to social reality. What is seen as, or believed to be, the real world may be no more than the language habits of the group. It is, therefore, often a biased view. Languages also have their limits: if language does not have a word for something or some concept then that ‘something’ will not be seen nor that ‘concept’ thought. All language is, however, responsive to what linguists call the ‘felt needs’ of its speakers. Indeed, it is more likely that not only are thoughts expressed in words but that thoughts themselves are shaped by language. An example of felt needs can be given from the vocabulary of weather. Although the English are often said to enjoy talking about the weather, for many decades our essentially mild climate has provided us with the need for only one word for ‘snow’ (that word is ‘snow’!). In English there are several words for cold, but only one word for ice. By contrast, the Aztecs living in the tropics have only one word to cover ‘snow’, ‘ice’ and ‘cold’ as separate words were unlikely to be used. As English speakers, it is impossible to state that ‘cold’ is synonymous with snow. Coldness is a characteristic of snow, but there can be ‘cold’ without ‘snow’. We would not be able to understand how snow and ice could be interchangeable. In English it is not possible for these two words to become synonyms. However, Inuits have many different words for ‘snow’. Words describe it falling, lying, drifting, packing, as well as the language containing many words for wind, ice and cold because much of their year is spent living with snow, ice, wind and cold. The above is one small illustration of the relationship between living, seeing, naming, language and thought. Language habits predispose certain choices of word. Words we use daily reflect our cultural understanding and at the same time transmit it to others, even to the next generation. Words by themselves are not oppressive or pejorative, but they acquire a morality or subliminal meaning of their own. A sensitivity to language usage therefore can be most revealing of the views of the speaker. For example, when parents or teachers tell a boy not to cry because it is not manly, or praise a girl for her feminine way of dressing, they are using the words for manly and feminine to reinforce attitudes and categories that English culture has assigned to males and females. Innocent repetition of such language as ‘everyday, taken-for-granted’ knowledge reinforces sexism in language and in society. In this way language determines social behaviour. Language, as a means of communication, becomes not only the expression of culture but a part of it. The|publisher=Routledge-Cavendish|isbn=978-1-84314-510-3|pages=24–24}}</ref> Dharman muncul 63 kali dalam [[Regweda|Rig-veda]]; Selain itu, kata-kata yang berhubungan dengan Dharma juga muncul dalam Rig-veda, misalnya sekali sebagai dharmakrt, 6 kali sebagai satyadharman, dan sekali sebagai dharmavant, 4 kali sebagai dharman dan dua kali sebagai dhariman.
Baris 160:
Dalam Kitab [[Ramayana]] Kedua, misalnya, seorang petani meminta Raja untuk melakukan apa yang dituntut dharma secara moral darinya, Raja setuju dan melakukannya meskipun kepatuhannya terhadap hukum dharma sangat merugikannya. Demikian pula, dharma adalah pusat dari semua peristiwa besar dalam kehidupan Rama, Sita, dan Lakshman di Ramayana, klaim Daniel Ingalls.<ref name="Ingalls 41"/>  Setiap episode Ramayana menyajikan situasi kehidupan dan pertanyaan etis dalam istilah simbolis. Masalah ini diperdebatkan oleh karakter, akhirnya yang benar menang atas yang salah, yang baik atas yang jahat. Untuk alasan ini, dalam Epos Hindu, raja yang baik, jujur secara moral, dan taat hukum disebut sebagai "dharmaraja".<ref>{{Cite book|last=Fitzgerald|first=James L.|last2=Fitzgerald|first2=James L.|date=2004|url=http://dx.doi.org/10.7208/chicago/9780226252513.001.0001|title=The Mahabharata, Volume 7: Book 11: The Book of the Women Book 12|publisher=University of Chicago Press|isbn=978-0-226-25250-6}}</ref>
 
Dalam [[Mahabharata]], epos utama India lainnya, demikian pula, dharma adalah pusat, dan disajikan dengan simbolisme dan metafora. Menjelang akhir epik, dewa Yama, yang disebut sebagai dharma<ref>{{Cite book|last=Doniger|first=Wendy|date=2022-08-12|url=http://dx.doi.org/10.1093/oso/9780197553398.003.0004|title=Book Seventeen, ''Mahaprasthanika Parvan'', The Book of the Great Departure|publisher=Oxford University Press|pages=129–C3.N50}}</ref> dalam teks, digambarkan mengambil bentuk seekor anjing untuk menguji belas kasih [[Yudistira|Yudhishthira]], yang diberitahu bahwa dia mungkin tidak memasuki surga dengan binatang seperti itu, tetapi menolak untuk meninggalkan temannya, untuk keputusan itu dia kemudian dipuji oleh dharma.  Nilai dan daya tarik Mahabharata tidak sebanyak dalam penyajian metafisika yang kompleks dan terburu-buru dalam buku ke-12, klaim Ingalls,<ref name="Ingalls 41"/> karena metafisika India lebih fasih disajikan dalam kitab suci Sansekerta lainnya; daya tarik Mahabharata, seperti Ramayana, adalah dalam penyajiannya tentang serangkaian masalah moral dan situasi kehidupan, di mana biasanya ada tiga jawaban yang diberikan, menurut Ingalls: satu jawaban adalah dari [[Bima (Mahabharata)|Bhima]], yang merupakan jawaban dari kekerasan, sudut pandang individu yang mewakili materialisme, egoisme, dan diri; jawaban kedua adalah tentang [[Yudistira|Yudhishthira]], yang selalu merupakan daya tarik bagi kesalehan dan dewa-dewa, kebajikan sosial dan tradisi; jawaban ketiga adalah [[Arjuna]] introspektif, yang berada di antara dua ekstrem, dan yang, klaim Ingalls, secara simbolis mengungkapkan kualitas moral terbaik manusia. Epos Hindu adalah risalah simbolis tentang kehidupan, kebajikan, adat istiadat, moral, etika, hukum, dan aspek dharma<ref>{{Cite book|last=Meyer|first=Johann Jakob|date=1971|url=https://www.worldcat.org/oclc/27729284|title=Sexual life in ancient India : a study in the comparative history of Indian culture|location=Delhi|publisher=Motilal Banarsidass Publishers Private Ltd|isbn=978-81-208-0638-2|edition=1st Indian ed|oclc=27729284}}</ref> lainnya.  Ada diskusi ekstensif tentang dharma pada tingkat individu dalam Epos Hindu, mengamati [[:en:Daniel H. H. Ingalls, Sr.|Ingalls]]; misalnya, pada kehendak bebas versus takdir, kapan dan mengapa manusia percaya pada keduanya, pada akhirnya menyimpulkan bahwa yang kuat dan makmur secara alami menjunjung tinggi kehendak bebas, sementara mereka yang menghadapi kesedihan atau frustrasi secara alami condong ke arah takdir.<ref>{{Cite book|date=2014-06-11|url=http://dx.doi.org/10.4324/9781315834696-28|title=motion, the latter being Elizabeth’s sole prerogative. faith vnto your force’. But faith in what? and whose In fashioning courtesy, for example, he is seeking to faith? We are never told, but the effect of her cry, fashion her courtiers; see ‘courtesy as a social code’ as Kane 1989:34 notes, affirms the general promise in the SEnc. More subversively, his poem challenges of the homilies that ‘true faith doth give life to the doctrinal claims of God’s grace at a time when, as works’. When the knight is freed from Orgoglio’s Gless 1994:37 notes, ‘the Protestant refusal to con-dungeon by Arthur, we may infer that he is re-cede that men might achieve meritorious works deemed by God’s grace, but the poem shows Arthur expresses a conviction that true virtue lies beyond the descending into the dungeon to rend its iron door reach of human capacity’. (He cites Bullinger, for and laboriously lift him up. When Fidelia teaches him whom one chief aim of the Reformation was to ‘Of God, of grace, of iustice, of free will’, we are not propagate the doctrine that belief in human merit is told what she says. The most theologically contro-the most insidiously corrupting error promoted by versial word in Book I – inescapableI–inescapable because predes-Roman Catholicism; for counter-claims, see Mallette tination was reformed theology’s central doctrine 1997:173–74.) Spenser wraps himself and his poem (see ‘Predestination’ in the SEnc) – occurs–occurs when Una in the Queen’s robes because he needed her protec-tells him not to despair of salvation because he is tion to speak through her. ‘chosen’. We may infer that he is among God’s elect predestined to salvation, but the poem tells us only Holiness: Book I|publisher=Routledge|isbn=978-1-315-83469-6|pages=30–30}}</ref>  Epos Hinduisme menggambarkan berbagai aspek dharma, mereka adalah sarana untuk mengkomunikasikan dharma dengan metafora.<ref>{{Cite book|last=Smith|first=Huston|date=[2009?]|url=https://www.worldcat.org/oclc/900542876|title=The world's religions|location=[New York, NY]|isbn=978-0-06-166018-4|edition=50th anniversary edition|others=Huston Smith|oclc=900542876}}</ref>
 
=== Menurut Vatsyayana abad ke-4 ===
Baris 189:
{{main|Āśrama (stage)|Puruṣārtha|l1=Āśrama}}
 
Beberapa teks Agama Hindu menguraikan ''dharma'' bagi masyarakat dan pada tingkat individu. Dari jumlah tersebut, yang paling banyak dikutip adalah ''Manusmriti'', yang menggambarkan keempat ''Varnas'', hak dan kewajiban mereka.<ref name=":7">{{Cite book|last=Hiltebeitel|first=Alf|date=2011|url=https://www.worldcat.org/oclc/650019987|title=Dharma : its early history in law, religion, and narrative|location=Oxford|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-539423-8|oclc=650019987}}</ref>  Namun, sebagian besar teks Hindu membahas ''dharma'' tanpa menyebutkan ''Varna'' (kasta).<ref>{{Cite book|date=1996-12-31|url=http://dx.doi.org/10.3138/9781442671072-018|title=Aššur-dān II|publisher=University of Toronto Press|pages=131–141}}</ref>  Naskah dharma dan Smritis lainnya berbeda dari [[Manusmerti|Manusmriti]] tentang sifat dan struktur Varnas.<ref name=":7" />  Namun, teks-teks lain mempertanyakan keberadaan varna. [[Bregu|Bhrigu]], dalam Epos, misalnya, menyajikan teori bahwa dharma tidak memerlukan varnas.<ref>{{Cite journal|last=Trautmann|first=Thomas R.|date=1964-07|title=On the Translation of the Term Varna|url=http://dx.doi.org/10.2307/3596240|journal=Journal of the Economic and Social History of the Orient|volume=7|issue=2|pages=196|doi=10.2307/3596240|issn=0022-4995}}</ref>  Dalam praktiknya, India abad pertengahan secara luas diyakini sebagai masyarakat yang bertingkat secara sosial, dengan setiap strata sosial mewarisi profesi dan menjadi endogami. Varna tidak mutlak dalam dharma Hindu; individu memiliki hak untuk meninggalkan dan meninggalkan Varna mereka, serta [[:en:Ashrama (stage)|asrama]] kehidupan mereka, untuk mencari moksa.<ref name=":7" /><ref name=":2"/>  Sementara baik Manusmriti maupun Smritis hinduisme yang menggantikan tidak pernah menggunakan kata varnadharma (yaitu, dharma varnas), atau varnasramadharma (yaitu, dharma varnas dan asrama), komentar ilmiah tentang Manusmriti menggunakan kata-kata ini, dan dengan demikian mengaitkan dharma dengan sistem varna India.<ref name=":7" /><ref>{{Cite book|date=1973-01-01|url=http://dx.doi.org/10.1163/9789004491601_003|title=The place of Hindu law in India. The dilemma of modern reformers|publisher=BRILL|pages=1–7}}</ref>  Di India abad ke-6, bahkan raja-raja Buddha menyebut diri mereka "pelindung varnasramadharma" – yaitu–yaitu dharma varna dan asrama kehidupan.<ref name=":7" /><ref>{{Cite journal|last=Lang|first=Karen|date=1996-08|title=The Āśrama System: The History and Hermeneutics of a Religious Institution. By Patrick Olivelle. New York: Oxford University Press, 1993. xxii, 274 pp. $49.95 (cloth).|url=http://dx.doi.org/10.2307/2646495|journal=The Journal of Asian Studies|volume=55|issue=3|pages=762–763|doi=10.2307/2646495|issn=0021-9118}}</ref>
 
Pada tingkat individu, beberapa teks Hinduisme menguraikan [[:en:Ashrama (stage)|empat āśrama]], atau tahap kehidupan sebagai dharma individu. Ini adalah:<ref>{{Cite journal|last=Widgery|first=Alban G.|date=1930-01|title=The Principles of Hindu Ethics|url=http://dx.doi.org/10.1086/intejethi.40.2.2377977|journal=The International Journal of Ethics|volume=40|issue=2|pages=232–245|doi=10.1086/intejethi.40.2.2377977|issn=1526-422X}}</ref> (1) [[Brahmacharya|brahmacārya]], kehidupan persiapan sebagai siswa, (2) [[:en:Grihastha|gṛhastha]], kehidupan perumah tangga dengan peran keluarga dan sosial lainnya, (3) [[Vanaprastham|vānprastha]] atau aranyaka, kehidupan penghuni hutan, transisi dari pekerjaan duniawi ke refleksi dan penolakan, dan (4) [[:en:Sannyāsa|sannyāsa]], kehidupan memberikan semua properti, menjadi pertapa dan pengabdian kepada moksa, masalah spiritual.
 
Empat tahap kehidupan melengkapi empat perjuangan manusia dalam hidup, menurut agama Hindu.<ref name=":8">{{Cite journal|last=Potter|first=Karl H.|date=1958-04|title=Dharma and Moksa from a Conversational Point of View|url=http://dx.doi.org/10.2307/1397421|journal=Philosophy East and West|volume=8|issue=1/2|pages=49|doi=10.2307/1397421|issn=0031-8221}}</ref>  Dharma memungkinkan individu untuk memuaskan perjuangan untuk stabilitas dan ketertiban, kehidupan yang halal dan harmonis, upaya untuk melakukan hal yang benar, menjadi baik, berbudi luhur, mendapatkan pahala agama, membantu orang lain, berinteraksi dengan sukses dengan masyarakat. Tiga upaya lainnya adalah [[:en:Artha|Artha]] – perjuangan–perjuangan untuk sarana kehidupan seperti makanan, tempat tinggal, kekuasaan, keamanan, kekayaan materi, dan sebagainya; [[Kama]] – perjuangan–perjuangan untuk seks, keinginan, kesenangan, cinta, pemenuhan emosional, dan sebagainya; dan [[Moksa]] – perjuangan–perjuangan untuk makna spiritual, pembebasan dari siklus kelahiran kembali kehidupan, realisasi diri dalam kehidupan ini, dan sebagainya. Keempat tahap tersebut tidak independen atau eksklusi dalam dharma Hindu.<ref name=":8" />
 
=== Dharma dan kemiskinan ===
Dharma yang diperlukan bagi individu dan masyarakat, bergantung pada kemiskinan dan kemakmuran dalam suatu masyarakat, menurut kitab suci dharma Hindu. Misalnya, menurut Adam Bowles,<ref name=":9">{{Cite book|last=Bowles|first=Adam|date=2007|url=https://www.worldcat.org/oclc/304341560|title=Dharma, disorder, and the political in ancient India : the Āpaddharmaparvan of the Mahābhārata|location=Leiden|publisher=Brill|isbn=978-90-474-2260-0|oclc=304341560}}</ref> [[:en:Shatapatha Brahmana|Shatapatha Brahmana]] 11.1.6.24 menghubungkan kemakmuran sosial dan ''dharma'' melalui air. Air berasal dari hujan, klaimnya; ketika hujan melimpah, ada kemakmuran di bumi, dan kemakmuran ini memungkinkan orang untuk mengikuti Dharma – kehidupanDharma–kehidupan yang bermoral dan halal. Di saat-saat sulit, kekeringan, kemiskinan, segala sesuatu menderita termasuk hubungan antara manusia dan kemampuan manusia untuk hidup sesuai dengan dharma.<ref name=":9" />
 
Dalam Rajadharmaparvan 91.34-8, hubungan antara kemiskinan dan dharma mencapai lingkaran penuh. Sebuah negeri dengan kehidupan yang kurang bermoral dan halal menderita kesusahan, dan ketika kesusahan meningkat itu menyebabkan kehidupan yang lebih tidak bermoral dan melanggar hukum, yang selanjutnya meningkatkan kesusahan.<ref name=":9" /><ref>{{Cite journal|last=Duncan|first=J.|last2=Dereett|first2=M.|date=1959-02|title=Bhū-Bharaṇa, Bhū-Pālana, Bhū-Bhojana: an Indian conundrum|url=http://dx.doi.org/10.1017/s0041977x00076163|journal=Bulletin of the School of Oriental and African Studies|volume=22|issue=1|pages=108–123|doi=10.1017/s0041977x00076163|issn=0041-977X}}</ref>  Mereka yang berkuasa harus mengikuti raja dharma (yaitu, dharma para penguasa), karena ini memungkinkan masyarakat dan individu untuk mengikuti dharma dan mencapai kemakmuran.<ref>{{Cite journal|last=Gonda|first=J.|date=1956|title=Ancient Indian Kingship From the Religious Point of View|url=http://dx.doi.org/10.1163/156852756x00041|journal=Numen|volume=3|issue=1|pages=36–71|doi=10.1163/156852756x00041|issn=0029-5973}}</ref>
Baris 225:
Dalam Bahasa Pali
 
# [[:en:Pariyatti|Pariyatti]] – pembelajaran–pembelajaran teori dharma sebagaimana terkandung dalam sutta kanon Pali
# Patipatti – mempraktikkanPatipatti–mempraktikkan teori dan
# Pativedha – ketikaPativedha–ketika seseorang menembus dharma atau melalui pengalaman menyadari kebenarannya.
 
== Jainisme ==
Baris 241:
{{further|Dravya}}
 
Istilah ''dharmāstikāya (sanskerta'': धर्मास्तिकाय) juga memiliki makna [[ontologi]]s dan soteriologis tertentu dalam Jainisme, sebagai bagian dari teorinya tentang enam ''dravya'' (substansi atau realitas). Dalam tradisi Jain, keberadaan terdiri dari ''[[:en:Jīva (Jainism)|jīva]]'' (jiwa, ''[[Atman|ātman]]'') dan ''ajīva'' (non-jiwa, ''[[:en:Anātman (Hinduism)|anātman]]''), yang terakhir terdiri dari lima kategori: materi atom non-hidup inert (''pudgalāstikāya''), ruang (''[[:en:Ākāśa|ākāśa]]''), waktu (''[[:en:Kāla|kāla]]''), prinsip gerak ( ''dharmāstikāya''), dan prinsip istirahat (''adharmāstikāya'').<ref>{{Cite book|date=1998|url=https://www.worldcat.org/oclc/44959977|title=Open boundaries : Jain communities and culture in Indian history|location=Albany, NY|publisher=State University of New York Press|isbn=0-585-06970-0|others=John E. Cort|oclc=44959977}}</ref><ref name=":12">{{Cite book|last=Dundas|first=Paul|date=2002|url=https://www.worldcat.org/oclc/252916273|title=The Jains|location=London|publisher=Routledge|isbn=0-203-39827-0|edition=2nd ed|oclc=252916273}}</ref>  Penggunaan istilah ''dharmāstikāya'' untuk berarti gerak dan merujuk pada sub-kategori ontologis khas Jainisme, dan tidak ditemukan dalam metafisika agama Buddha dan berbagai aliran Hindu.<ref name=":12" />
 
== Sikhisme ==