Kerajaan Blambangan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k clean up, removed stub tag
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 64:
 
== Sejarah Blambangan ==
Menjelang awal abad ke-15, pada tahun 1489, cucu ''Lembu Miruda'' (penguasa [[Tengger]]), putra ''MenakMas Sembar'' (penguasa [[LumajangPuger]]) yang bernama '''Bima Koncar''' telah meneguhkan dirinya sebagai penguasa [[Lumajang]] dan [[Semenanjung Blambangan]] yang memerintah hingga tahun 15001501.
 
Dari laporan [[Tome Pires]], ''Bima Koncar'' memiliki putra bernama '''Pate Pimtor''', memerintah antara 1501-1531, yang berhasil memperluas wilayah Blambangan.
Dari laporan [[Tome Pires]], ''Bima Koncar'' memiliki putra bernama '''Menak Pentor''', memerintah antara 1500-1546, yang berhasil memperluas wilayah Blambangan. Di bawah kekuasaan ''Menak Pentor'', Blambangan menjadi kerajaan yang kuat, kaya, dan makmur. Wilayahnya meliputi [[Lumajang]] di bagian selatan dan [[Panarukan]] di utara, hingga ujung timur [[Pulau Jawa]]. Letaknya pun cukup strategis, karena dikelilingi oleh lautan di ketiga sisinya, sehingga banyak memiliki pelabuhan. Salah satu pelabuhan di pesisir utara Blambangan yang paling terkenal adalah [[Panarukan]]. Berita dari Serat Kanda menyebutkan, bahwa [[Dyah Ranawijaya]], setelah [[Daha]] jatuh ke pasukan [[Kesultanan Demak|Demak]], melarikan diri ke [[Panarukan]] (kini nama kecamatan di Kab. [[Situbondo]], [[Jawa Timur]], utara [[Banyuwangi]]). Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi [[Kerajaan Majapahit]], dan menjadi salah satu persinggahan bagi kapal-kapal yang hendak melanjutkan pelayaran ke Maluku untuk berdagang rempah-rempah. Dengan tibanya Dyah Ranawijaya di kota pelabuhan ini, wilayah Panarukan bisa dianggap sebagai kelanjutan [[Kadiri]]. Dan berdasarkan penuturan orang [[Hindia Belanda]] kemudian, daerah Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai '''Kerajaan Blambangan'''. Hal ini sesuai berita [[Portugis]] yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu dari Panarukan ke [[Malaka]] pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam-Demak di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah bagian dari Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya [[Trenggana|Sultan Trenggana]] raja ke-3 Demak pada 1546. Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya, termasuk [[Pasuruan]] yang ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Blambangan mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tidak mampu menembus kota Panarukan.
 
Di bawah kekuasaan ''Menak Pentor'', Blambangan menjadi kerajaan yang kuat, kaya, dan makmur. Wilayahnya meliputi [[Lumajang]] di bagian selatan dan [[Panarukan]] di utara, hingga ujung timur [[Pulau Jawa]].
Setelah Demak mundur, giliran [[Kerajaan Gelgel]] dan [[Kerajaan Mengwi]] dari [[Bali]] yang menyerang dan merebut Blambangan dari ''Menak Pentor''. Hingga antara tahun 1546-1572, Blambangan berada di bawah kekuasaan [[Kerajaan Gelgel]].
 
Letak Blambangab pun cukup strategis, karena dikelilingi oleh lautan di ketiga sisinya, sehingga banyak memiliki pelabuhan. Salah satu pelabuhan di pesisir utara Blambangan yang paling terkenal adalah [[Panarukan]].
Pada 1572, cucu ''Bima Koncar'', putra ''Menak Djinggo'' bernama '''Sontoguno''', berhasil merebut Panarukan dari Kerajaan Gelgel-Mengwi dan memperkuat kembali kerajaan Blambangan, beribukota di [[Baluran]]. Selama masa kekuasaan Sontoguno, Blambangan mendapat kunjungan delegasi Portugis, yang berhasil mengajak beberapa keluarga kerajaan Blambangan masuk Katolik.
 
Berita dari Serat Kanda menyebutkan, bahwa [[Dyah Ranawijaya]], setelah [[Daha]] jatuh ke tangan pasukan [[Kesultanan Demak|Demak]], melarikan diri ke [[Panarukan]] (kini nama kecamatan di Kab. [[Situbondo]], [[Jawa Timur]].
Pada tahun 1597, giliran Blambangan diserang oleh pasukan [[Pasuruan]] yang dibantu [[Kesultanan Demak]]. Setelah mengalahkan aliansi Pasuruan-Demak, ''Sontoguno'' digantikan oleh ''Pangeran Singosari'' atau '''Prabhu Tawang Alun I'''. Kemudian pada tahun 1638, giliran [[Kesultanan Mataram]] menyerang dan menduduki Blambangan, hingga membuat ''Tawang Alun I'' terpaksa melarikan diri, sedangkan putra mahkotanya, ''Mas Kembar'', menjadi tawanan.
 
Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi [[Kerajaan Majapahit]], dan menjadi salah satu persinggahan bagi kapal-kapal yang hendak melanjutkan pelayaran ke Maluku untuk berdagang rempah-rempah.
Dibawah kekuasaan [[Kesultanan Mataram]], pada tahun 1645, ''Mas Kembar'' naik tahta dengan gelar '''Prabhu Tawang Alun II''', Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka, dan akibatnya pertempuran antara Mataram dan Blambangan pun terjadi kembali, dan berakhir dengan kemenangan Mataram. Menyebabkan ''Tawang Alun II'' melarikan diri dan pada tahun 1649 memindahkan pusat kerajaan Blambangan ke wilayah selatan, ke daerah [[Macanputih, Kabat, Banyuwangi|Macanputih]] dan pelabuhan utama ke [[Muncar, Banyuwangi|Muncar]]. Dibawah pemerintahan ''Tawang Alun II'', kerajaan Blambangan maju dengan pesat di mana kekuasaannya menyatu dari [[Bali]], [[Banyuwangi]], [[Jember]] hingga ke [[Lumajang]].
 
Dengan tibanya Dyah Ranawijaya di kota pelabuhan ini, wilayah Panarukan bisa dianggap sebagai kelanjutan [[Kadiri]]. Dan berdasarkan penuturan orang [[Hindia Belanda]] kemudian, daerah Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan tersendiri.
Kemudian, usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya [[Jawa Tengah]]. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh [[Bali]]-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.
 
Hal ini sesuai berita [[Portugis]] yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu dari Panarukan ke [[Malaka]] pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam-Demak di Jawa.
 
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya, termasuk [[Pasuruan]] yang ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa.
 
Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tidak mampu menembus kota Panarukan.
 
Setelah Demak mundur, giliran utusan dari [[Kerajaan Gelgel]] di [[Bali]] yang menyerang dan merebut Panarukan dari Blambangan. Pada tahun 1572 itu, '''Sontoguno''', berhasil merebut Panarukan dan mendirikan kerajaan Blambangan Timur di sana.
 
Pada 1572, cucu ''Bima Koncar'', putra ''Menak Djinggo'' bernama '''Sontoguno''', berhasil merebut Panarukan dari Kerajaan Gelgel-Mengwi dan memperkuat kembali kerajaan Blambangan, beribukota di [[Baluran]]. Selama masa kekuasaan Sontoguno, Blambangan Timur mendapat kunjungan delegasi Portugis, yang berhasil mengajak beberapa keluarga kerajaan Blambangan masuk Katolik.
 
Pada tahun 1597, giliran Blambangan diserang oleh pasukan [[Pasuruan]] yang dibantu [[Kesultanan Demak]].
 
Setelah mengalahkan aliansi Pasuruan-Demak, ''Sontoguno II'' digantikan oleh menantunya bernama Mas Kriyan yang memindahkan ibukotanya ke Kedhawung.
 
Pada 1633 Mas Kriyan ditaklukkan oleh ''Pangeran Singosari'' atau Menak Lumpat dari Blambangan Barat. Putra Menak Lumpat menjadi Pangeran Kedhawung.
 
Pangeran Kedhawung kemudian naik tahta menggantikan ayahnya dan bergelar '''Prabhu Tawang Alun I'''.
 
Kemudian bertubi-tubi antara tahun 1635-1636 dan 1638-1639, giliran [[Kesultanan Mataram]] menyerang dan menduduki Blambangan, hingga membuat ''Tawang Alun I'' terpaksa melarikan diri sehingga disebut Tanpa Una, sedangkan putra mahkotanya, ''Mas Kembar'', menjadi tawanan dan diboyong ke Mataram.
 
Dibawah kekuasaan [[Kesultanan Mataram]], pada tahun 1649, ''Mas Kembar'' naik tahta dengan gelar '''Adipati Tawang Alun II'''.
 
Sepeninggal Sultan Agung atau tiga tahun setelah dilantik sebagai penguasa Blambangan vasal Mataram itu, Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka (23 Pebruari 1652), sunan Mangkurat Agung tidak pernah mengirim pasukan lagi ke Blambangan.
 
Tahun 1653 terjadi konflik antara ''Tawang Alun II'' dengan adiknya sehingga dia pergi bertapa dan kemudian mendirikan kerajaan baru di [[Macanputih, Kabat, Banyuwangi|Macanputih]] dan pelabuhan utama ke [[Banyualit |Blimbingsari dan Muncar|Muncar]].
 
Dibawah pemerintahan ''Tawang Alun II'', kerajaan Blambangan maju dengan pesat di mana kekuasaannya menyatu dari [[Bali]], [[Banyuwangi]], [[Jember]] hingga ke [[Lumajang]].
 
Kemudian, usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya [[Jawa Tengah]]. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh [[Bali]]-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.
 
== Keruntuhan Blambangan ==