Tiwah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Busu Neneng (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 90:
=== Keberadaan negara bangsa ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het slachten van runderen tijdens de grote verzoening in de Dajak kampong Toembanganoi onder leiding van de controleurs A.C. de Heer en J.P.J. Barth, Midden-Borneo. TMnr 60046395.jpg|kiri|jmpl|289x289px|Pertemuan kepala suku dari seluruh Pulau Kalimantan pada 1894 yang menghasilkan perjanjian Tumbang Anoi.]]
Hadirnya negara yang kemudian mengadministrasi dan mengatur kehidupan penduduknya melalui peraturan, turut mempengaruhi sejumlah perubahan dalam penyelenggaran upacara Tiwah. Munculnya misionaris Kristen yang juga bersamaan dengan hadirnya [[Hindia Belanda|negara kolonial Belanda]] berpengaruh terhadap tradisi kurban upacara [[Tiwah]], upacara [[Kwangkey]], maupun upacara kematian suku Dayak lainnya. Dalam masyarakat Dayak, ketika seorang yang memiliki status sosial tinggi seperti bangasawan meninggal dunia, maka ada kepercayaan bahwa arwahnya perlu ditemani. Dalam mencari teman tersebut, orang Dayak akan melakukan '''''mangayau''''', yakni sebuah tradisi perburuan kepala manusia yang nantinya akan menjadi kurban dalam upacara Tiwah. Dalam melaksanakan orang Dayak biasanya akan mencari kepala manusia yang berasal dari suku lain. Semakin banyak kepala manusia yang didapat maka akan semakin baik bagi arwah. Dalam kepercayaan suku Dayak, arwah kepala manusia hasil buruan tersebut dipercaya akan menjadi pelayan.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://mmc.gunungmaskab.go.id/?p=373|title=Sejarah Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi Tahun 1894|last=edu|date=2018-04-10|website=MULTI MEDIA CENTER|language=id-ID|access-date=2019-04-11}}</ref> Bagi sang pemburu pyang berhasil mendapatkan kepala manusia akan mendapat kenaikan status sosial dalam masyarakat. Jika ''mangayau'' gagal dan tidak mendapatkan kepala, maka yang akan menjadi penggantinya adalah para budak. Kepala manusia yang sudah dikumpulkan itu nantinya akan ditanam di bawah ''sapundu''.<ref name=":0" />
 
Kehadiran Belanda sebagai negara kolonial yang kemudian mengatur kehidupan masyarakat Dayak kemudian melakukan pelarangan terhadap tradisi mengayau. Pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894 Belanda mengumpulkan seluruh kepala suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan. Pertemuan ini kemudian melahirkan Perjanjian [[Tumbang Anoi, Damang Batu, Gunung Mas|Tumbang Anoi]] yang bertujuan untuk mengakhiri rasa saling bermusuhan dan sekaligus mempertegas pemberlakuan larangan ''mangayau''. Selain itu, sistim perbudakan yang ada dalam masyarakat Dayak juga dihapuskan.<ref name=":4" /> Dalam upacara Tiwah, kurban kepala manusia akhirnya diganti dengan kurban kepala hewan terutama kerbau.