Bahasa Kampar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada sumber, kontroversial, hapus saja.
tidak jelas halaman berapa
Baris 2:
 
== Sejarah ==
Perkembangan bahasa Kampar tidak terlepas dari sejarah Kampar sejak zaman [[Sriwijaya|Kerajaan Sriwijaya]]. Dalam sejarah disebutkan bahwa saat itu wilayah Kampar sempat menjadi pusat pemerintahan dan peribadatan bagi Kerajaan Sriwijaya yang semula bernama Kerajaan Muara Takus. Kemudian didirikanlah [[Candi Muara Takus]] di tepi Sungai Kampar Kanan sebelum akhirnya berpindah ke [[Kota Palembang|Palembang]]. Kerajaan Sriwijaya saat itu menggunakan [[Bahasa Melayu Kuno|bahasa Melayu Kuna]], sebagaimana yang tertulis pada Prasasti Kedukan Bukit. Hal ini didukung oleh [[I Ching|catatan Tiongkok]], bahwa Kerajaan Sriwijaya pada awalnya bernama Kerajaan Melayu dengan bahasa pengantarnya bahasa Melayu. Kemudian bahasa Melayu berkembang pesat seiring dengan ekspansi Kerajaan Sriwijaya.
 
Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh, mulailah pengaruh dari [[Kesultanan Melaka|Kesultanan Malaka]] dan [[Kerajaan Pagaruyung]] di pedalaman Minangkabau. Berdasarkan [[Sulalatus Salatin]], disebutkan adanya keterkaitan [[Kesultanan Melayu Melaka]] dengan Kampar. Kemudian juga disebutkan Sultan Melaka terakhir, [[Sultan Mahmud Shah]] setelah jatuhnya [[Bintan]] tahun 1526 ke tangan [[Portugis]], melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya mangkat dan dimakamkan di Kampar.<ref>Winstedt, R., (1962), ''A History of Malaya'', Marican.</ref>
 
Tomas Dias dalam ekspedisinya ke pedalaman Minangkabau tahun 1684, menyebutkan bahwa ia menelusuri [[Sungai Siak]] kemudian sampai pada suatu kawasan, pindah dan melanjutkan perjalanan darat menuju [[Sungai Kampar]]. Dalam perjalanan tersebut ia berjumpa dengan penguasa setempat dan meminta izin menuju [[Pagaruyung]].<ref>Haan, F. de, (1896), ''Naar midden Sumatra in 1684'', Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.</ref> Saat itu Kampar merupakan kawasan yang strategis untuk perniagaan, sehingga menjadi wilayah rantau bagi Luhak Limapuluh Kota di pedalaman dan dikenal sebagai ''Rantau Limo Koto.'' Komunikasi masyarakat antara wilayah Luhak dengan Rantau tersebut terus terjalin, sehingga masyarakat kedua daerah tersebut memiliki kemiripan dialek.