Gajah Mada: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dikembalikan ke revisi 22711935 oleh Arya-Bot (bicara): Tidak diberi referensi (TW)
Tag: Pembatalan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 45:
*Arca Bima, No.2776/286b.
}}
Penggambaran rupa Gajah Mada yang populer di media sebenarnya adalah imajinasi dari [[Mohammad Yamin]], di bukunya yang berjudul "Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara", terbit pertama kali tahun 1945. Pada suatu hari di tahun 1940-an, Yamin mengunjungi Trowu­lan untuk melihat lokasi bekas kerajaan Majapahit. Ia menemukan pecahan terakota, salah satunya celengan berupa wajah seorang pria berwajah gempal dan berambut ikal. Berdasar airbentuk muka wajah ce­lengan itu, Yamin menafsirkan seperti itulah wajah Gajah Mada sang pemersatu Nusantara. Yamin kemudian meminta seniman [[Henk Ngantung]] membuat lukisan seperti terakota tersebut. Hasil lukisan lalu dipampang sebagai sampul muka buku karya Yamin. Banyak orang yang menentang pendapat Yamin, karena mustahil wajah tokoh sebesar Gajah Mada dipampangkan di celengan. Hal semacam itu adalah penghinaan karena biasanya para pemuka negara pada zaman Hindu Buddha, termasuk Majapahit, diarcakan. Bebe­rapa orang bahkan yakin bahwa wajah yang disangka Gajah Mada itu tidak lain adalah wajah Yamin sendiri.<ref>{{Cite book|last=Oktorino|first=Nino|date=2020|title=Hikayat Majapahit - Kebangkitan dan Keruntuhan Kerajaan Terbesar di Nusantara|location=Jakarta|publisher=Elex Media Komputindo|pages=128-129|url-status=live}}</ref>
 
Ada pula gambaran lain soal sosok Gajah Mada, berbeda dari yang diilustrasikan M. Yamin, yakni hasil penelitian arkeolog [[Universitas Indonesia]] Agus Aris Munandar. Dia mengilustrasikan Gajah Mada selayaknya sosok Bima dalam pewayangan, yakni berkumis melintang.<ref>{{Cite news|url=https://news.detik.com/berita/d-3106104/sejarawan-wajah-gajah-mada-karya-m-yamin-pertama-ada-tahun-1945|title=Sejarawan: Wajah Gajah Mada Karya M Yamin Pertama Ada Tahun 1945|last=Damarjati|first=Danu|date=29 Desember 2015|work=[[Detik.com|detikcom]]|access-date=14 Agustus 2019}}</ref> Dalam media populer, Gajah Mada kebanyakan ditampilkan bertelanjang dada, memakai kain sarung, dan menggunakan senjata berupa [[keris]]. Meskipun ini mungkin benar dalam tugas sipil, pakaian lapangannya mungkin berbeda: Seorang patih Sunda menerangkan, seperti yang tertulis dalam kidung Sundayana, bahwa Gajah Mada mengenakan ''[[karambalangan]]'' (lapis logam di depan dada—''[[Plastron|breastplate]]'') berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.<ref>Berg, Kindung Sundāyana (Kidung Sunda C), Soerakarta, Drukkerij “De Bliksem”, 1928.</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.nusantarareview.com/baju-baja-emas-gajah-mada.html|title=Baju Baja Emas Gajah Mada|last=Nugroho|first=Irawan Djoko|date=6 August 2018|website=Nusantara Review|archive-url=|archive-date=|dead-url=|access-date=14 August 2019}}</ref>
 
{{multiple image
| total_width = 410
| image1 = Patung Candi Singasari Baju Besi.jpg
| image2 = Seated Male Deity Holding a Cuirass (Chest Armour) last quarter of the 10th–first half of the 11th century.jpg
| footer = [[Baju zirah]] yang mungkin dipakai Gajah Mada, kiri ke kanan:<br>
*Baju[[Kawaca|Pakaian perang]] atau baju besi dari sebuah patung candi di Singasari.
*Patung dewa memegang sebuah [[kuiras]], dari [[Nganjuk]], [[Jawa Timur]], pada masa sebelumnya (abad ke-10 sampai ke-11).
}}
 
Menurut Munandar, pada awalnya Gajah Mada diarcakan sebagai tokoh Brajanata dalam [[Cerita Panji|cerita panji]], dan sebagai Bima dalam cerita [[Mahabharata]] pada masa kemudian. Pada awalnya Gajah Mada tidak langsung diarcakan sebagai tokoh Bima, ia diarcakan sebagai tokoh Brajanata karena kisah Panji lebih dulu dikenal daripada kegiatan pembuatan arca-arca Bima yang agaknya mulai berlangsung pada pertengahan abad ke-15. Pemuliaan Gajah Mada pada tahap pertama bersifat profan—adalah dalam bentuk pengarcaannya sebagai Brajanata, namun selanjutnya terjadi pemuliaan Gajah Mada dalam tahap kedua yang lebih bersifat sakral, yaitu disetarakan dengan Bima sebagai salah satu aspek SivaSiwa.<ref>Munandar, 2010: 121</ref> Pada arca yang terdapat di Museum Nasional, arca tersebut digambarkan berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk seperti topi ''tekes''. Ia mengenakan busana dan perhiasan gelang dan kelat lengan atas berupa ular sebagaimana Bima.<ref>Munandar, 2010: 116-117</ref>
 
Arca Bima dibuat pada masa akhir Majapahit dalam pertengahan abad ke-15. Ciri-cirinya adalah: a) Memakai mahkota ''supit urang'' (rambutnya dibentuk 2 lengkungan di puncak kepala seperti jepitan udang), b) Berkumis melintang, c) Berbadan tegap, d) Memakai kain ''poleng'' (hitam-putih), e) Lingganya selalu digambarkan menonjol.<ref name="Munandar, 2010: 116">Munandar, 2010: 116</ref> Pada arca Bima yang tersimpan di Museum Nasional, beliau digambarkan berdiri tegak dengan kedua tangan disamping tubuhnya, tangan kanan memegang ''[[Gada|gadha]]'', lingganya digambarkan menonjol menyingkanmenyingkirkan selendang yang menjuntai di antara 2 kaki, memakai ''upawita'' ular, mahkota supit urang, wajah sangar, kumis tebal melintang, rambut di atas dahinya digambarkan ikal membentuk seperti ''jamang'' (hiasan dahi).<ref>Munandar, 2010: 118</ref> Adanya kesamaan antara arca Brajanata sebagai perwujudan Gajah Mada dengan arca Bima bukanlah suatu kebetulan, melainkan terdapat konsepsi yang mendasarinya: Konsepsi itu berkembang seiring dengan semakin jauhnya jarak peristiwa sejarah dengan para pemujanya pada masa yang lebih kemudian.<ref name="Munandar, 2010: 116" />
 
== Arti nama ==
Baris 106 ⟶ 107:
Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara selama 21 tahun, yakni antara tahun 1336 sampai 1357. Isi program politik ialah menundukkan negara-negara di luar wilayah Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan, yakni Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam kitab ''Nagarakretagama ''pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang disebutkan jauh lebih banyak daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara.
 
=== InvasiEkspansi ===
Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dibantu oleh Laksamana Nala, Gajah Mada memulai kampanye penaklukannya dengan menggunakan pasukan laut ke daerah [[Sumatra|Swarnnabhumi]] (Sumatra) tahun [[1339]], pulau [[Bintan]], [[Tumasik]] (sekarang [[Singapura]]), [[Semenanjung Malaya]], kemudian pada tahun [[1343]] bersama dengan [[Arya Damar]] menaklukan [[Kerajaan Bedahulu|Bedahulu]] (di [[Bali]]) dan kemudian penaklukan [[Lombok]], dan sejumlah negeri di [[Kalimantan]] seperti [[Kabupaten Kapuas|Kapuas]], [[Kabupaten Katingan|Katingan]], [[Sampit, Kotawaringin Timur|Sampit]], Kotalingga ([[Kabupaten Seruyan|Tanjunglingga]]), [[Kotawaringin Lama, Kotawaringin Barat|Kotawaringin]], [[Kabupaten Sambas|Sambas]], [[Lawai]], [[Kendawangan, Ketapang|Kendawangan]], [[Kabupaten Landak|Landak]], [[Samadang]], [[Tirem]], [[Sibu|Sedu]], [[Brunei]], [[Kota Tarakan|Kalka]], [[Tana Tidung|Saludung]], [[Kepulauan Sulu|Sulu]], [[Kabupaten Paser|Pasir]], [[Kabupaten Barito Utara|Barito]], [[pulau Sebuku, Kotabaru|Sawaku]], [[Kabupaten Tabalong|Tabalung]], [[Kesultanan Kutai Kartanegara|Tanjungkutei]], dan [[Suku Dayak Melanau|Malano]].