Masjid Raya Piladang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 42:
Menggunakan atap ijuk, Masjid Raya Piladang ini dulunya ditumpang dengan tiang kayu dari pohon utuh berukuran besar. Di bagian tengah masjid terdapat satu tiang yang lebih besar dari tiang lainnya atau dikenali dengan "Tunggak Macu". Tiang itu ukurannya sebesar 3 kali rangkulan tangan orang dewasa.
Kayu-kayu tersebut dicari oleh warga di kawasan hutan [[Sungai Beringin, Payakumbuh, Lima Puluh Kota|Sungai Baringin]].
Kemudian kayu yang telah ditebang diangkut secara gotong royong ke lokasi pembangunan masjid melalui aliran sungai.
Pembangunan masjid pun dilakukan secara gotong royong. Mulai dari membentuk arsitektur masjid hingga bangunan jadi.<ref>Ja'far Jalil, ''kisah seorang wali nagari Piladang masa lampau (2023)''</ref>
[[Berkas:Masjid Raya Piladang 2020 03.jpg|jmpl|Bagian Dalam Masjid pada tahun 2020]]
Tak seperti masjid-masjid tua pada umumnya, masjid ini didirikan tidak dengan atap yang berundak-undak atau bertingkat. Pada saat dibangun, masjid ini diberikan nama '''Masjid Piladang''', dan beberapa tahun setelah merdeka berganti menjadi Masjid Raya Piladang.
Salah satunya saat bangunan masjid mengalami kerusakan berat akibat guncangan [[Gempa bumi Sumatra Barat 2009|gempa pada 30 September 2009]] silam di Sumbar. Namun kala itu, masjid ini cukup lama digunakan dalam kondisi memprihatinkan karena dindingnya banyak yang retak. Pada 2017, masjid ini baru direnovasi, meliputi pemasangan plafon, perbaikan kubah, perbaikan dinding, dan penggantian keramik.<ref name=":1" />
Kini, berdasarkan catatan Kementerian Agama, Masjid Raya Piladang berdiri kokoh di atas tanah seluas 1.600 meter persegi dengan luas bangunan 900 meter persegi.
|