Perang Bubat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Surijeal (bicara | kontrib)
Off topic, Wikipedia is not a place for original research. Some of the claims have no citations.
Baris 40:
Pada awal abad ke-20, CC Berg, sejarawan Belanda, menerbitkan teks ''[[Kidung Sunda]]'' berikut terjemahannya (1927). Karya sastra Bali ini menyingkap insiden Bubat, dan merupakan bentuk ringkas dari ''Kidung Sundayana'' (1928). Di bidang penulisan sejarah Jawa, Berg menyebut ''Kidung Sunda'' — yang kemungkinan besar disusun sesudah tahun 1540 di Bali — memuat fakta-fakta bersejarah karena insiden Bubat dikukuhkan oleh naskah Sunda kuno, ''Carita Parahyangan''. Berg menyimpulkan bahwa, "di dalam ''Kidung Sunda'' haruslah kita lihat sisa-sisa sastrawi dari cerita-cerita rakyat dan dalam tema yang sama dengan fragmen ''Pararaton''..."<ref name="Historia1"/>
 
Beberapa ahli cukup ragu dengan beberapa teks tersebut termasuk [[Pararaton]], sejarawan Aminuddin Kusdi menyebut bahwa [[Kidung Sunda]] merupakan sumber sekunder bahkan tersier. Beberapa fakta didalamnya tidak sesuai dengan sumber lain yang lebih kredibel seperti Prasasti. Dan periode abad ke-19 yang merupakan masa penulisan [[Kidung Sunda]] dikenal sebagai masa munculnya beberapa karya sastra kontroversial.<ref name="Historia1" /> Dan menurut arkeolog Hassan Djafar, dari 30 Prasasasti Kerajaan Sunda dan 50 Prasasasti Kerajaan Majapahit tidak ada yang menyebutkan mengenai Perang Bubat, sumber hanya berasal dari naskah atau manuskrip.<ref name=":0">{{Cite news|title=Drama Bubat dan Panas-Dingin Hubungan Majapahit-Sunda|url=https://historia.id/kuno/articles/drama-bubat-dan-panas-dingin-hubungan-majapahit-sunda-DnE7B/page/1}}</ref>.
 
Patut dicermati bahwa ''[[Nagarakretagama]]'' yang dikarang Mpu [[Prapanca]] pada tahun 1365, dan secara luas dipandang sebagai sumber primer sejarah Majapahit, sama sekali tidak menyinggung peristiwa ini. Oleh karena itu beberapa sejarawan mempertanyakan keaslian ''Pararaton'', serta berpendapat bahwa ''Kidung Sunda'' hanyalah sebuah novel fiksi kuno dan Perang Bubat tidak pernah terjadi.<ref>{{Cite news|url=https://www.viva.co.id/berita/nasional/631196-perang-bubat-kisah-nyata-atau-rekaan|title=Perang Bubat , Kisah Nyata atau Rekaan?|date=28 Mei 2015|access-date=06 Mei 2018|language=id|work=[[VIVA.co.id]]}}</ref> Demi merukunkan beragam kajian ini, penting untuk dipahami bahwa ''Nagarakretagama'' adalah sebuah ''pujasastra''.{{efn| group=lower-roman | 1=Karya sastra yang dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Hayam Wuruk, Raja Majapahit, dan untuk menggambarkan kegemilangan daulat Majapahit.}} Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto memaparkan di dalam Sejarah Nasional Indonesia II bahwa "peristiwa ini tampaknya sengaja dikesampingkan Prapanca{{efn| group=lower-roman | 1=Kemungkinan besar insiden yang dianggap sebagai aib bagi istana Majapahit ini secara sengaja ditiadakan dan dikesampingkan Prapanca.}} karena tidak berkontribusi bagi kegemilangan Majapahit, bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politis [[Gajah Mada]] untuk menundukkan orang Sunda."<ref name="Historia2"/>
Baris 48:
[[Kidung Sunda]] ditulis dalam 3 pupuh, berbahasa [[Jawa]] pertengahan, yang berasal dari [[Bali]] bukan dari Sunda dan ditemukan di [[Bali]].
 
'''Pupuh I''' berisi kisah Hayam Wuruk
yang mencari permaisuri dan tentang putri Sunda yang melakukan bunuh diri setelah seluruh rombongan Sunda kalah dalam Perang Bubat.
 
'''Pupuh II''' berisi kisah Perang Bubat antara rombongan pengiring pengantin dari Sunda dan pasukan Majapahit.
 
'''Pupuh III''' berisi tentang Hayam Wuruk yang meratapi putri Sunda karena melakukan bunuh diri.
 
'''===Petikan sebagian isi Kitab Kidung Sunda Pupuh I'''===
 
{{cquote2|...“Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan.
Baris 65:
Dalam Kitab [[Pararaton]] dijelaskan bahwa: "Orang Sunda akan mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak diperkenankan oleh bangsawan bangsawannya, mereka ini sanggup gugur dimedan perang di Bubat, tak akan menyerah, akan mempertaruhkan darahnya."
 
'''===Petikan Kitab Pararaton'''===
 
{{cquote2|...”Kesanggupan bangsawan bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka pada pihak Sunda yang bersemangat, yalah: Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji Melong, orang orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan, Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni, Orang Siring, Satrajali, Jagadsaja, semua rakyat Sunda bersorak...
Baris 76:
 
...Semua menteri araman itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju tempat Gajah Mada, masing masing orang Sunda yang tiba dimuka kereta, gugur, darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang orang Sunda, tak ada yang ketinggalan, pada tahun saka: Sembilan Kuda Sayap Bumi, atau: ([[1279]])."...}}
 
Menurut Prof. [[Slamet Muljana]], dalam bukunya yang berjudul "Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, ada  beberapa ketidak sesuaian antara [[Pararaton]] dan [[Kidung Sunda]], yaitu:<ref>Slamet Mulyana. 2012. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS</ref>
 
1. Menurut [[Pararaton]] rombongan raja Sunda Galuh datang ke Majapahit tanpa membawa putrinya.
 
2. Menurut [[Kidung Sunda]] putri Sunda, telah diantar ke Majapahit.
 
3. Kidung Sunda menyebutkan bahwa raja [[Hayam Wuruk]] wafat tidak lama setelah terjadinya perang Bubat pada tahun saka [[1279]] ([[1357]] M).
 
Menurut Kakawin [[Nagarakretagama]] pada tahun saka [[1295]], Hayam Wuruk masih mengeluarkan [[prasasti Panataran]].
 
Sedangkan [[Pararaton]] menyebutkan bahwa Hayam Wuruk wafat pada tahun saka [[1311]] ([[1389]] M). 32 tahun setelah terjadinya perang Bubat.<ref>Slamet Mulyana. 2012. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS</ref>
 
4. Kidung Sunda menyebutkan, setelah perang Bubat Patih [[Gajah Mada]] wafat akibat kemarahan keluarga Raja dan orang-orang Majapahit.
 
Menurut [[Nagarakretagama]], Patih [[Gajah Mada]] wafat pada tahun saka [[1286]] ([[1364]] M)
 
5. Nagarakretagama tidak pernah menyebutkan terjadinya perang Bubat hanya disebutkan bahwa Desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan luas, dan Raja [[Hayam Wuruk]] pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
 
'''Kesimpulan'''
 
[[Nagarakretagama]] adalah sumber primer yang berisi peristiwa-peristiwa penting di Majapahit, karya Mpu [[Prapanca]] yang hidup sezaman dengan Gajah Mada dan ditulis pada tahun [[1365]], satu tahun setelah wafatnya [[Gajah Mada]]. Maka lebih dapat dipercaya dari pada [[Pararaton]] yang mencatat wafatnya Gajah Mada pada tahun saka [[1290]].
 
[[Kidung Sunda]] ditulis pada tahun saka 1775 ([[1853]] M) tidak ada keterangan siapa penulisnya, dan tidak menyebutkan nama raja dan putri Sunda yang gugur di perang Bubat. Hal ini menjadi sangat perlu dipertanyakan apakah benar yang gugur di lapangan Bubat adalah raja Linggabuana dan putri Dyah Pitaloka. Isi dari naskah ini juga banyak yang berbeda dengan piagam-piagam yang berkaitan dengan Majapahit termasuk dengan [[Pararaton]] dan [[Nagarakretagama]] yang sama sekali tidak menulisnya. Kidung Sunda adalah sumber sekunder, bahkan tersier.
 
== Pinangan ==