Kamp pengasingan Moncongloe: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Anhar Karim (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 17:
== Pasca Gerakan 30 September ==
Tragedi kemanusiaan peristiwa Gerakan 30 September 1965 menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban. Beberapa penjara atau kamp yang bersifat sementara dibuat untuk menahan para tahanan politik baik anggota PKI maupun yang tertuduh sebagai PKI. Ketika PKI ditetapkan menjadi organisasi terlarang pasca peristiwa G30S 1966, maka implikasi politik tidak hanya mempengaruhi konstalasi elit dan hubungan partai politik, namun lebih jauh telah menyebabkan hilangnya hak-hak hidup orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI. Tidak semua tahanan Moncongloe adalah anggota PKI. Namun semua tahanan memiliki status sama sebagai tahanan politik mendapat perlakuan sama. Hal ini disebabkan karena metode penangkapan secara membabi buta.
Kamp Moncongloe, saksi bisu penderitaan tapol Orde Baru di Sulsel. Kamp pengasingan ini menampung hampir seribu tahanan politik. Pasca Gerakan 30 September 1965, Orde Baru melakukan "pembersihan" kader-kader Partai Komunis Indonesia. Banyak dari mereka yang bernasib nahas, di mana nyawa melayang dalam seremoni barbar penjagalan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai jutaan orang. Hilang hingga lenyap, meninggalkan cerita-cerita sadis yang membangkitkan bulu roma.
Soeharto membangun fondasi kekuasaan otoriternya dan duduk di atas tahta berbau kekerasan selama tiga puluh dua tahun. Namun cerita miris tak berhenti sampai di bagian pembantaian massal. Orde Baru turut menangkapi orang-orang yang diduga terkait dan memiliki hubungan bahasa pemerintah waktu itu dengan PKI sebagai organisasi terlarang menurut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966.
Salah satu upaya untuk membasmi paham Komunisme-Marxisme, pemerintah turut mendirikan kamp-kamp pengasingan di berbagai kota di Indonesia. Kamp ini digunakan sebagai tempat rehabilitasi simpatisan PKI. Namun, makna kata "rehabilitasi" yang selalu identik dengan konotasi positif justru tidak berlaku dalam hal ini. Di Sulawesi Selatan sendiri, salah satu kamp PKI terletak di Moncongloe, perbatasan Kabupaten Maros dan Gowa.
== Latar belakang pemilihan kamp ==
Penumpasan dan penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca tragedi G30S jumlah tahanan politik bertambah secara drastis sehingga sel-sel tidak mampu menampung tapol dan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tapol. Kemudian muncul Moncongloe sebagai tempat pembinaan dalam bentuk pengasingan sehingga tapol dapat mandiri. Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer Kodam XIV Hasanuddin.
Tahanan kamp Moncongloe didatangkan secara bertahap dari kurun waktu 1969 hingga 1971. Terletak 17 kilometer dari Makassar, Moncongloe yang memiliki arti "Tempat yang Tinggi" bisa ditempuh dengan waktu 40 menit perjalanan darat. Jauh dari hingar bingar kota, tempat ini menyimpan memori pahit. Berdasarkan buku Kamp Pengasingan Moncongloe (Desantara Foundation, 2009), wilayah ini dipilih karena dianggap aman dan mudah dikendalikan lantaran dikelilingi markas Kodam XIV Hasanuddin. Kamp seluas 150 meter persegi ini menampung 911 jiwa, dengan rincian 859 pria dan 52 wanita. Mereka berasal dari sejumlah kota di seantero Sulsel seperti Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Takalar, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar. Mereka datang secara bertahap ke Moncongloe dari tahun 1969 sampai 1971. Namun seperti penghuni kamp-kamp PKI lainnya, mayoritas di antaranya adalah korban salah tangkap dan dituduh sebagai simpatisan organisasi berlambang palu-arit. Setelah mendekam beberapa lama, tapol Moncongloe harus memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi seiring waktu, mereka pun wajib memenuhi kebutuhan militer entah itu atas nama institusi atau kepentingan pribadi para petugas. Alhasil muncullah eksploitasi berlapis. Sekadar memenuhi kebutuhan pribadi pun menjadi sukar.
== Dari rimbun hutan menjadi kamp konsentrasi ==
== Penderitaan tahanan dan pelanggaran HAM ==
Selama di Moncongloe, tapol tidak hanya dituntut untuk memenuhi kehidupannya tapi juga harus mampu berproduksi untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas instalasi rehabilitasi (inrehab). Ada beberapa pola eksploitasi tenaga tapol, pertama korve dan konsentrasi tapol di kamp inrehab, tapol dibagi dalam beberapa regu korve yang terdiri dari korve penebang pohon, korve gergaji, korve pencari batu, korve penebang bambu. Kedua, tapol dikerahkan untuk bekerja pada proyek pembangunan unit kantor kodim dan perumahan militer serta rumah pribadi anggota militer. Ketiga, tapol bekerja di rumah-rumah anggota Kiwal Kodam XIV Hasanuddin. Tapol terkadang mengalami eksploitasi berlapis adanya kepentingan pribadi petugas inrehab dan kepentingan institusi militer sehingga untuk memenuhi kebutuhan pribadi tapol sangat susah.
Baris 33 ⟶ 41:
Sejarah komunitas Tapol Mongcongloe setidaknya telah mengantarkan kita pada kedewasaan dalam memahami perkembangan politik setelah gerakan 30 September 1965 di Sulawesi Selatan. Tapol menjadi tema Sejarah Indonesia yang penting sebab komunitas tahanan politik bukanlah suatu komunitas tanpa sejarah, tetapi mereka adalah orang-orang yang membuat sejarah sehingga perlu ditulis untuk memahami secara utuh perjalanan sejarah sosial negeri ini.
Sesuai laporan Komnas HAM tahun 2012, penghuni kamp Moncongloe mengalami berbagai perlakuan keji. Penderitaan mereka tergambar jelas dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat 1965-1966 yang rilis pada 2012 silam. Dengan mewawancarai para tapol penghuninya, praktek perbudakan digambarkan secara rinci. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, didapat petunjuk tentang adanya perbudakan dengan cara penggunaan para tahanan untuk membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja dan dapur umum. Para tahanan dipekerjakan di beberapa proyek tentara seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar 4 sampai 6 hektar. Saksi-saksi juga diperlakukan seperti budak yang diperas tenaganya dengan membuat jalan sepanjang kurang 23 km dari Moncongloe ke Daya. Untuk membuat jalan tersebut, tahanan disuruh mengambil batu dari gunung dan mengangkutnya ke jalan raya. Selain itu, tahanan disuruh menggarap tanah perkebunan, menanam sampai memanen, membangun dan memperbaiki rumah perorangan milik petugas, mengambil dan menyusun kayu-bambu yang dijual untuk kepentingan petugas kamp Moncongloe.
Kamp Moncongloe adalah satu dari sekian banyak riwayat panjang pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Hidup di kawasan tersebut terhitung mengerikan. Tak ada pasokan air bersih hingga listrik. Ladang nanas dan singkong yang jadi tumpuan hidup acap kali dirusak oleh babi hutan dan monyet. Moncongloe yang penuh belukar dan tandus pun sudah memberi ujian hidup untuk para tapol. Ada juga pelecehan seksual dialami para tahanan wanita yang dilakukan oleh petugas kamp. Tak ada upah untuk pekerjaan mereka. Beberapa saksi yang diwawancarai Komnas HAM bahkan mengaku hanya diberi beras setengah liter sehari dan diberikan setiap satu minggu. Belum lagi menyoal banyaknya tahanan yang dijebloskan tanpa surat penahanan atau melalui proses peradilan. Laporan khusus majalah Tempo pada 2012 silam pun menyebut banyak tahanan menderita Hepatitis saking beratnya pekerjaan yang dibebankan sekaligus minimnya asupan gizi.
== Sanksi sosial ==
Setelah para
== Buku ==
* Kamp Pengasingan Moncongloe, karya Taufik, Penerbit Desantara, tahun 2008
* Tragedi di Halaman Belakang: Kisah Orang-Orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi, karya Eko Rusdianto, Penerbit EA Books, tahun 2009
== Lihat pula ==
|