Kamp pengasingan Moncongloe: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 105:
berbukit-bukit memiliki jenis tanah merah, kedua, daerah ini telah dikenal sebagai rawan kekerasan perampokan karena masih hutan. Dalam sejarah gerakan bandit di Sulawesi Selatan, wilayah hutan yang membentang antara Moncongloe sampai Polongbangkeng seringkali disebut sebagai salah satu tempat persembunyian perampok sejak periode kolonial sampai era 1960-an. Ketiga, Moncongloe merupakan daerah tempat pengasingan tahanan politik PKI (1969-1979). Orang-orang PKI yang seringkali dilabelkan dengan orang-orang merah adalah bukan tidak mungkin menjadi penyebab semakin melekatnya nama Tanah Merah untuk menyebut Moncongloe. Terlepas dari persepsi tentang Moncongloe dan apakah itu direkonstruksi untuk memberi label negatif kepada tahanan politik PKI atau karena merupakan daerah rawan kekerasan dan perampokan, daerah ini merupakan salah satu wilayah yang cukup terisolasi dari segi informasi dan geografis serta senyap dari debat-debat sejarah pada periode Orde Baru. Tentang Moncongloe sebagai tempat pengasingan Tahanan politik PKI nyaris tidak ditemukan informasi dalam berbagai literatur.
 
Di sekitaran Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan Kodam XIV Hasanuddin, yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, Home Base Kiwal. Moncongloe sejak tahun 1969 dijadikan sebagai tempat pengasingan tahanan politik (tapol) yang dianggap sebagai PKI oleh pemerintah saat itu. Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tahanan politik PKI. Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan Tapol. Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa. Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.<ref name=":12">{{Cite web|url=http://www.jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqalam/article/viewFile/224/206|title=Bertahan Melalui Perbudakan: Sejarah Alternatif Tanah Merah|last=Ahmad|first=Taufik|date=15 Februari 2013|website=www.jurnalalqalam.or.id|access-date=3 April 2023}}</ref>
 
== Kisah para tahanan ==
Baris 135:
 
== Dari rimbun hutan menjadi kamp konsentrasi ==
 
== Garis waktu ==
Kamp pengasingan Moncongloe diisi oleh para tahanan politik yang sebelumnya mendekam di penjara di wilayah Kodim kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Mereka ditangkap periode Oktober 1965–Maret 1966 terkait Gerakan 30 S/PKI di Sulawesi Selatan.
* Maret 1969: Gelombang pertama, 11 tahanan dikirim terdiri 7 laki-laki dan 4 perempuan
* Mei 1969: Gelombang kedua, 44 tahanan dikirim
* September 1970: Gelombang ketiga, 44 tahanan dikirim
* 1971
* 1972
 
== Daftar penjara sebelum dipindahkan ke kamp konsentrasi ==
* Penjara Makassar
* Penjara Majene
* Penjara Pangkep
* Penjara Parepare
* Penjara Kodim Watampone
 
== Pengklasifikasian tahanan ==
Baris 180 ⟶ 195:
* Andy
* Anwar Abbas, ketua Pemuda Rakyat Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep)
* Ei Ken Heng
* Go Kee Iet
* Muhammad Jufri Buape, anggota polisi Pamong Praja Kabupaten Sidenreng Rappang, sekretaris Lekra Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Pengurus Pemuda Rakyat Kotamadya Parepare
* Mukhlis, pengurus PKI Sulawesi Selatan
Baris 191 ⟶ 208:
== Buku ==
[[Berkas:Kamp_Moncongloe2.jpg|jmpl|262px|Buku "Kamp Pengasingan Moncongloe" 2008]]
* "Kamp Pengasingan Moncongloe", karya Taufik, Penerbit Desantara, tahun 2008
* "Tragedi di Halaman Belakang: Kisah Orang-Orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi", karya Eko Rusdianto, Penerbit EA Books, tahun 2009
* "Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965", karya Tim Majalah Tempo, Penerbit PT Tempo Inti Media, tahun 2013
 
== Lihat pula ==