Kerajaan Tanjung Pematang Sawang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Busu Neneng (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Busu Neneng (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 72:
Hingga ada beberapa orang mencoba mencari emas disana menggunakan alat seadanya, seperti baskom, wajan atau kuali dan apa saja yang bisa digunakan untuk tempat mengancurkan tanah. Dan ternyata mereka mendapatkan emas yang mereka cari. Semakin lama, orang-orang mulai membawa apa saja sebagai wadah untuk menghancurkan tanah di area tersebut. Mula-mula orang menghancurkan tanah hanya dengan mengadonnya dengan tangan, kemudian mereka membuat peti-peti dari kayu untuk menampung tanah berisi emas tersebut. Lama-kelamaan tanah di lokasi itu juga diinjak-injak dengan kaki sampai lunak hingga akhirnya emas bisa terlihat. Tidak hanya itu, para pendulang juga sudah mengunakan mesin dan alat penyedot emas untuk menghancurkan tanah dengan kapasitas yang lebih besar, seiring dengan itu pula emas sudah mulai sulit didapatkan.
 
Setelah beberapa tahun, akhirnya aktifitas berburu harta peninggalan kerajaan Dayak Ngaju di wilayah tersebut sudah tidak ada lagi, '''karena emas yang dicari sudah habis diambil warga pendatang dan warga lokal''', dan juga lokasinya sudah menjadi hutan kembali. Kemudian beberapa orang "Tim [[Arkeologi]]" dari "Balai Arkeologi Kalimantan Selatan" bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Tengah datang ke sana untuk meneliti situs "Kuta Bataguh" (''benteng Bataguh'') tersebut. Menurut hasil laporan dari penelitian, yang tersisa dari benteng dan benda-benda lainnya hanya sekitar 5 persen saja. Sementara 95 persen-nya diduga telah hilang diambil oleh warga pendatang dan warga lokal atau bisa juga sebagiannya masih tertimbun di dalam tanah. Sejumlah artefak yang diambil oleh masyarakat setempat dari situs tersebut sangat bervariasi, seperti alat kayu pemintal, harta berharga seperti emas yang kebanyakan dalam bentuk jadi atau dalam bentuk leburan, manik-manik, logam, dan juga temuan artefak kayu ulin seperti yang digali oleh tim arkelog sendiri. Berdasarkan hasil analisa tim arkeolog, kayu ulin tersebut diperkirakan sudah ada sejak 700 tahun Masehi.
 
Sebenarnya informasi mengenai Kerajaan Tanjung Pematang Sawang sendiri sudah diketahui sejak lama oleh suku Dayak Ngaju melalui "''tetek tatum''"(nyanyian ratap tangis suku Dayak) yang dinyanyikan oleh para penyair sesepuh tiap kali ada ritual keagamaan [[Kaharingan]] dan diceritakan secara turun-temurun. Kini sebagian kayu-kayu benteng peninggalan kerajaan itu telah dijadikan sebagai bahan membuat rumah oleh penduduk sekitar. Sebagian penduduk yang lahir belakangan di wilayah tersebut kurang mengerti dengan arti sebutan ""Kuta"", '''terlebih lagi suku pendatang dari luar pulau Kalimantan'''. Banyak dari mereka mengartikan kata "''Kuta''" sebagai "kota". Mereka mengira bahwa dahulunya di daerah ini merupakan sebuah kota yang kini sudah ditinggalkan oleh penduduknya entah ke mana. Padahal kata "''Kuta''" sendiri bermakna "benteng" atau "pagar", sedangkan kata "''Bataguh''" berarti "kuat". Jadi "Kuta Bataguh" berarti "benteng yang diperkuat" dalam bahasa Sangiang (bahasa Dayak Ngaju kuno).