Kamp pengasingan Moncongloe: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Anhar Karim (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
Anhar Karim (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 90:
Kamp pengasingan Moncongloe sebagai "pusat rehabilitasi" tahanan politik anggota PKI dan yang tertuduh PKI dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Pintu masuk ke kompleks bangunan kamp ini terdapat di Dusun Moncongloe, [[Pacellekang, Pattallassang, Gowa|Desa Pacellekang]]. Kompleks kamp Moncongloe berukuran sekitar 120–150 meter persegi terdiri dari:
;Barak tahanan
:Terdapat 5 buah barak dengan rincian 4 buah barak khusus laki-laki (Barak A–D) dan 1 buah barak khusus perempuan (Barak E). Setiap barak berukuran 6 x 20 m dihuni antara 80 sampai 100 orang tapol. Barak A dan D dihuni oleh tapol golongan B. Dalam barak, ranjang bertingkat, lantai berupa papan tanpa kasur.
;Dapur umum
Baris 129:
<ref name=":154"/>
Ir. Rasjidi Amrah yang merupakan tapol dimanfaatkan oleh petugas. Dia menggambar desain masjid dan gereja. Dia pula merancang pembangunan barak. Bahkan di salah satu wilayah di Kabupaten Gowa, membuat desain 300 unit perumahaan tentara yang dikerjakan oleh para tapol. Di sekitaran Kamp pengasingan Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan [[Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin|Kodam XIV/Hasanuddin]], yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, dan Home Base Kiwal.<ref name=":123"/>
== Geografi ==
Baris 150:
== Sejarah ==
Nama Moncongloe dalam sejarah [[Sejarah awal Gowa dan Tallo|Gowa Tallo]] ditemukan dengan nama Gallarang Moncongloe. Pada saat [[Kesultanan Tallo|Kerajaan Tallo]] menjadi kerajaan otonom, daerah ini dikuasai oleh Karaeng Loe ri Sero bersama beberapa Gallarang lainnya. Sebelum menjadi Gallarang, Moncongloe menjadi bagian dari Dewan Hadat Kerajaan Tallo. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah Moncongloe berada di wilayah administratif Onderafdeling Maros dengan status Distrik Adat Gemenschaap dipimpin oleh seorang kepala distrik. Kemudian, setelah bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya, daerah sekitar Moncongloe dijadikan markas [[Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin|Kodam XIV Hasanuddin]] pada tahun 1957. Pada tahun 1984 Moncongloe kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah Maros dan Gowa sebagai wilayah administratif. Moncongloe kemudian dibagi menjadi dua, sebelah utara menjadi wilayah Kabupaten Maros dan sebelah selatan menjadi wilayah Kabupaten Gowa.<ref name=":1234">{{Cite web|url=https://palontaraq.id/2019/08/04/gallarang-appaka-dari-gowa-tallo-ke-maros/|title=Gallarang Appaka, dari Gowa-Tallo ke Maros|last=Makkasau|first=Andi Fahry|date=4 Agustus 2019|website=palontaraq.id|access-date=15 April 2023}}</ref>
Moncongloe erat kaitannya dengan istilah "Tanah Merah". Sedikitnya ada tiga sebab, pertama, struktur tanah Moncongloe yang berbukit-bukit memiliki jenis tanah merah, kedua, daerah ini telah dikenal sebagai rawan kekerasan perampokan karena masih hutan. Dalam sejarah gerakan bandit di Sulawesi Selatan, wilayah hutan yang membentang antara Moncongloe sampai Polongbangkeng seringkali disebut sebagai salah satu tempat persembunyian perampok sejak periode kolonial sampai era 1960-an. Ketiga, Moncongloe merupakan daerah tempat pengasingan tahanan politik PKI (1969-1979). Orang-orang PKI yang seringkali dilabelkan dengan orang-orang merah adalah bukan tidak mungkin menjadi penyebab semakin melekatnya nama Tanah Merah untuk menyebut Moncongloe. Terlepas dari persepsi tentang Moncongloe dan apakah itu direkonstruksi untuk memberi label negatif kepada tahanan politik PKI atau karena merupakan daerah rawan kekerasan dan perampokan, daerah ini merupakan salah satu wilayah yang cukup terisolasi dari segi informasi dan geografis serta senyap dari debat-debat sejarah pada periode Orde Baru. Tentang Moncongloe sebagai tempat pengasingan tahanan politik PKI nyaris tidak ditemukan informasi dalam berbagai literatur.<ref name=":15">{{Cite journal|last=Ahmad|first=Taufik|date=1 Juni 2013|title=Bertahan Melalui Perbudakan: Sejarah Alternatif Tanah Merah |url=http://www.jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqalam/article/viewFile/224/206|journal=Jurnal Al-Qalam
Baris 212:
Kamp pengasingan Moncongloe diisi oleh para tapol yang sebelumnya mendekam di penjara di wilayah Kodim kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Mereka ditangkap periode Oktober 1965–Maret 1966 terkait Gerakan 30 S/PKI di Sulawesi Selatan.
* 1968: Kamp pengasingan Moncongloe mulai dirintis
* Maret 1969: Gelombang pertama, 11 tahanan politik dari penjara di Makassar dikirim ke Kamsing Moncongloe terdiri 7 laki-laki dan 4 perempuan. Karena jumlahnya 11, maka para tapol ini disebut angkatan 11
* Mei 1969: Gelombang kedua, 44 tahanan politik dikirim ke Kamsing Moncongloe. Karena jumlahnya 44, maka para tapol ini disebut angkatan 44
* Desember 1969: Beberapa fasilitas infrastruktur di Kamsing Moncongloe telah dibangun
* September 1970: Gelombang ketiga, 44 tahanan dikirim
* 1971: Sebanyak 250 tapol dari penjara Makassar dikirim ke Kamsing Moncongloe
* Juni 1971: Para tapol didatangkan dari Majene, Polewali Mamasa, Pinrang, Tana Toraja, Palopo, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Kepulauan Selayar
* Desember 1971: Jumlah tapol yang menghuni Kamp Mocongloe mencapai 911 orang, terdiri dari 52 perempuan dan 859 laki-laki
* 1972
* 20 Desember 1977: Tapol mulai dibebaskan menjadi tahanan rumah
Baris 305 ⟶ 307:
Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk tindak pidana Perbudakan, Perampasan Kemerdekaan dan Penganiayaan dalam peristiwa yang terjadi di kamp Moncongloe, Sulawesi Selatan, dalam kurun waktu setidak-tidaknya pada tahun 1970 sampai dengan
tahun 1978.<ref name=":11">{{Cite web|url=https://stopimpunity.org/content/stopimpunity/eksekutif_summary_peristiwa_1965_4.pdf|title=Pernyataan Komnas HAM Tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966|last=Komnas HAM RI|first=|date=23 Juli 2012|website=stopimpunity.org|access-date=2 April 2023}}</ref>
== Sasaran tahanan ==
Pasca peristiwa Gerakan 30 September, para tentara menangkapi pihak-pihak yang terlibat PKI di Sulawesi Selatan. Orang-orang yang menjadi anggota organisasi yang berafiliasi PKI, seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Badan Pendidikan Rakyat (BDR), Panitia Pendidikan Rakyat (PPR) di tingkat daerah menjadi sasaran penangkapan dan ditahan di Penjara Kodim.
== Sanksi sosial ==
|