Ki Ageng Sela: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Pengembalian manual
Baris 22:
 
== Awal kehidupan ==
Ki Ageng Sela memiliki nama kecil Bagus Songgom, keturunan [[Ki Getas Pandawa]]. Ia hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan [[Trenggana|Sultan Trenggana]], awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16.
 
Ki Ageng Sela pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kerajaan Demak. Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Sela kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.
 
Ki Ageng Sela bertempat tinggal di sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Ia hidup berprofesi sebagai petani yang gemar memperdalam ilmu agama dan tumbuh sebagai seorang yang religius. Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama desa Sela. Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Sela meninggal dan dimakamkan.
 
 
Kompleks pemakaman Ki Ageng Sela di Tawangharjo hari ini masih dirawat oleh keluarga besar [[Keraton Surakarta Hadiningrat|Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat]] sebagai bagian dari kagungandalem atau bangunan milik [[Susuhunan Surakarta|Raja Surakarta]]. Kompleks ini termasuk di dalamnya pasarean (makam) dan juga Masjid Ki Ageng Sela.
 
== Menaklukkan petir ==
Baris 38 ⟶ 35:
Ki Ageng Sela pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan. Di Demak, datanglah seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh kakek tersebut. Lalu, suara petir menggelegar, mendadak kakek dan nenek tersebut menghilang.<ref name="Abdul Rakhim, dkk 2019"/>
 
Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Sela dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Sela menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada ''lawang bledheg'' atau pintu [[Masjid Agung Demak]]. Ragam hias ukiran ini juga hadir pada pintu-pintu di [[Masjid Agung Kraton Surakarta|Kagunganndalem Mesjid Ageng]] [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat]]. Ornamen itu merupakan replika yang meniru ornamen yang sama di pintu [[Masjid Agung Demak]]. Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.<ref name="Abdul Rakhim, dkk 2019"/>
 
== Papali Ki Ageng Sela ==
Baris 54 ⟶ 51:
Terjemahan:
 
{{cquote|''Ketahuilah engkau, bukan hal yang muluk-muluk, ilmu yang aku percayakan, hanya ajarannya Eyang Ki Ageng Sela yang terpuji. Nyatanya sudah terbukti, tanda luhurnya, yang membimbing tanah Jawa, tidak lain anak turunannya KanjengJeng Kyai Sela, nah ini dengarkanlah.
 
''Papali ini hargailah karena memberkati dan juga membuat selamat segar bugar, papali ini seperti ini; jangan berbuat angkuh, jangan ladak, jangan jahil, jangan berhati serakah, dan jangan celimutan, dan jangan memburu pujian, jangan jahil karena orang jahil cepat mati, juga jangan berhati kepada keburukan, jangan tak tahu malu yang takut akan rasa malu, juga orang hidup jangan menganggap besar diri, orang hidup carilah bagusnya, jangan lupa memperbagus (diri), yang disebut bagus bukan karena banyak emas dan uang, sungguh bukan karena pakaian, bukan dalam rupa (penampilan), orang bagus di sini sungguh sulit sekali, sesama orang hidup semua mengasihi, maksudnya semua dekat hatinya.''}}