La Maddukelleng: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidakpelupa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Dasnusantara (bicara | kontrib)
k +pranala "nama sungai"
Baris 16:
Pada masa pemerintahan ''Arung Matoa'' La Salewangeng (menjabat 1715–1736), perdagangan Wajo berkembang pesat dengan dukungan dari komunitas rantaunya di seluruh Nusantara.{{sfnp|Wellen|2009|p=82–83}} Ketika La Maddukelleng meninggalkan Wajo, ia mengunjungi komunitas-komunitas rantau sampai ke Johor. Di sana saudara tuanya Daeng Matekko terlibat dalam perang Johor antara Sultan Sulaiman (Raja Johor) yang dibantu Opu Lima Bersaudara dengan Raja Kecil dari Siak. Kakaknya dan perantau-perantau Wajo memihak Raja Kecil. Perang dimenangkan oleh Sultan Sulaiman bersama Daeng Parani bersaudara. Tapi ia sampai di Johor di saat perang telah usai. Meski demikian, bersama pasukannya ia membuat keonaran di sekitar Selat Malaka sebagai pelampiasan kemarahannya atas tewasnya kakaknya dalam perang tersebut. Ia digelari Gora'e (penyamun Laut). Namun ia tidak lama di sana. Ia kembali ke Selat Makassar dan menjadi penguasa tidak resmi beberapa pulau kecil dan pesisir. Ia kerap terlibat bentrok dengan Belanda VOC yang sangat dibencinya. Ia membuat Selat Makassar sebagai tempat tidak aman bagi kapal-kapal yang melintas terutama kapal dagang VOC. Belanda kemudian memberinya gelar sebagai Raja Bajak Laut dan terus memburunya.
 
Melalui kapal-kapal rampasan dan upeti-upeti, ia membangun armada besar yang dibelinya dari orang-orang Inggris sebelum akhirnya menetap di [[Sungai Kendilo|Muara Kandilo]] [[Kesultanan Paser|Paser]], Kalimantan Timur. Di sana, ia membangun diplomasi yang baik dengan Sultan Pasir dan tidak butuh waktu lama untuk menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam perniagaan dan politik setempat, Ia kemudian mampu menikahi putri dari penguasa Paser. Saat Sang Sultan wafat, ia menunjuk puterinya sebagai calon pengganti sultan. Namun, terjadi perselisihan dengan beberapa bangsawan dan perwira Pasir soal pewarisan tahta. Terjadi banyak penolakan. La Maddukelleng mengartikannya sebagai pembangkangan titah sultan. Ia bersama pasukannya dan orang-orang Pasir pendukung Andin Anjang, istrinya, terlibat perang pada pertengahan 1720-an. Ia memenangkan perang secara mutlak. Secara de jure, istrinya menjadi Ratu Pasir namun secara de facto La Maddukelleng lebih banyak yang disebut sebagai Sultan Paser.{{sfnp|Wellen|2014|p=95, 139}} Pasukan La Maddukelleng kemudian dikirim untuk menyerang Kutai karena penguasanya menolak menyerahkan orang-orang Paser yang melarikan diri ke sana. Tapi mengingat persahabatan yang telah terjalin sebelumnya, ia mengampuni para pelarian ke Kutai. Para pemberontak banyak yang ketakutan melarikan diri ke gunung, sementara yang tersisa di kota ditawan.La Maddukkelleng bersama istrinya memimpin Paser sampai 1738.{{sfnp|Abidin|2017|p=286–287}}{{sfnp|Wellen|2014|p=139}}
 
Selain membuat persekutuan berdasarkan pernikahan dengan penguasa setempat, La Maddukelleng juga bergiat menyokong komunitas-komunitas rantau Wajo di Kalimantan Timur. La Maddukelleng menjalin komunikasi yang baik dengan Sultan Kutai yang telah memberi pemukiman kepada perantau-perantau Wajo di Samarinda. Jauh sebelum La Maddukkelleng merantau, telah ada pemukim orang-orang Bugis yang mendirikan perkampungan baru di Samarinda di bawah legitimasi kesultanan. Mereka dipimpin seorang panglima Wajo yang merantau usai kekalahan di Perang Makassar bernama La Mohang Daeng Mangkona. Ia merupakan pendiri kampung Bugis [[Samarinda]] di tepi wilayah muara Sungai Mahakam yang strategis. Dari Sultan Kutai, ia memperoleh hak monopoli atas barang-barang ekspor dari pedalaman (seperti [[emas]], [[kapur barus]], [[damar]], [[rotan]], hingga [[lilin lebah]]) dan hasil laut seperti cangkang penyu, [[agar-agar]] dan [[teripang]]. Komunitas Bugis Samarinda juga memperoleh hak monopoli atas impor [[beras]], [[natrium klorida|garam]], [[rempah]], [[kopi]], [[tembakau]], [[opium]], [[tekstil]], [[besi]], [[senjata api]], hingga [[budak]].{{sfnp|Pelras|1996|p=321–322}} Masyarakat Wajo di Kutai bahkan diperbolehkan memiliki [[pemerintahan sendiri]], dengan seorang pemimpin yang digelari ''pua ado'' (Bugis: Puang Ade' _Pemangku Adat) {{sfnp|Wellen|2014|p=52}} serta sebuah dewan perwakilan yang beranggotakan para nakhoda dan pedagang kaya-raya.{{sfnp|Pelras|1996|p=322}}