Kiai Madja: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Almarko (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Sonjo 01 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 24:
[[File:Makam Kiai Mojo.jpg|thumb|300px|Makam Kiai Mojo]]
 
Setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, Kiai Madja mulai tidak sepaham ketika Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya. Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep [[Ratu Adil]] atau [[juru selamat]] dalam kampanye merekrut pasukan. Salah satu gejalanya adalah ketika Diponegoro mengaku memperoleh tugas suci dari [[Tuhan]] yang didapatnya saat [[samadhi|bersemedi]]. Diponegoro juga mengklaim telah diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar ''Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah'' di tanah Jawa. Pangeran Diponegoro, secara tersirat, menyamakan pengalaman spiritual yang diklaimnya dengan pengalaman Nabi [[Muhammad]] ketika diangkat menjadi Rasul. Diponegoro juga mengeksplorasi peristiwa-peristiwa khusus Rasullah terkait statusnya itu, seperti menyendiri di gua atau menerima wahyu dari malaikat [[Gabriel|Jibril]]. Hasilnya, Pangeran Diponegoro dilayani pengikutnya seperti seorang [[raja]]. Meskipun sering memakai jubah putih, namun ia juga punya koleksi pribadi berupa barang-barang mewah seperti [[pusaka]], [[keris]], [[kuda]], dan lain-lain. Diponegoro juga sering menonjolkan gaya dan atribut kerajaan, termasuk dipayungi para pengawalnya dengan payung berlapis emas dalam setiap kemunculannya.
 
Kiai Madja tidak sepaham dengan ekpresi yang dimunculkan sepupunya itu. Ia menilai Diponegoro telah mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam dan justru berambisi ingin mendirikan kerajaan tandingan di tanah Jawa. Hingga akhirnya, Diponegoro menyarankan agar Kiai Madja berhenti berperang. Kiai Madja akhirnya berinisiatif menemui Belanda untuk mengadakan perundingan demi berakhirnya perang. Dalam pertemuan pada 25 Oktober 1828 itu, Belanda bertanya kepada Kiai Madja tentang bagaimana jika Diponegoro diberi wilayah kekuasaan, dengan kata lain, Diponegoro akan mendapatkan jatah sebagai raja baru di Jawa. Kiai Madja lalu berkata jika itu yang terjadi, maka akan disambut dengan senang hati oleh Diponegoro dan perang pun akan usai. Pernyataan tersebut menyiratkan persepsi bahwa Kiai Madja memang menilai Diponegoro sedang mengincar gelar raja Jawa dan ingin memimpin kerajaan baru meskipun tidak dengan sistem pemerintahan Islam.<ref name=a />
 
Di sisi lain Pangeran Diponegoro juga jengkel dengan sikap Kiai Mojo yang takabur bahwa pangeran-pangeran Surakarta terdahulu belajar dibawah asuhan ayahnya dan dilanjutkan sekarang anak-anak mereka yang diasuh olehnya, dalam babad karyanya Panageran Diponegoro merasa dikecilkan martabatnya karena Kiai Mojo mengatakan bahwa dikarenakan pengaruh dialah mereka mendapatkan dukungan dari keraton sunan takala perang makin lanjut. Dikarenakan kejengkelan ini, beberapa minggu penting lewat begitu saja, sehingga pada 15 Oktober 1826 tentara sang Pangeran yang berkekuatan 5000 prajurit mulai menyerang Surakarta, dia menderita kekalahan besar di [[Guwokajen, Sawit, Boyolali|Gawok]] tepat di sebelah barat kota itu. Saling menyalahkan yang sengit penyebab kekalahan tersebut. Secara khusu, Kiai Mojo dan keluarganya dituduh telah dengan nekat mendesak untuk menyerang ibu kota kesunanan demi kepentingan mereka sendiri. Apa yang sebelumnya hanya merupakan persaingan yang mengganggu, sekarang menjadi perselisihan terbuka
 
== Penangkapan dan Pengasingan ==