'''Masjid Al-Atiiq''' adalah sebuah masjid yang berada di [[Kota Salatiga]], [[Provinsi Jawa Tengah]], [[Indonesia]].
== Sejarah Masjid ==
ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦧꦼꦱꦫꦭꦠꦶꦲꦶꦛ꧀ꦏꦲꦸꦩꦤ꧀ꦱꦭꦠꦶꦒ (Masjid Besarini Al-Atiiq Kauman Salatiga. Masjid iniawalnya oleh masyarakat disebut dengan nama Masjid Kauman Salatiga atau Masjid Al-Atiiq Kauman Salatiga. Masjid tertua kedua di Kota Salatiga memiliki sejarah panjang dan erat kaitannya dengan sejarah Perang Jawa atau [[Perang Diponegoro]] pada Tahuntahun [[1825]]-[[1830]]. Masjid ini kemudian dibangun sekitar tahun 1247 H/1832 M[[183]] oleh Kyai Rono Sentiko/ Ki Rono Sentiko yang merupakan Abdi Ndalem Kraton[[Keraton Surakarta]] dan sekaligus Laskar Prajurit Pangeran Diponegoro ( hal ini berdasarkan dari tulisan di Mihrabmihrab Masjidmasjid). Masjid ini dulunya oleh Dinas Terkait akan dimasukkan dalam Situs Cagar Budaya sekitar tahun 2004-an. Namun, karena lamanya proses tersebut dan kurangnya edukasi terkait akan pentingnya sebuah sejarah, oleh pengurus Ta'mir dilakukan pembongkaran total bangunan masjid. Dalam sejarahnya Majid ini dahulu digunakan sebagai pusat keagamaan dan sebagai tempat untuk mengatur siasat perang.<ref>{{Cite web|title=MASJID BESAR AL-ATIIQ KAUMAN SALATIGA|url=https://alatiiqkaumansala3.blogspot.com/|website=alatiiqkaumansala3.blogspot.com|language=id|access-date=2021-11-26}}</ref>
Masjid ini dulunya oleh dinas terkait akan dimasukkan dalam [[Cagar Budaya|Situs Cagar Budaya]] sekitar tahun [[2004]]-an. Namun, karena lamanya proses tersebut dan kurangnya edukasi terkait akan pentingnya sebuah sejarah, oleh pengurus dilakukan pembongkaran total bangunan masjid. Dalam sejarahnya masjid ini dahulu digunakan sebagai pusat keagamaan dan sebagai tempat untuk mengatur siasat perang.<ref>{{Cite web|title=MASJID BESAR AL-ATIIQ KAUMAN SALATIGA|url=https://alatiiqkaumansala3.blogspot.com/|website=alatiiqkaumansala3.blogspot.com|language=id|access-date=2021-11-26}}</ref>
=== Laskar Prajurit Diponegoro di Salatiga ===
Ketika ''Vereenigde Oot-Indische Compagnie'' (VOC) berkuasa di Jawa, Salatiga pun berada di bawah kekuasaaan kongsi dagang Belanda itu. Oleh VOC Salatiga di pandang sangat strategis, karena berada di jalur utama persimpangan Semarang, Surakarta, dan Magelang. Selain itu, Salatiga juga dipandang sangat strategis dalam kegiatan lalu lintas perdagangan dari pedalaman Jawa Tengah ke Pantai Utara Jawa sehingga dijadikan sebagai pusat persinggahan para pedagang. Oleh karena itu, maka Pemerintah Hindia Belanda memandang Salatiga sangat strategis untuk dijadikan sebagai kota militer. Sehingga pada tahun 1746 VOC mulai menempatkan pasukannya di Salatiga dan membangun sebuah benteng yang diberi nama Benteng ''De Hersteller.'''[1]'''''
Pembangunan Benteng ''De Hersteller'' di Salatiga tersebut terutama dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan di sepanjang jalur Semarang-Surakarta. Selain itu, juga bermanfaat ketika terjadi suksesi di Kerajaan Surakarta tahun 1746-1757 yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti Tahun 1755 yang melahirkan kesultanan Yogyakarta dan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yang melahirkan Kadipaten Mangkunegaran.[2]
Pecahnya Perang Jawa atau juga disebut dengan Perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830, sebagiamana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Pada waktu itulah muncul semangat dari warga primbumi dalam melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Disebutkan bahwa awal mulanya peperangan tersebut dilandasi oleh kekecewaan Pangeran Diponegoro terhadap Kraton Yogyakarta yang tunduk pada pemerintahan Kolonia Hindia Belanda.
Pada masa perang Diponegoro, salah satu pendukung per-juangan beliau dalam melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda, adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI (Bahasa Jawa : ''Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono VI'') yang lahir di Surakarta pada tanggal 26 April 1807, merupakan raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1823 -1830. [3]
Hubungannya dengan Pangeran Diponegoro adalah sebagai pendukung pergerakan atau perjuangan dalam Perang Jawa sebagai bentuk perlawanan atau pemberontakan terhadap Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terkait dengan perjanjian dengan Belanda, Paku Buwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Paku Buwana VI dengan pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya dulu dikisahkan Paku Buwana VI pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. [4]
Dalam sejarahnya diceritakan bahwa Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam Kraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon, kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera di tanam di dalam Kraton Surakarta oleh Pakubuwana VI. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda.
Pakubuwana VI dalam aksi ganda tersebut, dalam kaitannya membantu perlawanan dan perjuangan Pangeran Diponegoro salah satunya adalah mengirim pasukannya ke daerah-daerah untuk ikut berjuang bersama Pangeran Diponegoro melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dalam pasukan tersebut terdiri atas prajurit dan abdi dalemnya.
Pada waktu meletus Perang Diponegoro tahun 1825 pengaruhnya juga sampai ke daerah Semarang. Perjuangan Pangeran Diponegoro berkobar di daerah Surakarta bagian Barat, daerah Bagelan, Banyumas, Tegal, Pekalongan dan Semarang. Perjuangan di daerah Semarang dipimpin oleh seorang Bupati/Patih yang bernama Pangeran Serang II (Pangeran Kusumowijoyo adalah Putra Pangeran Mutia Kusumowijoyo/ Pangeran Serang I). Pada tanggal 22 April 1826 Pangeran Serang II berhasil merebut daerah Purwodadi dan perlawanan rakyat menjalar ke daerah Demak, Kudus, Wirosari, Grobogan dan Semarang. Pertahanan Kota Semarang dipimpin oleh Jenderal Van Goen yang mendatangkan bala bantuan dari Kota Surabaya, Solo dan Sumenep (Madura). Dalam pertempuran di sekitar Kota Demak pada tanggal 15 September 1926 Pangeran Serang II bersama pengikutnya dapat terdesak oleh pasukan Van Goen dan terpaksa mengundurkan diri. [5]
Kota Salatiga kala itu, dipimpin oleh seorang Asisten Residen yang bernama Reede Van Oudtschoen. Kota Salatiga dahulunya merupakan tempat peristirahatan bagi para pejabat pemerintah Kolonial Hindia Belanda maupun orang-orang Eropa. Tempatnya yang berada diperbukitan dengan hawa sejuk sangat memungkinkan Salatiga menjadi kawasan favorit untuk berlibur dan beristirahat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh di Salatiga.
Pada masa Perang Jawa atau Perang Diponegoro, bahwa Kota Salatiga merupakan kota favorite sangat memungkinkan banyak para pejabat Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang bertempat tinggal di Salatiga. Dengan demikian Kota Salatiga bisa disebut sebagai markas militer Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
Dalam upaya membantu perjuangan Pangeran Diponegoro, Pangeran Pakubuwana VI mengirim utusan abdi dalemnya yang bernama Kyai Rono Sentiko. Beliau ditugaskan untuk memata-matai pergerakan Pasukan Militer Pemerintahan Hindia Belanda di Salatiga. Di salatiga beliau bertemu dengan para laskar prajurit Pangeran Diponegoro, antara lain yakni Kyai Condro yang berasal dari magelang dan Kyai Sirojudin atau Kyai Damarjati.
==== Kyai Sirojudin / Kyai Damarjati ====
Kyai Sirojudin atau lebih di kenal dengan nama Kyai Damarjati adalah seorang ulama Salatiga yang berperan sebagai penyebar agama Islam dan seorang Laskar Prajurit Pangeran Diponegoro. Beliau adalah sahabat dari Kyai Rono Sentiko yang merupakan sahabat seperjuangan. Beliau bertempat tinggal di Dusun Krajan Salatiga. Beliau yang dulunya berjuang bersama dengan Kyai Rono Sentiko harus berpisah karena untuk menghindari kecurigaan pihak Belanda. Maka Kyai Rono Sentiko tetap di Bancaan Kauman sedangkan Kyai Damarjati pindah ke daerah Krajan.Beliau dalam perjuangannya beliu juga mendirikan sebuah masjid yang bernama Masjid Damarjati yang didirikan pada tahun 1826 atau satu tahun setelah Masjid Besar Kauman. [2]
==== Kyai Rono Sentiko/ Ki Rono Sentiko ====
Tak banyak yang tahu mengenai sosok pahlawan yang satu ini, beliau adalah pahlawan yang menyebarkan agama Islam serta memerangi pasukan militer Pemerintahan Hindia Belanda. Beliau adalah Kyai Rono Sentiko yang sampai sekarang belum diketahui kapan lahir dan wafatnya beliau. Kyai Rono Sentiko merupakan Abdi Dalem Keraton Surakarta pada Masa Pangeran Pakubuwana VI. Kyai Rono Sentiko diutus oleh Pakubuwana VI untuk membantu Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kyai Rono Sentiko di Salatiga ditugaskan untuk memata-matai gerakan militer Pemerintah Kolonial Belanda.
Dalam stategi perlawanannya beliau mendirikan sebuah Masjid yang terletak di Dusun Kauman (Sekarang Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga) yang dibangun pada tahun 1247 H/ 1832 M (tertulis dalam mihrab tempat imam memimpin shalat) atau bertepatan pada setelah perang Diponegoro yakni tahun 1825 M. Masjid tersebut di bangun disamping untuk tempat ibadah juga digunakan sebagai tempat musyawarah dan tempat menyusun strategi peperangan melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Salatiga. Dalam perlawanan-nya beliau ditemani oleh dua tokoh yang juga laskar prajurit Pangeran Diponegoro yakni Kyai Sirojudin/Kyai Damarjati dan Kyai Condro.
Beliau wafat dan di makamkan di pema-kaman umum di daerah Blotongan Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Kono beliau memiliki anak angkat yang menurunkan keturunan seorang Jenderal Polisi bernama Jenderal Polisi (Purn) Prof. Drs. Budi Gunawan, S.H., M.Si, Ph.D yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 11 Desember 1959. Beliau pernah menjabat sebagai WAKAPOLRI dan Kepala BIN serta sekarang beliau menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI).
==== Kyai Condro ====
Kyai Condro yang awalnya ikut mengawal Pangeran Diponegoro ke Magelang bersama 79 prajurit lainnya, saling berpencar. Sehingga, masing- masing berupaya menyelamatkan diri tanpa melalui koordinasi seperti pasukan jaman sekarang. Kyai Condro yang waktu itu belum memiliki ilmu agama (Islam) mencukupi, belakangan getol menyebarkan syiar. Di luar urusan keagamaan, ia juga menularkan ilmu bela diri, maklum, mantan veteran perang. Jadi ya ajar kalau dirinya menguasai berbagai cabang bela diri. Hal inilah yang membuat perkam-pungan sepi penduduk jadi semakin ramai hingga menjadi sebuah dusun.
Keberadaan kampung yang berubah menjadi dusun, belakangan membuat masyara-katnya makin religius sehingga membutuhkan satu tempat untuk beribadah secara berjamaah. Sayang, Kyai Condro ilmunya belum dianggap mumpuni, sehingga ia mengundang sahabatnya asal Magelang bernama Hasan Muarif yang memang piawai dalam mengupas agama Islam. Duet dua sahabat itu, akhirnya menyepakati untuk mendirikan mushola kecil yang bisa digunakan sholat berjamaah. Hingga pemeluk agama Islam semakin banyak, maka dusun tanpa nama itu mulai dikenal sebagai kawasan Muslim. Dalam perkembangannya, sesudah Kyai Condro mau pun Hasan Muarif wafat, tahun 1919 , Mushola dibongkar dan diperbesar jadi masjid
Sementara dusun yang semakin besar, atas kesepakatan masyarakat setempat dinamakan Desa Kecandran, diambil dari nama Kyai Condro. Dulunya, wilayah ini masuk Kabupaten Semarang. Setelah Salatiga mengalami pemeka-ran, akhirnya Desa Kecandran diubah menjadi Kelurahan dan termasuk Kecamatan Sidomukti hingga sekarang.[1]
== Arsitektur Bangunan Masjid ==
|