=== Periode kolonial ===
==== Perluasan wilayah kolonial Hindia Belanda ====
{{utama|Hindia Belanda}}
Setelah [[Perjanjian Inggris-Belanda 1814|Perjanjian Inggris-Belanda pada tanggal 13 Agustus 1814]] di [[London]] dan berakhirnya [[Peperangan era Napoleon|peperangan Napoleon]], [[Kerajaan Belanda|Belanda]] secara perlahan-lahan mengambil kembali koloninya satu per satu. Pada tanggal 28 Agustus, Belanda membentuk angkatan militer untuk [[Hindia Belanda]] yang bernama [[Tentara Kerajaan Hindia Belanda]] (KNIL).<ref>{{Cite web|last=|first=|date=2 Juni 2016|title=Staatsblad 2016 No. 258|url=https://zoek.officielebekendmakingen.nl/stb-2016-258.pdf|website=Overheid.nl|access-date=2020-12-05}}</ref> Pada tahun 1916, Belanda berhasil mengambil alih seluruh koloni milik Belanda seperti sebelum peperangan Napoleon pecah. Setelah itu, Komisaris Jenderal Hindia Belanda, yaitu badan yang mengatur pengambilalihan wilayah Hindia Belanda, merestrukturisasi pemerintahan di Hindia Belanda dan membentuk ''Regeringsreglement'' (Peraturan Pemerintah) yang kemudian mengatur struktur pemerintahan Hindia Belanda selama beberapa dekade ke depan.<ref name=":2">H.R.C. Wright, "The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824." ''Economic History Review'' 3.2 (1950): 229-239 [https://www.jstor.org/stable/2590770 online].</ref> Peraturan ini menyiratkan pandangan politik yang disebut ''[[Pax Nederlandica]]'', yaitu upaya Belanda untuk menguasai dan menduduki wilayah Nusantara dengan praktik kolonisasi yang lebih keras dan pembagian masyarakat ke dalam [[Kasta|sistem kasta]].<ref>{{Cite web|title=Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda - Semua Halaman - National Geographic|url=https://nationalgeographic.grid.id/read/132507373/pax-nederlandica-kuasa-politik-apartheid-zaman-hindia-belanda|website=nationalgeographic.grid.id|language=id|access-date=2023-05-05}}</ref> Sesuai pandangan tersebut, Belanda mulai mengerahkan KNIL ke wilayah-wilayah lain di Nusantara untuk memperluas wilayah [[Hindia Belanda]].
[[Berkas:Mahmud Badaruddin II.jpg|jmpl|175px|Ilustrasi Sultan [[Mahmud Badaruddin II dari Palembang|Mahmud Badaruddin II]].|kiri]]
Ekspansi koloni ke luar [[Jawa|Pulau Jawa]] yang dilakukan oleh Belanda tentu saja mendapat perlawanan penduduk setempat yang diserang oleh armada Belanda.<ref name=":0">{{cite book|last1=Ricklefs|first1=M C|date=1991|title=A History of Modern Indonesian since c.1300|location=Houndmills, Baingstoke, Hampshire and London|publisher=The Macmillan Press Limited|isbn=0-333-57690-X|edition=Second|pages=271, 297}}</ref> Misalnya, pemberontakan yang dilancarkan oleh rakyat Maluku di bawah kepemimpinan [[Pattimura]] mulai pada bulan Mei 1817 terhadap pemerintah kolonial [[Hindia Belanda]] yang sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat kecil. Pemberontakan tersebut berakhir dengan ditangkapnya Pattimura dan beberapa tokoh pejuang lainnya, yang kemudian [[Hukuman gantung|dihukum gantung]] di depan [[Benteng Victoria]] di [[Kota Ambon|Ambon]].<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2022-07-20|title=Sejarah Perang Pattimura: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak Halaman all|url=https://regional.kompas.com/read/2022/07/20/182128678/sejarah-perang-pattimura-tokoh-penyebab-kronologi-dan-dampak|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2023-05-06}}</ref> Lalu pada tahun 1819, Belanda melakukan ekspedisi untuk menguasai negara [[Kesultanan Palembang|Palembang]], yang disebut [[Perang Menteng]], tetapi dikalahkan oleh pasukan Palembang yang dipimpin oleh [[Mahmud Badaruddin II dari Palembang|Mahmud Badaruddin II]], Sultan Palembang saat itu. Kemudian dua tahun setelahnya, Belanda kembali melakukan [[Ekspedisi Palembang II|penyerangan ke Palembang]], tetapi kali ini dengan taktik serangan tiba-tiba. Taktik tersebut berhasil mengecoh pasukan Palembang, sehingga Palembang akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh pasukan KNIL. Badaruddin dan keluarganya ditangkap lalu diasingkan ke [[Kota Ternate|Ternate]], sementara negara Palembang resmi dihapuskan.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2022-06-12|title=Perang Menteng: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampak Halaman all|url=https://www.kompas.com/stori/read/2022/06/12/080000879/perang-menteng--latar-belakang-kronologi-dan-dampak|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2023-05-06}}</ref>
Konflik di negeri [[Orang Minangkabau|suku Minangkabau]], khususnya di negara [[Kerajaan Pagaruyung|Pagaruyung]], antara [[kaum Padri]] (pendukung penegakan [[syariat Islam]] dalam [[Orang Minangkabau|tatanan adat Minangkabau]]) dan [[kaum Adat]] (pendukung [[Budaya Minangkabau|adat dan tradisi murni Minangkabau]]) akhirnya memicu pecahnya [[Perang Padri]] yang pecah pada tahun 1803. Setelah Pagaruyung direbut oleh kaum Padri pada tahun 1815, kaum Adat yang terdesak kemudian meminta bantuan kepada [[Hindia Belanda|pemerintah kolonial Hindia Belanda]], yang saat itu baru selesai menstabilkan pemerintahan kolonial di Hindia Belanda, dan akhirnya membuat suatu kesepakatan dengan pihak Belanda. Belanda mulai ikut ambil bagian dalam pertempuran sejak tahun 1821. Perlawanan kaum Adat bersama pasukan KNIL itu sempat mengalami kekalahan akhirnya melakukan gencatan senjata dengan pihak [[kaum Padri]] pada tahun 1825, setelah Belanda yang terpecah karena meletusnya [[Perang Diponegoro]].<ref name=":1">Sjafnir Aboe Nain, 2004, ''Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.''</ref><ref name=":0" />
[[Berkas:Partition of the Johor Empire.png|200px|jmpl|Pembagian [[Kesultanan Johor|Kesultanan Johor-Lingga]] menjadi koloni Britania ([[Johor]], [[Kerajaan Pahang|Pahang]], [[Singapura]]) dan Belanda ([[Kesultanan Lingga|Riau-Lingga]], [[Kerajaan Indragiri|Indragiri]])]]
Sementara itu, ekspansi yang dilakukan oleh Belanda juga mendapat perlawanan dari sesama [[Eropa|bangsa Eropa]], yaitu armada pasukan dari [[bangsa Inggris]] yang juga telah mengklaim beberapa wilayah di Nusantara. Perselisihan tersebut diawali dengan pembentukan [[Singapura]] sebagai tempat bermarkasnya pasukan Britania, yang ditentang oleh [[Belanda]] pada tahun 1819. Oleh karena didesak oleh para [[pedagang]] yang menginginkan kejelasan batas wilayah kolonial di [[Timur Jauh]], pihak Belanda dan pihak Britania akhirnya mulai melakukan perundingan pada tanggal 20 Juli 1820. Meskipun begitu, perundingan kemudian ditunda pada tanggal 5 Agustus 1820. Perundingan dilanjutkan pada tanggal 15 Desember 1823, hingga akhirnya perundingan tersebut menghasilkan [[Perjanjian Inggris-Belanda 1824|perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824]], juga di [[London]]. Secara garis besar, perjanjian ini menyebutkan bahwa Belanda akan melepaskan seluruh wilayah jajahannya di [[Semenanjung Malaka]], [[Singapura]], dan [[Anak benua India|Anak Benua India]] kepada Britania Raya, tetapi sebaliknya, Britania Raya akan melepaskan seluruh wilayah jajahannya di [[Sumatra|Pulau Sumatra]], [[Kesultanan Lingga|Riau-Lingga]] (sekarang [[Kepulauan Riau]]), dan Banka-Biliton (sekarang [[Kepulauan Bangka Belitung]]) kepada Belanda.<ref name=":2" /> Perjanjian tersebut secara tegas membagi wilayah kolonial di Nusantara menjadi [[Malaya Britania]] (diteruskan oleh [[Malaysia]] dan [[Singapura]]) dan [[Hindia Belanda]] (diteruskan oleh [[Indonesia]]). Perjanjian tersebut [[Ratifikasi|diratifikasi]] oleh Britania Raya pada tanggal 30 April 1824 dan oleh Belanda pada 2 Juni 1824. Kedua belah pihak kemudian bertemu kembali di London pada tanggal 8 Juni 1824 untuk saling menukarkan dokumen hasil ratifikasi.<ref name=":2" />
Selama perundingan tersebut, Belanda tetap melakukan misi [[kolonialisme]] dan [[imperialisme]] di Nusantara. Pada tahun 1823, [[Pemberontakan di Kalimantan Barat (1823)|pemberontakan di Pulau Kalimantan bagian barat]] oleh [[Tionghoa|orang-orang Tionghoa]], karena berselisih paham dengan pemerintah kolonial, berhasil diredam oleh KNIL.<ref>Kepper G. 1900. ''Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger''; 1816-1900. [[Den Haag]]: M.M. Cuvee.</ref> Pada tahun 1824, pasukan KNIL yang dipimpin oleh [[Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen]] [[Perang Bone I|melawat]] ke negara [[Kesultanan Bone|Bone]], yang sebelumnya melakukan hubungan kerja saja dengan Belanda setelah [[Perjanjian Bungaya]], untuk merundingkan pembaruan pengakuan perjajian tersebut dengan pihak Bone. Namun, Bone ternyata ingin tidak ingin lagi melakukan kerja sama dengan pihak Belanda. Belanda yang tidak terima kemudian mengerahkan pasukan KNIL untuk menduduki Sulawesi, tetapi mereka mengalami kekalahan karena kekurangan pasukan, dan bahkan beberapa pos Belanda direbut oleh pasukan Bone. Pada tahun 1925, Pemerintah Hindia Belanda [[Perang Bone II|mengirimkan sejumlah besar pasukan]] beserta beberapa [[artileri]] untuk menangkap keluarga kerajaan Bone. Namun, sultan Bone dan pembesar-pembesarnya ternyata telah meninggalkan istana dan mengungsi ke pedalaman. Akibat peperangan yang pecah di Jawa dan Sumatra, pasukan pengejar dari KNIL terpaksa ditarik untuk menyelesaikan pertempuran.<ref>M. C. Ricklefs, ''A History of Modern Indonesia: c.1300 to the Present'' (Macmillan, 1981), p. 129.</ref> Pasukan KNIL kembali dikerahkan setelah Perang Padri selesai pada tahun 1838, dan pada tahun yang sama, pihak Bone akhirnya menyerah dan bersedia mengakui kembali Perjanjian Bungaya.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2021-06-29|title=Perang Bone: Latar Belakang dan Kronologi Halaman all|url=https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/29/130000979/perang-bone-latar-belakang-dan-kronologi|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2023-05-08}}</ref>
[[Berkas:Raden Saleh - Diponegoro arrest.jpg|300px|jmpl|Lukisan ''[[Penangkapan Pangeran Diponegoro]]'', oleh [[Raden Saleh]].|kiri]]
Di [[Jawa]], pemerintah kolonial Belanda merencanakan pembangunan jalan di sekitar [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]] pada bulan Mei 1825, dengan memasang patok-patok di setiap tanah yang akan dibangun jalan tersebut. Namun, jalan tersebut ternyata melewati lahan makam leluhur [[Diponegoro]] di [[Tegalrejo, Magelang|Tegalrejo]]. Diponegoro yang marah karena keputusan sepihak Belanda, ditambah faktor-foktor lain seperti penindasan sewenang-wenang Belanda terhadap rakyat Jawa dan ikut campur Belanda dalam keluarga [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat|keraton]], membuatnya mengerahkan pasukan dari rakyat jelata dan beberapa bangsawan yang simpatik untuk memberontak melawan Belanda dan Yogyakarta.<ref name="carey">Peter Carey. 2014. ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)''. Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.</ref> Awalnya, mereka menggunakan strategi [[gerilya]] yang berhasil mengecoh tentara KNIL. Sayangnya, pemerintah Belanda yang mulai menganggap serius perlawanan pasukan Diponegoro kemudian mengerahkan pasukan [[infanteri]], [[kavaleri]], dan [[artileri]] yang berhasil melumpuhkan dan memukul mundur pasukan Diponegoro.<ref>{{Cite web|last=Tim|title=Sejarah Perang Diponegoro, Pertempuran Besar di Tanah Jawa|url=https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20210702174417-574-662437/sejarah-perang-diponegoro-pertempuran-besar-di-tanah-jawa|website=edukasi|language=id-ID|access-date=2023-05-04}}</ref> Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, pasukan KNIL di bawah komando [[Hendrik Merkus de Kock]] berhasil menjepit Diponegoro dan membuatnya menyerah. Hampir seluruh penguasa lokal di Jawa tunduk menyerah pada Belanda, sementara Diponegoro yang ditangkap kemudian diasingkan ke [[Kota Manado|Manado]], lalu dipindahkan ke [[Kota Makassar|Makassar]].<ref name="carey" />
[[Berkas:Naar-beide-zijden-front.jpg|300px|jmpl|Lukisan pertempuran Perang Padri.]]
Setelah Belanda menyelesaikan perang di Jawa tersebut, Belanda kembali melanjutkan [[Perang Padri]] di tanah Minangkabau pada tahun 1931, dengan memulai [[operasi militer]] melawan kaum Padri. Semua berjalan sesuai rencana, hingga kaum Adat, yang tanpa disadari oleh pihak Belanda, mulai bersekongkol dengan pihak kaum Padri dan berkhianat kepada Belanda pada tahun 1933, dengan menyerang beberapa kubu pertahanan dan [[garnisun]] Belanda.<ref>Abdullah, Taufik (1966). ''Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau''. Indonesia. No. 2, 1-24.</ref> Melihat hal ini, Belanda mulai menyadari bahwa mereka bukan hanya harus menghadapi kaum Padri, tetapi menghadapi [[orang Minangkabau]] secara keseluruhan. Sejak saat itu, Belanda mulai berusaha untuk menarik hati penduduk-penduduk sekitar sembari tetap menyerang pos-pos milik kaum Padri.<ref name=":1" /><ref name=":0" /> Setelah pertempuran demi pertempuran yang berkepanjangan, Perang Padri akhirnya berakhir pada tanggal 28 Desember 1838,<ref>''Sejarah Untuk SMP dan MTs''. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.</ref> setelah seluruh [[benteng]] milik kaum Padri jatuh ke tangan Belanda dan negara Pagaruyung runtuh. Wilayah bekas kerajaan tersebut diserap ke dalam wilayah kolonial Hindia Belanda.<ref>H.R.C. Wright, "The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824." ''Economic History Review'' 3.2 (1950): 229-239 [https://www.jstor.org/stable/2590770 online].</ref>
[[Berkas:Raden Sarief Bastaman Saleh - Johannes Graaf van den Bosch.jpg|jmpl|200px|[[Johannes van den Bosch]], pencetus ''[[Cultuurstelsel]]''. Lukisan oleh [[Raden Saleh]].|kiri]]
Setelah peperangan dan ekspedisi yang dilakukan oleh KNIL, Hindia Belanda telah mencakup sebagian besar [[Jawa|Pulau Jawa]], [[Pesisir Barat Sumatra|pantai barat Sumatra]], [[Sumatra|Pulau Sumatra]] bagian selatan, [[Pulau Bangka]] dan [[Pulau Belitung]], [[Kota Makassar|Makassar]] dan sekitarnya, bagian ujung utara [[Sulawesi|Pulau Sulawesi]], [[Maluku]] bagian tengah, dan [[Kota Kupang|Kupang]]. Namun akibatnya, keuangan Belanda semakin menjadi carut-marut dan nyaris di ambang [[kebangkrutan]]. [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] yang menjabat pada saat itu, yaitu [[Johannes van den Bosch]], mengeluarkan kebijakan yang disebut ''[[Cultuurstelsel]]'' (Sistem Tanam Paksa) pada tahun 1830, yang pada intinya mengharuskan [[pribumi]] (''inlander'') memberikan 20% tanah pertanian untuk ditanami tanaman [[komoditas]] [[ekspor]] Belanda, atau memaksa petani untuk bekerja di tanah pertanian milik pemerintah selama 60 hari per tahun.<ref name=":02">{{Cite web|last=Ningsih|first=Widya Lestari|date=2022-07-27|title=Johannes van den Bosch, Penggagas Sistem Tanam Paksa|url=https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/27/140000179/johannes-van-den-bosch-penggagas-sistem-tanam-paksa|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2023-01-15}}</ref> Kebijakan tersebut terbukti berhasil menstabilkan kas pemerintah kolonial Belanda dan memajukan jumlah ekspor Hindia Belanda ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan ekspor masa VOC, sehingga Belanda terlepas dari jeratan kebangkrutan dan bahkan mampu membayar lunas [[Utang|utang-utang]] yang tersisa setelah VOC bangkrut. Walaupun demikian, kebijakan tersebut justru membuat keadaan penduduk lokal di Hindia Belanda semakin lama semakin terpuruk, hingga bencana [[kelaparan]] hebat dan [[wabah]] penyakit bermunculan pada tahun 1840-an.<ref>{{Cite book|last1=Schendel|first1=Willem van|date=17 June 2016|url=https://books.google.com/books?id=Ug9qDAAAQBAJ&pg=PA31&lpg=PA31&dq=cultivation+system+java+famine#q=cultivation%20system%20java%20famine|title=Embedding Agricultural Commodities: Using Historical Evidence, 1840s–1940s, edited by Willem van Schendel, from google (cultivation system java famine) result 10|isbn=9781317144977}}</ref> Perlawanan dari rakyat kecil dan bahkan dari para pedagang yang menginginkan sistem [[pasar bebas]] akhirnya menghilangkan kebijakan ini pada tahun 1870-an.
Sementara kebijakan ''Cultuurstelsel'' diberlakukan, Belanda juga masih tetap melakukan ekspedisi dan penyerangan ke wilayah-wilayah luar Jawa untuk memperluas cakupan wilayah [[Hindia Belanda]]. Pada tahun 1831, Belanda mulai mengirimkan pasukan KNIL untuk [[Invasi Belanda ke Pantai Barat Sumatra (1831)|menyerang wilayah pesisir bagian barat di Sumatra]], sebagai respons dari kenekatan orang-orang [[Kesultanan Aceh|Aceh]] yang menduduki pos-pos milik Belanda di [[Pesisir Barat Sumatra|wilayah tersebut]].<ref>Terwogt WA. [[1900]]. ''Het land van Jan Pieterszoon Coen: Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië''. [[Hoorn]]: P. Geerts.</ref> Setahun kemudian, [[Amerika Serikat]] (AS) juga mengirimkan pasukan ke Aceh, terutama daerah [[Kuala Batee, Aceh Barat Daya|Kuala Batee]], untuk membantu pasukan KNIL, karena merasa dirugikan setelah penduduk Kuala Batee merompak kapal ''[[Friendship (1830-an)|Friendship]]'' milik AS dan membantai [[Pelaut|anak buah kapal]] tersebut.<ref>{{cite book|last=Warriner|first=Francis|year=1835|url=http://books.google.com/books?id=1ckCAAAAYAAJ&pg=PA111&lpg=PA111&dq=quallah+battoo&source=web&ots=1rS4K4l2SS&sig=T5cVh6oqOwNiHnWHy7G72CVwuWU&hl=en|title=Cruise of the United States frigate Potomac round the world: during the years 1831-34|location=New York|publisher=Leavitt, Lord & Co.|isbn=|pages=|doi=|id=|authorlink=Francis Warriner|coauthors=}}</ref> Pertempuran berhenti setelah orang-orang Aceh menyerah.
Akibat kebijakan ''Cultuurstelsel'', rakyat [[Batipuh, Tanah Datar|Batipuh]] yang dihasut oleh oleh [[Tuan Gadang|Datuk Pamuncak]] kemudian melakukan [[Pemberontakan di Pantai Barat Sumatra (1841)|pemberontakan terhadap Belanda]], yang dimulai pada tanggal 22 Februari 1841. Pemberontakan tersebut menyulut pemberontakan lain di seputar daerah [[Orang Minangkabau|suku Minangkabau]], hingga ke kawasan [[Kota Bukittinggi|Fort de Kock]] (sekarang di [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]]) dan [[Benteng Van der Capellen|Fort Van der Capellen]] (sekarang di [[Batusangkar (kota)|Batusangkar]]). Dalam pemberontakan tersebut, beberapa tentara KNIL dari kalangan Belanda dan [[Pribumi-Nusantara|pribumi]] tewas.<ref>Zulqaiyyim, (1997), ''Peristiwa Batipuh tahun 1841: suatu studi kasus tentang gerakan sosial di Sumatra Barat: laporan penelitian'', Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian, Universitas Andalas</ref> Pemberontakan berhasil diredam seminggu setelahnya oleh [[Andreas Victor Michiels]]. Setelah pemberontakan tersebut, penduduk [[Batipuh, Tanah Datar|Batipuh]] dihukum [[kerja paksa]].<ref>{{Cite web|last=Yuandha|first=Ade|date=2021-11-09|title=Sejarah Cagar Budaya Tapak Rumah Gadang Tuan Gadang Batipuh di Kabupaten Tanah Datar|url=https://halonusa.com/sejarah-cagar-budaya-tapak-rumah-gadang-tuan-gadang-batipuh-di-kabupaten-tanah-datar/|website=Halonusa.com|language=id|access-date=2023-05-07}}</ref>
[[Berkas:Aanval der Baliers bij Kasoemba.jpg|jmpl|300px|Pasukan [[Bali]] melawan pasukan KNIL di [[Kusamba, Dawan, Klungkung|Kusamba]]. Ilustrasi dari ''Wapenfeiten van het Nederlandsch-Indisch Leger'' oleh G. L. Kepper (1902).]]
Pada tahun 1846, [[Perang Bali I|Hindia Belanda mengerahkan pasukan KNIL]] ke negara [[Kerajaan Buleleng|Buleleng]] di [[Bali]] utara untuk menguasai daerah tersebut, dengan dalih bahwa pihak Buleleng tidak mengindahkan kerja sama dengan pihak Belanda dan bahwa pihak Belanda menentang hak [[Tawan Karang|tawan karang]] milik raja-raja Bali, yaitu hak merampas kapal yang karam di wilayah Bali beserta muatannya, yang dianggap melanggar [[hukum internasional]]. Belanda mulai menguasai wilayah Buleleng dan [[Kerajaan Karangasem|Karangasem]] dengan kekuatan militer, hingga akhirnya tentara KNIL menduduki [[Singaraja]], ibu kota Buleleng pada awal tahun 1848. Orang Bali utara bersedia untuk menandatangani perjanjian dan membiarkan Belanda mendirikan markas di Buleleng.<ref name="Pringle">''A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm'' by Robert Pringle[https://books.google.com/books?id=5TOBKsLvjjkC&pg=PA97]</ref> Namun, setelah KNIL kembali ke Jawa, orang Bali melanggar perjanjian tersebut dan bahkan melakukan penyerangan di bawah komando [[I Gusti Ketut Jelantik]], seorang [[patih]] Buleleng. [[Perang Bali II|Pasukan KNIL kembali dikerahkan untuk menumpas pemberontakan]] pada pertengahan tahun 1848, tetapi pasukan Buleleng, yang berpindah markas ke [[Jagaraga, Sawan, Buleleng|Jagaraga]] setelah pasukan KNIL berlabuh di Bali, kali ini berhasil mengalahkan dan mengusir tentara KNIL.<ref name="Pringle" /> Belanda yang tidak terima kemudian [[Perang Bali III|mengirimkan armada dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar]] di bawah komando [[Andreas Victor Michiels]]. Kali ini, mereka memilih menyerang melalui gabungan jalur laut dan darat. Buleleng yang dengan cepat dikuasai oleh tentara KNIL membuat sejumlah orang Buleleng melakukan [[ritual]] [[bunuh diri massal]] ([[puputan|''puputan'']]), yang saat ini dikenal dengan peristiwa [[Perang Bali III|Puputan Jagaraga]].<ref name="Pringle" /> Sisa pasukan Buleleng kemudian melarikan diri ke negara-negara lain, salah satunya [[Karangasem, Karangasem|Karangasem]]. Namun, wilayah Karangasem akhirnya juga dikuasai dengan mudah berkat bantuan dari pasukan dari orang-orang dari [[Pulau Lombok]], yang bermusuhan dengan Karangasem. Dalam penyerangan ke Karangasem, Jelantik beserta I Gusti Ngurah Made Karangasem, raja Buleleng saat itu, gugur dalam pertempuran, sementara I Gusti Ngurah Gede Karangasem, raja Karangasem saat itu dan saudara sepupu dari Made Karangasem, melakukan ''puputan''.<ref name="Ring3">''International Dictionary of Historic Places: Asia and Oceania'' by Trudy Ring p.69 [https://books.google.com/books?id=vWLRxJEU49EC&pg=PA69]</ref> Pasukan KNIL kembali mengejar pasukan Bali yang melarikan diri ke [[Kerajaan Jembrana|Jembrana]] dan [[Kerajaan Klungkung|Klungkung]]. Namun, pengejaran ini terbukti tidaklah mudah bagi KNIL yang dihadang oleh pasukan Bali dari negara-negara selatan, yang kemudian diperparah dengan terbunuhnya Michiels dalam serangan mendadak di [[Kusamba, Dawan, Klungkung|Kusamba]], Klungkung.<ref name="Pringle2">''A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm'' Robert Pringle p.98''ff'' [https://books.google.com/books?id=5TOBKsLvjjkC&pg=PA98]</ref> Pihak Belanda dan pihak negara-negara Bali yang tidak menginginkan adanya pertumpahan darah lebih lanjut akhirnya menyetujui [[Perjanjian Kuta]] pada tahun 1850, yang membuat Hindia Belanda berhak memonopoli perdagangan di [[Kerajaan Bali|kerajaan-kerajaan Bali]], sementara Buleleng dan Jembrana jatuh ke tangan Belanda, serta Karangasem menjadi [[negara vasal]] Belanda yang dikuasai oleh orang-orang Lombok, terutama oleh [[Suku Bali|orang Bali-Mataram]].<ref name="Ring">''International Dictionary of Historic Places: Asia and Oceania'' by Trudy Ring p.69 [https://books.google.com/books?id=vWLRxJEU49EC&pg=PA69]</ref>
[[Berkas:Luitenant L. de Paauw op de versterking van Boni.jpg|kiri|jmpl|300x300px|Pasukan KNIL dalam menumpas pemberontakan di Bone (1859–1860). Ilustrasi diambil dari ''Wapenfeiten van het Nederlandsch-Indisch Leger'' oleh G. L. Kepper (1902).]]
Dalam beberapa tahun ke depannya, Belanda lebih gencar lagi melakukan penaklukan di beberapa wilayah Nusantara. Pada tahun 1850–1854, Belanda melakukan [[Pemberontakan di Kalimantan Barat (1854-1855)|penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa]] di [[Kalimantan|Pulau Kalimantan]] bagian barat yang menolak membayar pajak dan melawan pemerintah kolonial.<ref name=":3">Terwogt WA. [[1900]]. ''Het land van Jan Pieterszoon Coen: Geschiedenis van de Nederlanders in Oost-Indië''. [[Hoorn]]: P. Geerts.</ref> Pada tahun 1851–1859, Hindia Belanda mengirimkan tentara KNIL untuk menaklukkan sisa-sisa pengikut negara Palembang yang telah runtuh.<ref name=":3" /> Antara tahun 1855–1864, Belanda [[Ekspedisi Nias|melancarkan beberapa penyerbuan]] ke [[Pulau Nias]] untuk menaklukkan daerah tersebut.<ref name=":3" /> Pada tahun 1858, [[Belanda]] [[Intervensi Belanda di Bali (1858)|memadamkan pemberontakan di Bali]] yang dikepalai oleh I Gusti Nyoman Ide Gempol. Pasukan pemberontak tersebut ditangkap dan Gempol diasingkan.<ref name="Hanna">{{cite book|last=Hanna|first=Willard A.|year=2004|title=Bali Chronicles: Fascinating People and Events in Balinese History|location=Singapore|publisher=Periplus}}</ref> Kemudian pada tahun 1859, [[Kesultanan Bone|Bone]] kembali memberontak dan [[Perang Bone (1859-1860)|berperang melawan pemerintah kolonial]]. Pasukan KNIL yang dikerahkan untuk melakukan [[Aksi Polisionil|agresi militer]] awalnya gagal menaklukkan Bone karena banyaknya prajurit KNIL yang tewas dan pasukan ditarik untuk sementara waktu, tetapi setahun setelahnya, [[Perang Bone II|pasukan KNIL yang lebih besar dikerahkan]] dan Bone berhasil ditundukkan. Sebagian wilayah Bone direbut oleh Belanda dan menjadi wilayah Hindia Belanda.<ref name=":3" />
[[Berkas:Pangeran Antasari Museum Lambung Mangkurat.JPG|200px|jmpl|Lukisan [[Pangeran Antasari|Antasari]] yang disimpan di [[Museum Lambung Mangkurat]].]]
Perebutan [[takhta]] [[Kesultanan Banjar|Banjar]] di antara [[Tamjidillah II]] (ditunjuk menjadi sultan Banjar oleh Belanda) dan [[Hidayatullah II dari Banjar|Hidayatullah II]] (diangkat sebagai [[mangkubumi]] pada saat itu) membuat rakyat Banjar terpecah. Pada awal 1859, [[Perang Banjar]] di antara kedua kubu pendukung masing-masing tokoh tersebut meletus, dengan KNIL memposisikan diri di pihak Tamjidillah. Tetapi tidak lama kemudian, Tamjidillah [[turun takhta]] pada bulan Juni 1859, dan karena Belanda melihat bahwa tidak ada penerus yang dapat menggantikan posisinya, maka Belanda secara sepihak membubarkan negara [[Kesultanan Banjar|Banjar]]. Namun, rakyat Banjar mengangkat Hidayatullah sebagai sultan Baru, lalu ia memimpin rakyat dari [[suku Banjar]] dan [[Suku Dayak|Dayak]] untuk memberontak terhadap pemerintahan kolonial. Setelah beberapa tahun bertempur melawan Belanda, pada bulan Maret 1862, Hidayatullah menyerah kepada pasukan KNIL dan kemudian diasingkan ke [[Cianjur, Cianjur|Cianjur]]. [[Pangeran Antasari|Antasari]] diangkat pemimpin pemerintahan tertinggi Banjar dan melanjutkan kepemimpinan pasukan pemberontakan. Namun setelah beberapa bulan, ia meninggal karena penyakit cacar pada tanggal 11 Oktober 1862. Pada tahun 1863, Belanda menetapkan bahwa perang telah berakhir, tetapi beberapa pemberontakan sporadis yang dipimpin oleh [[Muhammad Seman]] masih terjadi hingga kematiannya pada tahun 1905.<ref>{{cite book|last=Kielstra|first=Egbert Broer|date=1917|url=https://www.dbnl.org/tekst/_onz001191701_01/_onz001191701_01_0061.php|title=Onze Eeuw|location=Haarlem|publisher=Erven F. Bohn|volume=17|pages=12-30|language=nl|trans-title=Our Century|chapter=Het sultanaat van Bandjermasin|trans-chapter=The Sultanate of Bandjermasin|author-link=Egbert Broer Kielstra}}</ref>
Pada tahun 1864–1868, pemerintah Hindia Belanda mengirimkan pasukan KNIL untuk menaklukkan [[suku Basemah]] yang meneror Palembang dan Benkoelen (Bengkulu).<ref>1900. W.A. Terwogt. ''Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië.'' P. Geerts. Hoorn</ref> Kemudian pada tahun 1868, pihak Belanda dan pihak Britania Raya kembali berembuk untuk menentukan wilayah-wilayah kolonial tambahan yang belum disepakati dalam perjanjian tahun 1824. Pada tanggal 8 September 1870, dua perjanjian Inggris-Belanda ditandatangani,<ref name=":4">{{cite journal|last=Adhin|first=J. H.|year=1961|title=De immigratie van Hindostanen en de afstand van de Goudkust|url=http://www.kitlv-journals.nl/index.php/nwig/article/viewFile/5188/5955|journal=Nieuwe West-Indische Gids|volume=41|issue=1|pages=4–13|doi=10.1163/22134360-90002334|doi-access=free}}</ref> salah satunya merupakan [[Perjanjian Sumatra|Perjanjian Siak]] yang berisi persetujuan pengintegrasian wilayah [[Kesultanan Siak Sri Inderapura|Siak Sri Inderapura]] ke dalam wilayah Hindia Belanda.<ref name="FCO12">Foreign and Commonwealth Office - [http://www.fco.gov.uk/en/treaties/treaties-landing/records/08400/08422 Convention between Great Britain and the Netherlands relative to the treatment of British Subjects in the Kingdom of Siak Sree Indrapoora, in the Island of Sumatra] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20120927180810/http://www.fco.gov.uk/en/treaties/treaties-landing/records/08400/08422|date=27 September 2012}}</ref> Sebenarnya pihak Belanda juga ingin memasukkan wilayah [[Kesultanan Aceh|Aceh]] ke dalam [[klausa]] perjanjian, tetapi niat tersebut dihalangi oleh pihak Britania yang menginginkan wilayah [[Pantai Emas Belanda]] di [[Afrika|Benua Afrika]], yang saat itu dikuasai oleh Belanda, sebagai gantinya.<ref name=":4" /> [[Tweede Kamer|Dewan Perwakilan Belanda]] menolak meratifikasi Perjanjian Siak, sehingga pihak Belanda dan pihak Britania kemudian melakukan perembukan ulang. Pada tanggal 2 November 1871, kedua pihak menandatangani [[Perjanjian Sumatra]], yang juga menambahkan klausa penggabungan Aceh dan seluruh [[Sumatra|Pulau Sumatra]] ke dalam wilayah Hindia Belanda, selain klausa-klausa yang telah disepakati dalam Perjanjian Siak.<ref name="FCO4">Foreign and Commonwealth Office - [http://www.fco.gov.uk/en/treaties/treaties-landing/records/08400/08427 Convention between Great Britain and the Netherlands, for the Settlement of their Mutual Relations in the Island of Sumatra] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20120928081529/http://www.fco.gov.uk/en/treaties/treaties-landing/records/08400/08427|date=28 September 2012}}</ref><ref name=":4" />
[[Berkas:Generaal Kohler sneuvelt in de Mesigit.jpg|275px|jmpl|Ilustrasi [[Jenderal]] [[Johan Harmen Rudolf Köhler|J. H. Köhler]] yang terbunuh di dekat ''meuseugit'' (sekarang [[Masjid Baiturrahman Banda Aceh]]).|kiri]]
Setelah perundingan tersebut, Belanda mengerahkan pasukan untuk menyerang dan menguasai Aceh pada tahun 1873. Di bawah pimpinan [[Johan Harmen Rudolf Köhler]] dan [[Eeldert Christiaan van Daalen]], pasukan KNIL [[Perang Aceh I|berlabuh di Aceh dan mulai menyerang]] wilayah tersebut pada bulan Maret, tetapi sebulan kemudian, Belanda terpaksa menarik pasukan tersebut karena kurangnya persiapan.<ref>1874. ''Bijlage: Een slechte verdediging. Nog iets over Atjeh door generaal De Stuers in de Gids 1875, nr. 4''. C.A. Jeekel. ''[[Het Vaderland]]'' Jumat 23 april 1875.</ref> Pada akhir tahun yang sama, Belanda kembali menyerang, kali ini, dengan jumlah pasukan yang sangat besar. Pada bulan Januari 1874, pengikut setia, keluarga kerajaan Aceh, dan Sultan Aceh saat itu, [[Sultan Mahmud Syah|Mahmud Syah]], yang tidak sanggup membendung pasukan KNIL akhirnya melarikan diri dari [[Kota Banda Aceh|Kutaraja]] (sekarang [[Kota Banda Aceh|Banda Aceh]]), ibu kota negara Aceh, dan bersembunyi di pedalaman. KNIL yang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini langsung menduduki Banda Aceh dan mengumumkan secara sepihak pembubaran negara Aceh dan pengintegrasian wilayah Aceh ke dalam [[Hindia Belanda]]. Setelah [[Sultan Mahmud Syah|Mahmud Syah]] meninggal karena [[Kolera|penyakit kolera]] tidak lama setelah ia melarikan diri, [[Muhammad Daud Syah dari Aceh|Muhammad Daud Syah]] diangkat sebagai sultan dan pemimpin pejuang Aceh. Pasukan Aceh yang bersembunyi masih melancarkan beberapa perlawanan kecil terhadap pasukan Belanda yang menguasai Kutaraja.<ref name=":0" /> Pada dekade 1880-an, para [[ulama]] yang juga ikut dalam pasukan Aceh melawan Belanda, khususnya tokoh [[Teungku Chik di Tiro]], mulai [[Propaganda|mempropagandakan]] [[Perang Aceh]] sebagai [[Perang agama|perang jihad]] melawan pasukan Belanda yang dipandang sebagai "para penjajah [[kafir]]", sehingga peperangan ini mulai dipandang sebagai simbol perlawanan [[Muslim|umat Muslim]] terhadap [[Imperialisme|imperialisme Barat]].<ref name="Ibrahim133">Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." ''Indonesian Heritage: Early Modern History''. Vol. 3, ed. [[Anthony Reid (academic)|Anthony Reid]], Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133</ref>
Kedatangan Belanda ke negeri [[Suku Batak Toba#Kerajaan Batak|suku Batak]] dengan maksud untuk menguasai wilayah tersebut sekaligus melakukan [[Misi Kristen untuk orang Batak|misi Kristen]] di tanah Batak membuat rakyat setempat, khususnya [[Sisingamangaraja XII]], merasa terancam dengan kehadiran mereka. Pada tanggal 16 Februari 1878, [[Perang Batak]] antara pasukan Batak di bawah komando Sisingamangaraja dengan pasukan KNIL meletus. Pasukan Sisingamangaraja menyerang pasukan KNIL di pos-pos pertahanan milik Belanda. Pada bulan Desember, pasukan Sisingamangaraja membentuk aliansi dengan para pejuang dari Aceh yang juga sedang berperang dengan Belanda kala itu dan mereka bersama-sama melakukan taktik [[gerilya]] untuk menyulitkan Belanda. Selama satu dekade setelahnya, pertemputan antara pasukan Sisingamangaraja dan pasukan KNIL berjalan seimbang. Pasukan Sisingamangaraja berhasil merebut beberapa pos pertahanan milik Belanda, sementara Belanda menangkap dan menyiksa prajurit dari pasukan Sisingamangaraja. Pada tahun 1889, Belanda yang mulai melihat jalan buntu dalam peperangan tersebut akhirnya mengirimkan pasukan dengan jumlah yang lebih banyak lagi. Sejak saat itu, pasukan Sisingamangaraja mulai mengalami kekalahan dan jumlah prajurit semakin berkurang, hingga pada tanggal 17 Juni 1907, [[Korps Marechaussee te Voet]] (Marsose) dari KNIL berhasil mengepungnya dan sisa pasukannya di suatu desa bernama [[Parlilitan, Humbang Hasundutan|Sionom Hudon]]. Sisingamangaraja bersama kedua putranya gugur dalam pertempuran tersebut.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2020-10-26|title=Perang Batak (1878-1907) Halaman all|url=https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/26/110937169/perang-batak-1878-1907|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2023-05-12}}</ref><ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2021-06-02|title=Sisingamangaraja XII: Kehidupan, Perjuangan, dan Perlawanan Halaman all|url=https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/02/142206479/sisingamangaraja-xii-kehidupan-perjuangan-dan-perlawanan|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2023-05-12}}</ref>
[[Berkas:Krakatoa evolution map-en.gif|jmpl|250px|Perkembangan [[Kepulauan Krakatau]] sebelum dan sesudah [[Krakatau|Gunung Krakatau]] meletus, hingga terbentuknya [[Anak Krakatau|Gunung Anak Krakatau]].]]
Selagi Belanda memperluas wilayah kolonial Hindia Belanda, bencana berupa letusan dahsyat [[Krakatau|Gunung Krakatau]] terjadi pada tahun 1883. Sebenarnya, aktivitas seismik yang intens telah tercatat mulai dari beberapa tahun sebelumnya. Mulai pada tanggal 20 Mei 1883, [[Gunung Perbuwatan|Perbuwatan]], yang merupakan puncak utara Gunung Krakatau, mengeluarkan asap dan uap yang kuat, yang terbawa hingga ke [[Batavia]] (sekarang [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]). Mulai pada tanggal 16 Juni, erupsi yang lebih kuat dengan [[awan]] dan [[Asbut|kabut asap]] berwarna hitam tebal keluar dari Krakatau, dan pada tanggal 24 Juni, kawah baru, yang terbentuk di antara Perbuwatan dan [[Gunung Danan|Danan]] karena erupsi kuat tersebut, juga mulai mengeluarkan erupsi, sehingga kedua erupsi membentuk seperti dua pilar awan hitam yang besar. Pada awal bulan Agustus, pilar ketiga terbentuk dari erupsi Danan, sementara beberapa kawah kecil di sekitanya, yang mengeluarkan asap dan uap dalam jumlah banyak, terbentuk beberapa hari setelahnya, sehingga [[vegetasi]] di sekitar Gunung Krakatau mulai rusak dan hancur.<ref name="thornton">{{cite book|last1=Thornton|first1=Ian W. B.|date=1997|url=https://books.google.com/books?id=IhvoZAQnc1UC&pg=PA10|title=Krakatau: The Destruction and Reassembly of an Island Ecosystem|publisher=Harvard University Press|isbn=978-0-674-50572-8|pages=9–11|language=en}}</ref> Pada tanggal 25–26 Agustus, erupsi semakin intens dan dahsyat, hingga menimbulkan [[tsunami]] kecil. Akhirnya, empat letusan sangat dahsyat yang menandakan puncak erupsi [[gunung berapi]] ini terjadi pada tanggal 27 Agustus. Letusan ketiga, yang menjadi letusan terkuat di antara keempatnya, menghasilkan suara dengan intensitas hingga 180 [[Desibel|dB]]<ref name="KSCVAB">{{cite document|last1=Oliveira|first1=Justin M.|last2=Vedo|first2=Sabrina|last3=Campbell|first3=Michael D.|last4=Atkinson|first4=Joseph P.|year=2010|title=KSC VAB Aeroacoustic Hazard Assessment|url=https://ntrs.nasa.gov/archive/nasa/casi.ntrs.nasa.gov/20110002902.pdf|publisher=[[Kennedy Space Center|KSC]] Engineering, [[NASA]]|pages=43|access-date=15 November 2016}}</ref> Sedemikian lantangnya suara tersebut sehingga [[gendang telinga]] sebagian besar [[Pelaut|awak kapal]] RMS ''Norham Castle'' milik Britania Raya, yang kebetulan sedang berlayar di perairan [[Sumatra]] dekat [[Krakatau|Kepulauan Krakatau]], pecah karena gelombang suara yang hebat, dan bahkan suara mirip tembakan [[meriam]] masih dapat terdengar dari [[Perth, Australia Barat|Perth]] di [[Australia]] dan [[Rodrigues|Pulau Rodrigues]] dekat [[Mauritius]].<ref name="the eruption">{{cite web|author=Monique R. Morgan|date=January 2013|title=The Eruption of Krakatoa (also known as Krakatau) in 1883|url=http://www.branchcollective.org/?ps_articles=monique-morgan-the-eruption-of-krakatoa-also-known-as-krakatau-in-1883|publisher=BRANCH: Britain, Representation and Nineteenth-Century History|access-date=5 February 2019}}</ref> Tiap letusan menghasilkan [[tsunami]] yang mencapai tinggi hingga 30 m, yang menyebar hingga sampai ke [[Afrika|Benua Afrika]] dalam bentuk gelombang yang relatif besar dan [[Selat Inggris]] dalam bentuk gelombang kecil.<ref name="thornton" /><ref name="tsunamis">{{Cite news|last=Pararas-Carayannis|first=George|year=2003|title=Near and far-field effects of tsunamis generated by the paroxysmal eruptions, explosions, caldera collapses and massive slope failures of the Krakatau volcano in Indonesia on August 26–27, 1883|url=http://library.lanl.gov/tsunami/ts214.pdf|publisher=The Tsunami Society|volume=21|issue=4|pages=191–201|issn=8755-6839|access-date=29 December 2007|periodical=Science of Tsunami Hazards}}</ref> Seluruh vegetasi di sekitar [[Selat Sunda]] rata dengan tanah akibat [[awan panas]] dan gelombang tsunami,<ref name="winchester2">{{Cite book|last=Winchester|first=Simon|year=2003|title=Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883|title-link=Krakatoa: The Day the World Exploded|publisher=Penguin/Viking|isbn=978-0-670-91430-2|author-link=Simon Winchester}}</ref> sementara korban manusia yang berjatuhan akibat [[letusan gunung]] dan [[tsunami]] berjumlah sekitar 36 ribu jiwa.<ref name="Explosive2">{{Cite journal|last=Bradley|first=Raymond S.|date=June 1988|title=The explosive volcanic eruption signal in northern hemisphere continental temperature records|url=http://www.geo.umass.edu/faculty/bradley/bradley1988.pdf|journal=Climatic Change|language=en|volume=12|issue=3|pages=221–243|bibcode=1988ClCh...12..221B|doi=10.1007/bf00139431|issn=0165-0009|archive-url=https://web.archive.org/web/20201103113755/http://www.geo.umass.edu/faculty/bradley/bradley1988.pdf|archive-date=3 November 2020|access-date=29 November 2019|s2cid=153757349|via=Springer|url-status=live}}</ref> Setelah letusan dahsyat keempat tersebut, dua pertiga bagian utara [[Pulau Rakata]] runtuh ke [[dasar laut]], serta menyisakan sepertiga bagian selatan pulau dan tebing curam yang merupakan sisa kaki [[Gunung Rakata|Puncak Rakata]] yang tidak runtuh.<ref name="thornton" /> Setelah letusan dahsyat tersebut, erupsi berkurang secara drastis hingga dinyatakan selesai pada bulan Oktober 1883, meskipun aktivitas seismik masih terasa di sekitar daerah tersebut hingga bulan Februari 1884. Letusan ini diperkirakan berkontribusi pada [[Musim dingin vulkanik|musim dingin vulkanis]] yang terjadi selama empat tahun setelah letusan terjadi dan pemandangan-pemandangan langit spektakuler yang diakibatkan oleh [[abu vulkanik]].<ref>{{Cite web|author=University of Minnesota|title=With a Bang: Not a Whimper|url=http://climate.umn.edu/pdf/mn_winter_1887-1888.pdf|archive-url=https://web.archive.org/web/20100622105435/http://climate.umn.edu/pdf/mn_winter_1887-1888.pdf|archive-date=22 June 2010|url-status=dead}}</ref>
[[Berkas:Teuku Umar.jpg|jmpl|273x273px|Potret foto Teuku Umar, salah satu [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|pahlawan nasional Indonesia]].|kiri]]
Belanda tetap memperluas wilayah tundukan mereka di wilayah Aceh sedikit demi sedikit, termasuk di antaranya adalah daerah [[Meulaboh]] pada tahun 1883. [[Teuku Umar]], sebagai penguasa lokal di Meulaboh, tunduk dan berdamai dengan pihak Belanda, sehingga ia dipercaya sebagai pemimpin pasukan yang membantu KNIL dalam perang melawan pasukan Aceh. Namun, penyerahan diri tersebut ternyata merupakan siasat Umar untuk mengelabui Belanda. Ketika Belanda kembali menyatakan perang terbuka dengan para pejuang gerilya Aceh pada tahun 1884, Umar dan pengikutnya merampok kapal dan senjata yang dipercayakan Belanda kepadanya dan membagikannya kepada para pejuang Aceh, sementara seluruh tentara dan awak kapal Belanda mereka habisi. Sejak saat itu, Teuku Umar ikut berperang bersama pejuang kesultanan melawan pasukan KNIL. Belanda menjadikan Umar sebagai [[buron]] dengan uang imbalan yang besar.<ref name="acehprov">{{citeweb|title=T. Umar.pdf|url=http://acehprov.go.id/images/stories/file/Pejuang/T%20Umar.pdf|work=[[Pemerintahan Aceh|Pemerintah Provinsi Aceh]]|archive-url=https://web.archive.org/web/20131008051522/http://www.acehprov.go.id/images/stories/file/Pejuang/T%20Umar.pdf|archive-date=2013-10-08|dead-url=yes|access-date=2011-11-30}}</ref> Setelah berperang melawan Belanda selama kurang lebih satu dekade, pada bulan September 1893, Umar yang melihat bahwa perang yang berkepanjangan tersebut membuat rakyat kesulitan akhirnya berusaha sekali lagi mengelabui Belanda dengan menyerahkan dirinya dan beberapa anak buahnya kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan bahkan bersandiwara seakan-akan ia sangat setia kepada [[Belanda]]. Hal ini bahkan mengelabui istri sekaligus teman seperjuangannya, [[Cut Nyak Dhien]]. Umar bergabung ke dalam dinas militer Belanda, dan dalam kurun waktu tiga tahun Umar mempelajari taktik dan siasat perang Belanda, mengumpulkan pasukan dan persenjataan, berhubungan dengan pejuang-pejuang Aceh lainnya secara diam-diam, serta mengirimkan uang dan gaji yang diterimanya kepada pasukan Aceh. Pada tanggal 30 Maret 1896, Umar menyatakan diri keluar dari dinas militer dan berbalik mendukung pejuang Aceh, setelah ia membawa lari 800 pucuk senjata, 25.000 butir [[peluru]], 500 kg [[amunisi]], dan uang dalam jumlah besar.<ref>{{Cite web|last=Kusuma|first=Putri Tiah Hadi|title=Mengenal Teuku Umar, Pahlawan Nasional dari Aceh|url=https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6485231/mengenal-teuku-umar-pahlawan-nasional-dari-aceh|website=detikedu|language=id-ID|access-date=2023-05-14}}</ref> Hal ini membuat pemerintah kolonial pusat sangat marah, sehingga Belanda melancarkan operasi militer besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar, tetapi para pejuang Aceh yang kini telah dilengkapi persenjataan yang didapat dari Belanda sendiri membuat pasukan KNIL kewalahan menangani mereka. Teuku Umar muncul sebagai kepala armada yang menyatukan pasukan-pasukan Aceh yang terpecah-pecah dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda. [[Joannes Benedictus van Heutsz]], komandan pasukan KNIL yang melawan Aceh saat itu, akhirnya menggunakan [[Spionase|mata-mata]] untuk melacak lokasi dan stategi perang Umar. Setelah mendapat kabar bahwa Umar akan menuju ke Meulaboh, Heutsz menyusun strategi serangan tiba-tiba untuk menangkap pasukan Umar. Akhirnya pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda berhasil menangkap pasukan Umar, sementara Teuku Umar sendiri gugur dalam penyerangan tersebut. Cut Nyak Dhien kemudian melanjutkan kepemimpinan Umar dalam melawan pasukan Belanda.<ref name="acehprov" />
Sementara berperang melawan pasukan Aceh dan Batak, Belanda tetap melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah Nusantara lainnya demi perluasan wilayah kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1970-an, Belanda berhasil menguasai [[Jawa]], hampir seluruh [[Sumatra|Pulau Sumatra]], [[Kota Kupang|Kupang]], pesisir selatan [[Kalimantan|Pulau Kalimantan]], [[Kota Makassar|Makassar]] dan sekitarnya, [[Kota Manado|Manado]] dan sekitarnya, serta sebagian besar [[Kepulauan Maluku]]. Penaklukan tersebut tentu saja menimbulkan gejolak perlawanan dan pemberontakan. Pada tahun 1885, penduduk [[Jambi]] melakukan pemberontakan terhadap Belanda dengan membunuh beberapa [[pejabat]] dan tentara Belanda, serta menyerang kapal-kapal Belanda yang berlabuh di pesisir Jambi. Pemberontakan dapat diredam setelah pemerintah kolonial mengirimkan beberapa armada kapal untuk menundukkan para pemberontak.<ref>{{cite book|last=Coenen|first=F.|year=1886|title=Iets over Djambi in 1885|location=Eigen Haard|pages=306–311|language=Dutch}}</ref> Kemudian pada tahun 1888, para petani Banten, khususnya petani yang mendiami [[Kota Cilegon|Cilegon]] dan sekitarnya yang mengalami kesengsaraan akibat bencana dan wabah penyakit, melakukan pemberontakan terhadap Belanda dengan melakukan [[kerusuhan]] di kediaman para pejabat Belanda, tetapi pemberontakan tersebut dengan cepat diredam oleh pasukan KNIL dalam waktu beberapa hari.<ref>{{Cite web|title=Mengenang Kembali "Pemberontakan Petani Banten 1888"|url=https://www.kompas.tv/article/147008/mengenang-kembali-pemberontakan-petani-banten-1888|website=KOMPAS.tv|language=id|access-date=2023-05-14}}</ref>
[[Berkas:Lombok 1894 J. Hoynck van Papendrecht 1858 1933.jpg|jmpl|300x300px|Lukisan pertempuran pasukan Belanda melawan oang Bali-Mataram, oleh J. Hoynk van Papendrecht (1910).]]
Pada tahun 1891, rakyat [[suku Sasak]] yang mayoritas beragama [[Islam]] melakukan pemberontakan terhadap kelompok [[Kota Mataram|Bali-Mataram]] (orang-orang [[suku Bali]] yang mendiami [[Pulau Lombok]]) beragama [[Hinduisme Bali|Hindu Bali]] yang telah menguasai seluruh Pulau Lombok sejak tahun 1839.<ref name="Ooi">{{Cite book|year=2004|url=http://www.ebook3000.com/dictionary/Southeast-Asia--A-Historical-Encyclopedia--From-Angkor-Wat-to-East-Timor--3-Volume-Set-_132751.html|title=Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor (3 vols)|location=Santa Barbara|publisher=[[ABC-CLIO]]|isbn=978-1576077702|editor1-last=Ooi|editor1-first=Keat Gin|pages=790 ff|oclc=646857823}}</ref> Pemberontakan tersebut dapat diredam oleh pasukan Bali-Mataram yang memiliki persenjataan yang lebih modern. Melihat bahwa pemberontakan yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil, pada bulan Februari 1894, pihak Sasak mengirimkan utusan untuk meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Belanda yang melihat konflik ini sebagai kesempatan untuk memperluas pengaruh di [[Bali]] dan Lombok akhirnya membantu pihak Sasak dengan melakukan blokade perdagangan dan memberi perintah agar orang-orang Bali-Mataram menyerah.<ref name="Keurs">{{cite book|last=Keurs|first=Pieter ter|year=2007|url=https://books.google.com/books?id=pOgsuCFVmOgC&pg=PA190|title=Colonial Collections Revisited|work=CNWS publications|publisher=Amsterdam University Press|isbn=9789057891526|volume=152|page=190 ff}}</ref> Namun, kelompok tersebut tidak mengindahkan ancaman tersebut, sehingga Belanda akhirnya turun tangan dengan mengirimkan pasukan ke [[Pulau Lombok]] pada bulan Juli 1894. Pada bulan Agustus, pasukan Bali-Mataram menentang kehadiran Belanda dengan menyerang pasukan KNIL secara tiba-tiba, hingga akhirnya pasukan tersebut harus menarik diri karena kehilangan banyak prajurit.<ref name="Capaldi">[http://books.google.com/books?id=KSH8hxNmW3gC&pg=PA300 ''Bali handbook with Lombok and the Eastern Isles: the travel guide'' by Liz Capaldi, Joshua Eliot p.300]</ref> Pada bulan November, Belanda kembali mengirimkan pasukan KNIL dengan jumlah yang lebih besar ke Lombok. Pasukan tersebut dengan cepat berhasil menundukkan seluruh perlawanan dari orang-orang Bali-Mataram, sebagian terbunuh dalam pertempuran, sebagian memilih melakukan ritual [[puputan]], dan sebagian menyerahkan diri.<ref name="Ooi" /> Akhirnya, Karangasem dan Pulau Lombok menjadi wilayah kolonial Hindia Belanda, dan seluruh kekayaan kerajaan direbut oleh Belanda.<ref name="Keurs" /> Belanda kembali melanjutkan usaha penaklukannya di Bali, sehingga tidak lama kemudian, negara [[Kerajaan Bangli|Bangli]] and [[Kerajaan Gianyar|Gianyar]] menyerah kepada Belanda, sementara negara-negara di Bali selatan masih tetap bertahan.<ref name="Lansing">[https://books.google.com/books?id=3zfVsO28NsYC&pg=PA20 ''Priests and programmers''] by [[John Stephen Lansing]] p.20</ref>
[[Berkas:Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924). Gouverneur-generaal (1904-09) Rijksmuseum SK-A-3814.jpeg|kiri|jmpl|286x286px|Potret [[Joannes Benedictus van Heutsz]], tokoh penting dalam operasi militer Belanda di tanah Aceh.]]
Antara tahun 1891–1892, [[Christiaan Snouck Hurgronje]], seorang peneliti [[Dunia Barat]] melakukan penelitian atas budaya dan penduduk di tanah Aceh. Hurgronje menyimpulkan bahwa Belanda sebaiknya mengurangi operasi militer melawan orang Aceh dan membuang fokus mereka terhadap sultan, serta sebaliknya harus menaruh perhatian mereka untuk membentuk praktik [[spionase]] yang terorganisasi dan juga menarik hati para ''[[ulèëbalang]]'', yaitu pemegang kekuasaan lokal di Aceh. Namun, ia juga memperingatkan bahwa beberapa kaum [[ulama]] tidak dapat diajak kerja sama dan hanya dapat ditundukkan dengan kekerasan.<ref>Van Koningsveld, P.S. ''Snouck Hurgronje alias Abdoel Ghaffar: enige historisch-kritische kanttekeningen'', (Leiden, 1982)</ref> [[Joannes Benedictus van Heutsz]], gubernur militer atas pasukan [[Tentara Kerajaan Hindia Belanda|KNIL]] yang menyerang Aceh, mulai mengimplementasikan saran Hurgronje tersebut dalam kebijakan-kebijakannya, yaitu dengan menawarkan suatu kemudahan perdagangan dan jaminan jabatan tetap sebagai penguasa wilayah kepada para ''ulèëbalang'' yang tunduk kepada Belanda. Kebijakan tersebut terbukti berhasil dengan mulusnya kegiatan [[Ekspedisi Pedir|ekspedisi pasukan Belanda]] ke [[Kerajaan Pedir|Pedir]] (sekarang [[Kabupaten Pidie|Pidie]]) pada tahun 1897–1898,<ref>1898. Bintang Djaoeh. ''Pedir en de aanstaande expeditie (met een overzichtskaart van Atjeh).'' Eigen Haard. Bladzijde 362-365.</ref> serta [[Ekspedisi Pedir|ekspedisi Belanda]] ke daerah [[Idi Rayeuk, Aceh Timur|Idi]] pada bulan Juli 1898.<ref>1891. ''[http://nda.courant.nu/index.php?page=1&mod=krantresultaat&q=edi+expeditie&datering=&qt=paragraaf&pagina=&sort=score+desc¶graaf=1&doc=0&p=296¶graaf=2&y=110 De Edi-expeditie van 1890]{{Pranala mati|date=Maret 2021|bot=InternetArchiveBot|fix-attempted=yes}}.'' Indisch Militair Tijdschrift II. Bladzijde 285-403.</ref> Beberapa ''ulèëbalang'' yang menyerahkan diri kemudian menjadi mata-mata bagi Belanda untuk melacak para pejuang Aceh.<ref name=":5">{{Cite book|last=Vickers|first=Adrian|year=2005|url=https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/10|title=A History of Modern Indonesia|location=New York|publisher=Cambridge University Press|isbn=0-521-54262-6|pages=[https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/10 10–13]}}</ref> Kegiatan [[spionase]] mereka memberi andil terhadap keberhasilan pasukan KNIL dalam mengepung dan menggugurkan [[Teuku Umar]] pada tahun 1899, serta menangkap tokoh-tokoh Aceh yang penting, seperti [[Muhammad Daud Syah dari Aceh|Muhammad Daud Syah]], [[Panglima Polem IX|Panglima Polem]], Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud pada tahun 1903. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh penting tersebut, Belanda menyatakan bahwa [[Perang Aceh]] telah selesai.<ref name="Ibrahim1332">Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." ''Indonesian Heritage: Early Modern History''. Vol. 3, ed. [[Anthony Reid (academic)|Anthony Reid]], Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133</ref> Pada tahun 1904, Belanda melakukan operasi militer besar-besaran ke [[Ekspedisi Tanah Gayo, Alas, dan Batak|tanah Gayo, Alas, dan Batak]], serta ke daerah-daerah lainnya yang masih melakukan perlawanan. Sekitar tiga ribu jiwa penduduk Aceh tewas dalam operasi ini.<ref name="daalen">{{cite web|author=H.L. Zwitzer|year=1989|title=DAALEN, Gotfried Coenraad Ernst van (1863–1930)|url=http://resources.huygens.knaw.nl/bwn1880-2000/lemmata/bwn3/daalen|website=[[Huygens Institute for the History of the Netherlands]]|language=nl|access-date=26 January 2022}}</ref> Berkat keberhasilannya dalam "membawa kedamaian" di tanah Aceh, Heutsz dianggap sebagai [[pahlawan]] di negeri [[Belanda]] dengan gelar "Pembawa Perdamaian Aceh", serta diangkat sebagai [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] oleh Pemerintah Belanda pada tahun yang sama, yaitu tahun 1904.<ref name=":5" /> Sementara itu, [[Cut Nyak Dhien]], yang juga melakukan perlawanan terpisah, ditangkap oleh Belanda pada tanggal 4 November 1905.<ref>{{Cite web|title=Kisah Cut Nyak Dhien Ditangkap Belanda: Cabut Rencong Hendak Tikam Panglima (9)|url=https://kumparan.com/acehkini/kisah-cut-nyak-dhien-ditangkap-belanda-cabut-rencong-hendak-tikam-panglima-9-1wocSHLulCG|website=kumparan|language=id-ID|access-date=2023-05-22}}</ref> Meskipun Belanda telah menyatakan bahwa perang telah usai, beberapa tokoh ulama Aceh masih tetap melakukan perlawanan, dengan [[Suku Gayo|tanah Gayo]] sebagai pusat perlawanan, hingga mereda sekitar tahun 1913–1914.<ref>{{cite book|last=Reid|first=Anthony|year=2005|title=An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra|location=[[Singapore]]|publisher=Singapore University Press|isbn=9971-69-298-8}}</ref>
Keberhasilan Belanda dalam menyelesaikan [[Perang Aceh]] yang telah berlangsung selama lebih dari tiga [[Dasawarsa|dekade]] tersebut juga mendorong semangat pemerintah kolonial Belanda untuk menundukkan negara-negara merdeka lainnya yang masih tersisa di [[Nusantara]].<ref name=":5" /> Belanda berhasil melakukan ekspedisi untuk [[Ekspedisi Kerinci|menguasai wilayah di daerah Kerinci]] (September 1903) serta [[Ekspedisi Sulawesi Selatan|menduduki wilayah Sulawesi bagian selatan]] dan membubarkan negara [[Kesultanan Gowa|Gowa]] dan [[Kesultanan Bone|Bone]] (1905).<ref>Michielsen, A. W. A. ''De expeditie naar Zuid-Celebes in 1905–1906''. Indisch militair tijdschrift, vols. 35, 36, 37. Batavia [Jakarta]: Kolff, 1915–16.</ref> Pada tanggal 15 Juni 1908, pemberontakan yang dilakukan oleh penduduk [[Kamang Magek, Agam|Kamang]] melawan Pemerintah Hindia Belanda pecah dan menyebar ke daerah-daerah lain di [[Pesisir Barat Sumatra|Keresidenan Pesisir Barat Sumatra]], seperti [[Manggopoh, Lubuk Basung, Agam|Manggopoh]] dan [[Lintau Buo, Tanah Datar|Lintau Buo]]. Pemberontakan tersebut terjadi akibat penerapan [[pajak]] (''belasting'') yang memberatkan masyarakat, sehingga pemberontakan ini disebut juga [[Perang Belasting]]. Pemerintah meresponsnya dengan mengirimkan [[Korps Marechaussee te Voet|korps marsose]] [[Tentara Kerajaan Hindia Belanda|KNIL]] yang mampu menundukkan semua gelombang pemberontakan tersebut dalam waktu sehari.<ref>Amran, R., (1988), ''Pemberontakan pajak 1908, Sumatra Barat. Bag. ke. 1: Perang Kamang'', Gita Karya</ref>
[[Berkas:Dutch troops landing at Sanur 1906.jpg|jmpl|300x300px|Pasukan Belanda yang mendarat di [[Pantai Sanur]] (1906).]]
Belanda yang telah berhasil menaklukkan Bali bagian utara mulai melakukan penyerangan ke negara-negara selatan yang masih bertahan melawan pengaruh Belanda. Pada tanggal 27 Mei 1904, kapal [[sekunar]] asing bernama ''Sri Kumala'' terdampar di perairan [[Pantai Sanur|Sanur]] dan dijarah oleh orang-orang Bali menurut adat [[Tawan Karang|tawan karang]] Bali. Belanda menggunakan alasan ini untuk mengultimatum [[Kerajaan Badung|Badung]], Tabanan, dan [[Kerajaan Klungkung|Klungkung]] agar menyerah.<ref name=":6">{{cite book|author=Willard A. Hanna|year=2004|title=Bali Chronicles|publisher=Periplus, Singapore|isbn=0-7946-0272-X|author-link=Willard A. Hanna}}</ref> Akhirnya pada bulan September 1908, Belanda [[Intervensi Belanda di Bali (1906)|mengirimkan armada dan pasukan KNIL]] untuk menyerang kerajaan-kerajaan tersebut, Ketika pasukan tiba di negara [[Kerajaan Badung|Badung]], Rakyat Badung yang tidak gentar melihat musuk kemudian menyerang pasukan mereka bersama [[I Gusti Ngurah Made Agung]], raja mereka saat itu. Beberapa penduduk lokal juga melakukan ritual [[Puputan|''puputan'']] atau melempari pasukan dengan [[perhiasan]] dan [[Uang logam|koin]] untuk mengolok-olok mereka. Kisah heroik raja dan rakyat Badung tersebut saat ini dikenal dengan peristiwa [[Intervensi Belanda di Bali (1906)|Puputan Badung]].<ref name=":6" /> Setelah negara Badung berhasil ditundukkan, pasukan KNIL melanjutkan penyerangannya ke Tabanan, tetapi raja dan pengikutnya pun melakukan ritual ''puputan'' di dalam kurungan.<ref>{{cite book|author=Andy Barski, Albert Beaucort and Bruce Carpenter, Barski|year=2007|url=https://archive.org/details/balilombok0000unse_r8y2|title=Bali and Lombok|publisher=Dorling Kindersley, London|isbn=978-0-7566-2878-9}}</ref> Setelah itu, pasukan Belanda pergi ke Klungkung dan mempertimbangkan untuk menyerang [[Dewa Agung]] Jambe II, penguasa Klungkung dan penguasa nominal seluruh Bali saat itu, tetapi mengurungkan niat mereka setelah Dewa Agung menyerah dan setuju untuk menandatangani perjanjian dengan Belanda.<ref name=":6" /> Belanda akhirnya mampu menguasai seluruh Pulau Bali. Namun, monopoli yang dilakukan oleh Belanda di tanah Bali akhirnya menimbulkan pemberontakan dari Dewa Agung, sebagai penguasa nominal Bali, dan pengikut-pengikutya pada bulan April 1908. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan pihak Belanda, sementara Dewa Agung terbunuh dan pengikut-pengikutnya melakukan ''puputan'', yang saat ini dikenal dengan peristiwa [[Intervensi Belanda di Bali (1908)|Puputan Klungkung]].<ref>''Insight Guide: Bali'' 2002 Brian Bell, Apa Publications GmbH&Co {{ISBN|1-58573-288-5}}.</ref>
Pada tahun 1920-an, wilayah [[Hindia Belanda]] telah mencakup seluruh wilayah yang saat ini telah menjadi [[negara berdaulat]] [[Indonesia]].
Pada masa [[Perang Dunia II]], sewaktu Belanda sedang diduduki oleh [[Jerman Nazi]], [[Jepang|Kekaisaran Jepang]] berhasil menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. [[Soekarno]], [[Hatta|Mohammad Hatta]], [[Mas Mansur, Kiai Haji|KH. Mas Mansur]], dan [[Ki Hajar Dewantara]] diberikan penghargaan oleh [[Hirohito|Kaisar Jepang]] pada tahun 1943.{{fact}}
|