Perkawinan Adat Makassar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Han4299 (bicara | kontrib)
k fix
Baris 2:
 
== Adat Sebelum Perkawinan ==
Sebuah ungkapan Bahasa makassar yang menyinggung tentang perkawinan adalah ''“Tenapa nagana se’re taua punna tenapa na situtu ulunna salangganna”,'' ( seorang belum sempurna jikalau kepalanya belum berhubungan dengan bahunya). Makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa seseorang baru bisa dikatakan sempurna yang dalam Bahasa Makassar disebut ''tau'', bila ia sudah kawin. Seorang yang belum  kawin diumpamakan mempunyai tubuh yang belum lengkap karena kepala dan selangkanya dianggap belum berhubungan. Suami dan istri dipersamakan sebagai kepala dan badan yang harus dihubungkan untuk menjadi manusia yang sempurna. Suami dan istri merupakan perlengkapan utama antara dengan lainnya. Seorang orang tua yang akan mengawinkan anaknya, baik putra maupun putri makai a akan mengatakan ''“la nipajjari taumi atau  la nipattumi uluma salangganna''.”Artinya akan dijadikan manusialah dia, dihubungkanlah kepalanya dan selangkanya, sebab anak, disebut gadis ataupun jejaka yang belum kawin maka dia belum bisa disebut ''“tau”.'' Ia belum punya hak untuk berbicara pada acara-acara tertentu. Oleh sebab itu, tanggung jawab seseorang sesudah dikawinkan akan bertambah.
 
Dikatakan pula bila seseorang mengawinkan anaknya ''“Nisungkemi Bongonna”'' artinya  selubungnya telah dibuka oleh anaknya. Orang tua yang mencarikan jodoh untuk anakny tidaklah  mudah, karena mengawinkan anak menghubungkan atau mempertautkan  dua keluarga menjadi satu sebab itu memerlukan berbagai pertimbangan.
 
Hubungan perkawinan itu menyebabkan kedua leluarga terikat oleh suatu ikatan yang disebut ''Ajjulu Sirik'' maksudnya kedua keluarga Bersatu alam mendukung kehormatan keluarga. Orang yang tidak berketeurunan di sebut ''“Tau puppusuk''”. Artinya orang yang tidak berlkembang biak dan termasuk orang sial. Terhadap seseorang yang banyak anak dikatakan ''“kalumannang mako kajaimi anaknu”,'' artinya engkau sudah kaya karena anakmu sudah banyak. Anak itu adalah pembawa rezeki.<ref>{{Cite book|title=Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan|last=Rivai|first=Abu|date=1975|publisher=Departemen Pendidkan dan kebudayaan|isbn=|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>
Baris 22:
 
=== ''Bunting'', Perkawinan dengan peminangan ''"akbayuang"'' ===
Bentuk ini berlaku umum, baik bangsawan maupun golongan biasa. Hanya saja golongan bangsawan melalui proses yang panjang dan upacara dat tertentu.  Apabila terjadi kesepakatan antara kedua calon maka ini disebut ‘''akbayuang’'' (bertunangan) . Ini adalah suatu cara adat untuk menjamin terciptanya lingkungan keluarga yang diterima, baik oleh keluarga maupun masyarakat.
 
=== Perkawinan dengan ''Annyala'' ===
''“Annyala”'' artinya berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah terhadap adat perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lai. Pihak keluarga gadis menderita sirik, sehingga ''tumasirik'' berkewajiban “''Appaenteng sirik”.'' Dengan membunuh lelaki yang melarikan anaknya, dan kekecualian yaitu apabila lelaki itu telah berada dalam rumah atau pekarangan rumah anggota hadat/pemuka masyarakat, atau setidak-tidaknya telah sempat membuang songkoknya ke dalam pekarangan rumah anggota hadat tersebut yang berarti ia telah berada dalam lindungan hadat, makai a tidak dapat diganggu lagi. Bagi kadhi/hadat merupakan kewajiban baginya untuk menikahkan si ''Annyala (Tumannyala).''
 
Sebagai langkah pertama dihubungi orang tua gadis ''(tumasirik)'' untuk dimintai persetujuannya. Tetapi biasanya orang tua tidak dapat memberikan jawaban  apalagi bertindak sebagai wali. Karena ia merasa antara ia dengan anak gadisnya tidak ada lagi hubungan yang disebut nimateimi (dianggap mati). Sebab itu tidak ada jalan lain bagi kadhi kecuali menikahkan ''tunnyala'' tetapi buka berarti ketegangan berakhir karena peristiwa adatnya belum selesai. Hubungan antara ''Tumasirik'' dan ''Tunnyala'' sebagai ''tuppakasirik'' tetap tegang, dan dendam ''tumasirik'' akan terus berlangsung selama tumannyala belum ''abbajik'' (damai). ''Annyala'' ada beberapa macam:
 
* ''Silariang'' berarti sama-sama lari  karena kehendak Bersama setelah mengadakan mufakat kemudian menetapkan waktu untuk Bersama menuju rumah penghulu meminta perlindungan dan selanjutnya untuk dinikahkan. Adapun sebab khusus terjadinya ''silariang'' adalah:
* Si gadis telah punya tambatan hati dengan seorang laki-laki lalu ia ingin dikawinkan dengan seorang yang tidak dicintainya yang merupakan paksaan baginya.
* Si laki-laki tidak dapt memenuhi tuntutan pihak keluarga si agdis padahal keduanya saling mencintai.
Baris 41:
 
* karena ''pangngassengan'' (guna-guna) hal ini bila pemuda dihina oleh gadis ataupun keluarganya.
* karena si gadis telah mengadakan hubungan rahasia dengan seorang laki-laki  sehingga ia hamil dan tak ada jalan lain baginya kecuali mendatangi si laki-laki yang melakukannya untuk dikawini.
* menghindari kawin paksa, sehingga si gadis mendatangi laki-laki pujaannya untuk minta dikawini.
 
Baris 65:
 
==== ''Appakajarrek/Annyikkok'' (mengikat) ====
'''''Appakajarrek''''' yaitu menyepakati atau menyatukan pendapat untuk melaksanakan pesta perkawinan. Pada tahap ini sudah dibicarakan '''''‘sunrang’''''' uang belanja ''(doek panaik)''  dan perlengkapan lainnhya atau ''erang-erang'', juga sering dibuktikan dengan sebentuk cincin yang disebut cincin ''passikkok.''
 
=== Tahapan Pernikahan ===
 
# '''''Simorong''''' atau '''''Naikmi kalenna''''' (Pengantin laki-laki di antar ke rumah pengantin perempuan). Laki-laki disambut dengan ganrang iareka nirateki. Setelah itu, pengantin diapanggil oleh ''Anrong bunting/''yang ditunjuk untuk melantunkan syair ''pakkiok bunting.''
# '''[[Appabattu  Nikka|''Appabattu  Nikka'']]''' ‘Ijab Kabul’
# '''''[[Nilekkak]]'',''' yaitu pengantin perempuan diantar ke rumah pengantin laki-laki. Pada acara ini, pengantin perempuan juga membawa pakblasak iareka ''pakmatoang ia siratannaya.'' Biasanya pengantin perempuan dipanggil pula dengan syair, lalu mereka diberikan sesuatu yang berharga ''‘pannimbaranngi’.'' <ref>{{Cite book|title=Bahan Ajar Bahasa Makassar|last=Daeng|first=Kembong|publisher=FBS UNM|year=2008|isbn=978-602-1347-41-6|location=Makassar|pages=|url-status=live}}</ref>