Muhammadiyah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: VisualEditor pranala ke halaman disambiguasi |
|||
Baris 56:
==Muhammadiyah Masa ke Masa==
===Periode Kepemimpinan Ahmad Dahlan===
Selama empat dekade dari 1901 sampai tahun 1942,
Terbukanya ruang bagi [[pribumi]] untuk mengikuti pendidikan atau menyelenggarakan pendidikan perlahan dimanfaatkan oleh Muhammadiyah.
Pada Rapat Anggota Muhammadiyah tanggal 17 Juli 1920 di Gedung Pengurus Utama (Hoofdbestuur) Muhammadiyah [[Kauman, Yogyakarta]], [[Ahmad Dahlan|Kiai Dahlan]] membentuk empat departemen pertama di Muhammadiyah beserta pemangku amanahnya, yakni Bagian Tabligh yang diketuai oleh [[Haji Fakhruddin|Haji Fachruddin]], Bagian Taman Pustaka dengan [[Haji Mochtar]], Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem dengan [[Haji Syujak]] dan Bagian Sekolahan dengan [[Hisjam bin Hoesni|Kyai Hisyam]].
Memperoleh amanah di bidang sekolahan, [[Hisjam bin Hoesni|Kiai Hisyam]] saat itu langsung menyampaikan visinya terkait target memajukan pendidikan bangsa dan pendidikan Muhammadiyah di masa depan.
''“Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus bagian sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya."''[https://muhammadiyah.or.id/kh-hisyam-peletak-fondasi-pendidikan-muhammadiyah/]
=== Periode Kepemimpinan K.H. Ibrahim (1923 – 1932) ===
Sebelum [[Ahmad Dahlan|Kyai Haji Ahmad Dahlan]] wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan
Pada masa ini Muhammadiyah makin berkembang dan meluas hingga luar Jawa. Lalu terbentuk Majelis Tarjih, mengadakan penelitian pengembangan hukum-hukum agama. Para pemuda mendapat bentuk organisasi yang nyata. Beridiri Nasyiyatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.
'''Pada tahun 1923''', Ketua Muhammadiyah Cabang [[Kota Pekalongan|Pekalongan]] mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah kemudian digantikan [[Ahmad Rasyid|Sutan Mansur]]. [[Ahmad Rasyid|Sutan Mansur]] juga memimpin Muhammadiyah Cabang [[Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan|Pekajangan, Kedung Wuni]], dan tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.
'''Pada akhir 1925,''' Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah [[Minang
'''Pada tahun 1927,''' [[Fakhruddin (ulama)|Fakhruddin]] dan [[Ahmad Rasyid|Sutan Mansur]] melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di [[Kota Medan|Medan]] dan [[Aceh]]. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di [[Kota Banda Aceh|Kotaraja]], [[Kota Sigli, Pidie|Sigli]], dan [[Kota Lhokseumawe|Lhokseumawe]].
'''Pada tahun 1929,''' Muhammadiyah berhasil mendirikan Cabang-cabang Muhammadiyah di [[Kota Banjarmasin|Banjarmasin]], [[Kuala Kapuas (kota)|Kuala Kapuas]], [[Mendawai, Katingan|Mendawai]], dan [[Amuntai (kota)|Amuntai]].
'''Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930)''' memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil ''Hoofdbestuur'' Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah.
'''Pada 1932,''' Muhammadiyah telah memiliki 103 ''Volkschool'', 47 ''Standaardschool'', 69 ''HIS'' dan 25 ''Schakelschool''.
=== Periode Kepemimpinan K.H. Hisyam (1932 – 1936) ===
[[Hisjam bin Hoesni|Kyai Haji Hisyam]] dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah salah satu murid langsung [[Ahmad Dahlan|K.H. Ahmad Dahlan]], yang juga adalah seorang ''[[abdi dalem]]'' ulama [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]].
Ia memimpin Muhamadiyah hanya selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di [[Kota Banjarmasin|Banjarmasin]] pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di [[Batavia|Batavia (Jakarta)]] pada tahun 1936.
Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (''volkschool'' atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana ''volkschool gubernemen''. Setelah itu, dibuka pula ''vervolgschool'' Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan ''volkschool'' dan ''vervolgschool'' Muhammadiyah di Indonesia, terutama di [[Jawa]]. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka ''standaardschool'', yaitu sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan ''Hollands Inlandsche School Met de Qur’an'' Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat [[Katolik]] yang telah mendirikan ''Hollands Inlandsche School Met de Bijbel.'' ▼
Kebijakan [[Hisjam bin Hoesni|K.H. Hisyam]] dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada [[Modernisasi|modernisasi]] sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.▼
▲Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (''volkschool'' atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana ''volkschool gubernemen''. Setelah itu, dibuka pula ''vervolgschool'' Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan ''volkschool'' dan ''vervolgschool'' Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka ''standaardschool'', yaitu sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan ''Hollands Inlandsche School Met de Qur’an'' Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan ''Hollands Inlandsche School Met de Bijbel.''
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah [[Hisjam bin Hoesni|K.H. Hisyam]] mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan [[Hisjam bin Hoesni|K.H. Hisyam]] dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari [[Sekolah Taman Siswa|Taman Siswa]] dan [[Sarekat Islam|Syarikat Islam]] yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu merupakan hasil pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi [[Imperium Belanda|kolonialisme Belanda]].▼
▲Kebijakan K.H. Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai [[bahasa Belanda]] sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan. Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu ''Ridder Orde van Oranje Nassau''. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.[https://muhammadiyah.or.id/kh-hisyam/]▼
▲Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah K.H. Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan K.H. Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif. Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu merupakan hasil pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.
▲Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan. Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu ''Ridder Orde van Oranje Nassau''. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.[https://muhammadiyah.or.id/kh-hisyam/]
=== Periode Kepemimpinan K.H. Mas Mansur (1936 – 1942) ===
Dalam '''Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada Oktober 1937,''' [[Mas Mansoer|Mas Mansur]] resmi ditunjuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinan [[Mas Mansoer|Mas Mansur]], Persyarikatan Muhammadiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dalam dakwah, pendidikan, kaderisasi, maupun dalam pergerakan nasional.
Setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah, [[Mas Mansoer|Mas Mansur]] mulai melakukan gebrakan politik yaitu dengan memprakarsai berdirinya [[Majelis Islam A'la Indonesia|Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)]]. Selain didominasi oleh aktivis Muhammadiyah, dalam MIAI juga ada [[Muhammad Hasyim Asy'ari|Hasyim Asy’ari]] dan [[Abdul Wahab Hasbullah|Wahab Hasbullah]] yang keduanya tokoh [[Nahdlatul Ulama|Nahdlatul Ulama (NU)]].
'''Pada tahun 1938,''' [[Mas
'''Pada 19 Maret 1939,''' Mas Mansur dan [[R. Wiwoho]] mewakili partai tersebut untuk mendirikan [[Gabungan Politik Indonesia|Gabungan Politik Indonesia (GAPI)]] bersama kaum pergerakan kebangsaan di Jakarta.
Sebagai organisasi federasi partai politik, GAPI secara aktif menuntut kepada Hindia Belanda untuk menerapkan pemerintahan demokratis bagi Indonesia. Berdasarkan anggaran dasar organisasinya, GAPI memiliki tujuan untuk: Menyatukan partai politik Indonesia dalam perjuangan kedaulatan pemerintahan Indonesia; Demokratisasi pemerintahan Indonesia; Mencegah konflik antar partai politik Indonesia dalam melakukan perjuangan kemerdekaan.
Baris 114 ⟶ 110:
Mas Mansur pernah menolak tawaran menjadi Ketua ''Hod van Islamietische Zaken'', yaitu lembaga yang bertugas memberikan nasihat-nasihat keagamaan Islam kepada Pemerintah Hindia Belanda. Meski akan memperoleh gaji sebesar seribu gulden setiap bulan, setara gaji bupati kala itu, ia tetap tegak pada pendirian tidak ingin menjadi alat pemerintahan penjajah. [https://muhammadiyah.or.id/kh-mas-mansoer-pahlawan-nasional-dari-muhammadiyah/]
Dalam periode ini dirumuskan
[[Soekarno|Sukarno]] aktif menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah dan Direktur Sekolah Menengah Muhammadiyah Bengkulu ketika menjalani
Sukarno mendebat penggunaan tabir di suatu rapat Muhammadiyah Bengkulu pada bulan Januari 1939. Sikap protes Sukarno ditunjukkan dengan cara ''walk out (''meninggalkan) rapat tersebut.
Baris 122 ⟶ 118:
Dalam protesnya, Sukarno menganggap penggunaan tabir melambangkan cara pandang Islam yang mundur. Tabir sendiri adalah pembatas perempuan dan laki-laki yang membuat jamaah perempuan tidak dapat melihat penceramaah atau jamaah lain dari lawan jenis.
pasca kejadian itu, Sukarno bertemu dengan tokoh Muhammadiyah [[Haji Syudjak]] dan [[Samaun Bakri]]. Keduanya sepakat dengan pandangan Sukarno. [[Haji Syudjak]] sendiri menyebut tabir memang tidak diperlukan dalam rapat Muhammadiyah, karena Kiai Ahmad Dahlan pun berpendapat demikian.
Protes Sukarno terhadap masalah tabir nyatanya karena Sukarno menaruh harapan besar untuk agar Muhammadiyah berhasil mengangkat umat dari pandangan kolot yang membelenggu untuk maju. Pada wawancara dengan koresponden Surat Kabar ''Antara'' yang dimuat di Surat Kabar ''Pandji Islam'' tahun itu, Sukarno berkata:
Baris 134 ⟶ 130:
Surat Terbuka Sukarno bertajuk ''“Minta Hukum yang Pasti dalam Soal ‘Tabir”'' dimuat dalam bukunya, ''Di Bawah Bendera Revolusi'' (1959).
Kejadian lain pada periode ini, Pada Mei tahun 1940, [[Kasman Singodimedjo|Kasman singodimejo]] masuk penjara setelah meneriakkan kalimat ''“Untuk Indonesia Merdeka!”'' di ujung pidato dalam Konferensi Muhammadiyah se-Jawa Barat di Bogor.
Ketika Jepang menggantikan kekuasaan Belanda atas Nusantara, tepatnya pada tanggal 16 April 1943, dibentuklah organisasi yang bernama [[Pusat Tenaga Rakyat|Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA)]] di [[Lapangan Ikada|Lapangan Ikada, Jakarta]].
[[Mas Mansoer]] bersama dengan [[Soekarno]], [[Mohammad Hatta]], dan [[Ki Hadjar Dewantara|Ki Hajar Dewantoro]] ditunjuk sebagai pimpinan PUTERA yang kemudian dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Keempat tokoh ini dianggap Jepang sebagai kelompok yang paling berpengaruh di Indonesia.
Keterlibatannya dalam Empat Serangkai mengharuskan Mas Mansoer pindah ke Jakarta, sehingga Ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagoes Hadikoesoemo]].
=== Kepemimpinan Ki Bagus Hadi Kusumo (1944-1955) ===
Munculnya [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagus Hadikusumo]] sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya [[Perang Dunia II|perang dunia II]]. Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah ketika diminta oleh [[Mas Mansoer|Mas Mansur]] pada Kongres ke-26 tahun 1937 di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]], ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus [[Pusat Tenaga Rakyat]] (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942.[https://muhammadiyah.or.id/ki-bagus-hadikusuma-ketua-1944-1953/]
Pada 10 November 1943, [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagus Hadikusumo]], [[Soekarno]] dan [[Mohammad Hatta|Moh. Hatta]] mendapatkan undangan menghadap Kaisar Jepang. Kunjungan tiga delegasi Indonesia ke Jepang tersebut berjalan selama 17 hari. Pertemuan utamanya dilakukan untuk mempercepat proses kemerdekaan Indonesia.
Setelah sampai di Jepang, tiga utusan Indonesia ini diminta mengikuti sembahyang di Kuil upacara termulia bersama [[Kaisar Jepang]]. Salah satu rukun upacara sakral itu adalah harus meminum [[Sake|air sake]] (arak) dalam cangkir.
Ki Bagus Hadikusumo tidak mau minum sakai [sake, ''red''] karena ajaran agama Islam mengharamkan minuman keras. Kemudian, Ki Bagus Hadikusumo menumpahkan arak itu ke lantai (karena tangannya gemetar). Tentu saja hadirin menjadi berdebar-debar, termasuk pembesar-pembesar militer Jepang,
Baris 155 ⟶ 151:
Ki Bagus Hadikusumo menjelaskan alasannya menolak minum sake kepada Kaisar dan pejabat militer Jepang.
Atas kepandaiannya memberi penjelasan, [[Hirohito|Kaisar Hirohito]] pun tidak marah dan merasa takjub sehingga menghadiahkan cangkir dan cawan yang dipakai tempat Sake kepada Ki Bagus Hadikusumo.
Tak hanya mendapatkan hadian cawan, [[Bagoes Hadikoesoemo|Ki Bagus Hadikusumo]] bersama [[Soekarno]] dan [[Mohammad Hatta|Hatta]] mendapatkan kehormatan untuk bertemu langsung dan berjabatan tangan dengan Kaisar.
Ki Bagus, Soekarno dan Hatta juga mendapatkan penghargaan Bintang Ratna Suci dari Kaisar. Soekarno mendapatkan lencana kelas dua (''Kun Nito Juiho-Sho''), sementara Ki Bagus Hadikusumo dan Hatta mendapatkan lencana kelas tiga (''Kun Santo Juiho-Sho'').[https://muhammadiyah.or.id/kisah-ki-bagus-hadikusumo-menolak-sake-kaisar-hirohito/]
Ki Bagus Hadikusuma gigih menentang instruksi ''“Sei Kerei”'' dari Jepang. ''Sei Kerei'' adalah membungkukkan badan ke arah timur (Negeri Jepang) menghormati Dewa Matahari, sebagai ''“Dewa penitis para Kaisar Jepang”''. Upacara ini wajib dilakukan para siswa setiap pagi.
Melalui debat yang seru dengan Pemerintah Jepang, akhirnya pemerintah Jepang memberikan dispensasi. Khusus bagi semua sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara ''Sei Kerei''. Ki Bagus Hadikusumo juga tercatat sebagai anggota ''Chuo Sangiin'' (Dewan Penasehat Pusat) buatan Jepang.
Memasuki masa orde lama awal, Persyarikatan Muhammadiyah masih berada dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo
Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan ''[[Hizbullah Sabilillah]]'', [[Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Majelis Syurau Muslimin Indonesia]] (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan [[Askar Perang Sabil|Asykar Perang Sabil]] (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada Sidang kedua BPUPKI 10-17 Juli 1945, salah satu hal yang menyita perhatian adalah upaya Ki Bagus untuk meminta Ketua Panitia UUD Ir. Soekarno mengubah frasa dalam bagian akhir naskah preambul Pernyataan Kemerdekaan yang berbunyi
Sambil menggebrak meja, anggota BPUPKI lainnya [[Abdoel Kahar Moezakir|Abdul Kahar Muzakir]] mendukung pernyataan Ki Bagus agar potensi mudharat atas kalimat tersebut dipertimbangkan sebaik mungkin. Tujuan Ki Bagus semata demi menjaga rasa keadilan di antara umat beragama dan menjaga persatuan bangsa Indonesia, selain menghindari kesan yang tidak baik dan adanya infiltrasi dari agen-agen musuh meski pada akhirnya, usulan tersebut tidak diterima dan perdebatan diakhiri pada 16 Juli 1945, demikian yang tercatat dalam Risalah Sidang [[Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan|Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia]] (BPUPKI), [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (1995).
Bagaimanapun Ki Bagus tetaplah murid KH Ahmad Dahlan yang ingin memperjuangkan aspirasi hukum Islam di dalam negara sebagaimana yang telah dilakukannya dewan Priestraad Hindia-Belanda, meneruskan perjuangan gurunya. Dirasa tidak ada jalan lain untuk meninggikan kedudukan Hukum Islam, Ki Bagus akhirnya menerima tujuh kata yang pada awalnya tidak disepakatinya tersebut dan berusaha mempertahankannya. Konsekuensi yang tidak diinginkannya justru datang satu hari setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjelang penetapan UUD oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
|