Elementis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
Baris 53:
Sebagian tantangannya adalah bahwa karet alami menghadapi kompetisi dari karet sintetis. Namun, tantangan terbesar berasal dari dekolonisasi pasca-perang dan meningkatnya keinginan negara yang baru merdeka untuk mengendalikan perkebunannya sendiri. Hal tersebut pun diperparah dengan adanya pemberontakan di [[Malaysia]] dan [[Indonesia]]. Walaupun begitu, karena sejak awal perusahaan ini bertekad untuk tidak tergantung pada satu wilayah saja, Harrisons pun terus mencari peluang untuk tumbuh di Asia Tenggara.<ref name=" Pugh and Nickalls"/>
 
Salah satu yang sukses adalah North Borneo Timber, yang kemudian diubah namanya menjadi Sabah Timber. Walaupun tidak lagi memonopoli sejak tahun 1950, mekanisasi penebangan pohon kemudian memungkinkan peningkatan produksi kayu dari sekitar 2 juta kaki kubik menjadi 19 juta kaki kubik pada tahun 1969. Pada saat kegiatan penebangan tersebut berakhir pada tahun 1982, Sabah Timber pun telah memiliki bisnis kayu di Britania Raya. Bisnis lain yang dikembangkan oleh perusahaan ini pasca-perang adalah kelapa sawit, yang kerap ditanam di bekas kebun karet, tetapi Harrisons juga mengakuisisi lahan baru di Sabah dan membentuk sebuah perusahaan baru di [[Papua Nugini]], yakni New Britain Palm Oil.<ref name="auto">{{Cite web|url=https://www.nbpol.com.pg/|title=New Britain Palm Oil Limited|access-date=2022-10-06|archive-date=2022-10-06|archive-url=https://web.archive.org/web/20221006061315/https://www.nbpol.com.pg/|dead-url=yes}}</ref> Hingga tahun 1960, Harrisons memiliki 32 kebun di India, terutama kebun teh, tetapi juga beberapa kebun karet. Sejak saat itu, walaupun tetap melakukan sejumlah akuisisi, perusahaan ini fokus menggabungkan kebunnnya untuk membentuk Malayalam Plantations yang lebih besar.<ref name=" Pugh and Nickalls"/>
 
Walaupun ada gangguan yang disebabkan oleh [[Kedaruratan Malaya]], Harrisons tetap mengakuisisi sejumlah kebun. Di India, perusahaan ini mengkonsolidasi kebunnya ke dalam tiga perusahaan, yakni Golden Hope, Pataling, dan London Asiatic. Pada tahun 1977, ketiga perusahaan tersebut digabung untuk membentuk Harrisons Malaysian Estates. Di Indonesia, Harrisons kehilangan kendali atas kebunnya. Sekitar tahun 1960, [[London Sumatra]] pun didirikan untuk menggabungkan 16 kebun milik perusahaan ini di Indonesia. Sejumlah kebun lain kemudian juga digabungkan ke dalamnya, sehingga London Sumatra menjadi salah satu perusahaan perkebunan terbesar di dunia. Pada tahun 1983, Harrisons telah memegang seluruh saham perusahaan tersebut.<ref name="Pugh and Nickalls "/>