Ibadi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: halaman dengan galat kutipan VisualEditor
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: halaman dengan galat kutipan kemungkinan perlu dirapikan VisualEditor
Baris 46:
 
Pada tahun 900, penganut Ibadi telah menyebar ke [[Sindh]], [[Khorasan Raya|Khorosan]], Hadhramaut, [[Dhofar]], [[:ms:Imamah_Oman|Imamah Oman]], [[Muscat, Oman|Muskat]], [[Pegunungan Nafusa]], dan [[:ms:Qeshm,_Iran|Qeshm]]; pada tahun 1200, sekte tersebut hadir di [[Al-Andalus]], [[Sisilia]], [[M'zab]] (Sahara Aljazair), dan juga bagian barat wilayah [[Sahel]]. <ref name="haw1992" /> Pada abad ke-14, sejarawan [[Ibn Khaldun]] merujuk pada sisa-sisa pengaruh Ibadi di Hadhramaut, meskipun sekte tersebut tidak lagi ada di wilayah tersebut saat ini.<ref>{{cite book|last=McLaughlin|first=Daniel|date=2008|title=Yemen|publisher=Bradt Travel Guides|isbn=9781841622125|page=204}}</ref>
 
== Pandangan ==
{{Akidah|Lainnya}}
Penganut Ibadi menyatakan bahwa pemikiran mereka mendahului mazhab Islam arus utama dan pernyataan tersebut disetujui oleh beberapa penulis barat. Secara khusus, [[Donald Hawley]] berpendapat bahwa Ibadi memang dianggap sebagai interpretasi Islam awal dan sangat ortodoks.<ref name="haw2012" />
 
=== Imamah Ibadi dan teori politik ===
Berbeda dengan teori Sunni tentang [[kekhalifahan]] dan gagasan Syiah tentang [[Imamah]] yang memiliki legitimasi keilahian, para pemimpin Ibadi yang umum disebut Imam, tidak perlu menguasai wilayah Muslim di seluruh dunia. Komunitas Muslim dianggap mampu memerintah diri mereka sendiri.<ref name="mcg2032" /><ref name="haw2003" /> Kaum Ibadi menolak keyakinan bahwa pemimpin komunitas Muslim harus berasal dari [[suku Quraisy]] (Ini berbeda dengan kepercayaan Syiah yang beranggapan mereka akan diperintah oleh [[mahdi]], yang akan menjadi keturunan dari Keluarga Muhammad [''[[Ahlulbait|Ahlul Bait]]''], Muhammad merupakan anggota dari suku Quraisy.).<ref name="diana272" /><ref name="haw2003" /> Sebaliknya, dua kualifikasi utama seorang imam Ibadi adalah bahwa dia adalah orang yang paling saleh di masyarakat dan paling terpelajar dalam urusan''[[Fiqh| fikih]]'' atau yurisprudensi Islam, serta dia memiliki pengetahuan militer untuk membela komunitas Ibadi dari perang dan penindasan.<ref name="Ghubash">{{cite book|author1=Hussein Ghubash|year=2014|url=https://books.google.com/books?id=qaPKAgAAQBAJ|title=Oman - The Islamic Democratic Tradition|publisher=Routledge|isbn=9781135035662|page=35}}</ref> Dalam tradisi Oman, seorang imam yang terpelajar dalam ilmu hukum Islam dianggap "kuat" ({{transliterasi|ar|qawī}}), dan seorang imam yang keterampilan utamanya hanya dalam bidang militer tanpa penguasaan terhadap hukum Islam dianggap "lemah" ({{transliterasi|ar|ḍaʻīf}}). Tidak seperti imam yang kuat, imam yang lemah wajib berkonsultasi dengan seorang ''[[ulama]]'', atau komunitas ulama, sebelum mengambil keputusan apa pun.<ref name="Ghubash2" /> Seorang imam yang lemah diangkat hanya pada keadaan darurat, yaitu ketika komunitas Ibadi berada pada ambang kehancuran.{{sfn|Gaiser|2010|p=137}}
 
Ibadi kontemporer menjunjung tinggi empat "model agama" ({{transliterasi|ar|masālik ad-dīn}}), yang merupakan empat keadaan imam yang masing-masing memiliki kesesuaian dengan konteks tertentu.{{sfn|Gaiser|2010}} {{transliterasi|ar|Imām al-kitmān}} atau yang dapat diartikan sebagai "Imam kerahasiaan" adalah seorang pemimpin terpelajar yang "memerintah" dalam [[Kediaman politik dalam Islam|kediaman politik]], mempraktikkan [[taqiyyah]] untuk menghindari penganiayaan, pada saat komunitas Ibadi tidak dapat mengungkapkan dirinya secara terbuka.{{sfn|Gaiser|2010|p=13}} Dalam beberapa kasus, keadaan {{transliterasi|ar|kitmān}} mungkin diperlukan bahkan ketika imam berada dalam ketiadaan. Dalam hal ini, ulama Ibadi mengambil alih sebagai penguasa pengganti menggantikan imam. Jenis ''imam al-kitman'' telah terjadi pada sebagian besar sejarah Ibadi Afrika Utara sejak jatuhnya imamah [[Dinasti Rustam|Rustamiyyah]] pada tahun 909.{{sfn|Gaiser|2010|p=76}} Komunitas Ibadi Afrika Utara tidak lagi seperti rekan seagama Oman mereka yang secara berkala membangun kembali imamah sampai 1958.{{sfn|Gaiser|2010|p=10}}
 
Keadaan kedua, yaitu {{transliterasi|ar|imām asy-syārī}} "Imam perjuangan", adalah imam Ibadi yang "menukar" hidup mereka di [[dunia]] untuk tempat yang menguntungkan, yaitu [[akhirat]] dengan terlibat dalam perjuangan militer (''[[Jihad|jihād]]'') melawan otoritas zalim yang tak dapat ditoleransi lagi dengan tujuan menciptakan negara Ibadi.<ref name="Ghubash3" />{{sfn|Gaiser|2010|pp=13–14}} Contohnya adalah pemimpin Khawarij Basrah awal [[Abu Bilal Mirdas]], yang kemudian dipegang oleh Ibadiyah sebagai purwarupa "Imam perjuangan". Calon {{transliterasi|ar|imām al-shārī}} tidak dapat memulai aksi militer sampai mereka menemukan setidaknya empat puluh pengikut, seperti yang dimiliki Abu Bilal, yang bersedia mati untuk tujuan tersebut. Begitu perang dimulai, imam harus terus berperang sampai hanya tersisa tiga pengikut. Gaya hidup asketis diperlukan dari {{transliterasi|ar|imām asy-syārī}} dan para pengikutnya, seperti yang dinyatakan dalam pidato berikut oleh Abu Bilal:{{sfn|Gaiser|2010|p=107}}<blockquote>Kalian pergi berperang di jalan Allah dengan menginginkan keridhaan-Nya dan tidak menginginkan apa pun dari dunia saat ini, kalian tidak menginginkannya karena kalian tidak akan kembali ke sana. Kalian adalah orang terasing yang membenci dunia saat ini dan menginginkan dunia yang akan datang. Kalian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya, keluar dari rumah kalian untuk dibunuh dan tidak ada jalan yang lain. Jadi ketahuilah bahwa kalian [sudah] terbunuh dan tidak dapat kembali ke kehidupan ini, kalian maju dan tidak akan berpaling dari kebenaran sampai kalian tiba keharibaan Allah. Jika itu yang menjadi perhatian kalian, kembalilah dan selesaikan kebutuhan dan keinginan kalian dalam hidup ini, bayar hutang kalian, tinggalkan keluarga kalian dan beri tahu mereka bahwa kalian tidak akan pernah kembali kepada mereka.{{sfn|Gaiser|2010|p=107}}</blockquote>Keadaan ketiga, yaitu {{transliterasi|ar|imām al-zuhūr}} atau "Imam kemuliaan", adalah imam sebagai penguasa aktif negara Ibadi. Dua khalifah pertama [[Abu Bakar]] dan [[Umar]] dianggap sebagai model ideal dari {{transliterasi|ar|imām al-zuhūr}}. Seorang imam yang berdosa harus disingkirkan dari kekuasaan, model Ibadi untuk ini adalah pembunuhan khalifah ketiga [[Utsman]] dan pemberontakan Khawarij melawan Ali, kedua tindakan tersebut dipandang sebagai perlawanan yang sah terhadap penguasa yang berdosa.{{sfn|Gaiser|2010|p=46}}
 
Keadaan terakhir, yaitu keadaan {{transliterasi|ar|imām al-difā'}} "imam pertahanan" melibatkan penunjukan seorang imam untuk jangka waktu yang telah ditentukan ketika komunitas Ibadi berada di bawah serangan asing. Keberadaannya akan dihapus setelah ancaman telah tiada.{{sfn|Gaiser|2010|p=137}}
 
=== Pandangan pada denominasi lain ===
Ibadi percaya bahwa semua yang mengaku percaya pada keesaan Allah dan percaya pada kenabian Muhammad sebagai rasul terakhir adalah anggota komunitas Islam. Para Ibadi memiliki kewajiban untuk mengoreksi orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Hanya orang-orang Ibadi yang saleh, yang disebut sebagai {{transliterasi|ar|ahlul istiqāmah}} "orang-orang yang jujur", yang layak disebut "[[Muslim]]". Muslim non-Ibadi disebut sebagai {{transliterasi|ar|ahlul khilaf}} . Meskipun demikian, Muslim non-Ibadi masih dihormati sebagai sesama anggota ''[[ummah]]'' atau komunitas Islam yang lebih luas dan memiliki berbagai keistimewaan seperti diperbolehkannya menikah dengan orang Ibadi.{{sfn|Hoffman|2012|p=28}} Semua Muslim non-Ibadi dan bahkan pendosa Ibadi dianggap ''[[kufur]]'' (biasanya diterjemahkan sebagai "keingkaran"), meskipun Ibadi kontemporer membedakan antara ''kufur [[syirik]]'' atau kekafiran, dengan ''kufur [[Munafiq|nifaq]]'' atau keingkaran yang hanya berupa dosa. Istilah syirik atau "politeisme" dalam teologi Islam konvensional, memiliki penggunaan yang lebih luas dalam doktrin Ibadi. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan semua bentuk kekeliruan dalam akidah bahkan di luar konteks politeisme.{{sfn|Hoffman|2012|p=28}}
 
Teolog Ibadi klasik telah menyatakan bahwa hanya {{transliterasi|ar|ahl al-istiqāmah}} yang akan pergi ke [[Jannah|surga]], dan semua Ibadi yang berdosa serta semua non-Ibadi akan dibakar di[[Jahannam| neraka]] selamanya. Ibadi secara tradisional menolak keyakinan Sunni bahwa semua Muslim yang ada di neraka, pada akhirnya akan masuk surga. Mereka berpendapat bahwa neraka itu abadi dan tak terhindarkan bagi semua manusia yang bukan Ibadi.{{sfn|Hoffman|2012|p=30}}
 
Gagasan tentang ''[[Walayah|wilayah]]'' atau "afiliasi" serta ''[[Tabarra|bara'ah]]'' atau "pemisahan" adalah inti dari teologi hubungan Ibadi dengan orang-orang non-Ibadi. Hanya orang Ibadi yang saleh yang dianggap layak untuk dijadikan tema, sedangkan orang Ibadi yang berdosa dan Muslim non-Ibadi harus diperlakukan secara disosiasi dan bahkan terkadang sampai dikucilkan.{{sfn|Hoffman|2012|p=29}} Ulama Ibadi modern menyarankan bahwa kewajiban disosiasi tidak memerlukan kekerasan atau penghindaran sosial, dan seorang Ibadi mungkin memiliki kasih sayang yang tulus untuk non-Ibadi, meskipun demikian "kesadaran batin akan pemisahan" antara Ibadi yang lurus dan non-Ibadi harus dipertahankan.{{sfn|Hoffman|2012|p=29}} Namun, dalam praktiknya, Muslim Ibadi umumnya sangat toleran terhadap praktik keagamaan non-Ibadi.{{sfn|Hoffman|2012|p=29}} Selama periode {{transliterasi|ar|imām al-kitmān}}, kewajiban berafiliasi dan disasosiasi tidak berlaku lagi.{{sfn|Hoffman|2012|p=43}}
 
Beberapa sarjana mencirikan bahwa pada dasarnya karya-karya sebagian ulama Ibadi bersifat [[anti-Syiah]],<ref name="fahey" /> dan beberapa menyatakan bahwa para ulama Ibadi, seperti al-Warjalani, menganut pandangan Nasibi.<ref>Husain, N., 2021. Menentang Imam: Warisan Nawasib dalam Sastra Islam. Pers Universitas Cambridge. hlm.89-111</ref>
 
Keyakinan Ibadi sering dipelajari oleh orang luar, baik non-Muslim maupun Muslim lainnya.{{sfn|Hoffman|2012|p=3}} Orang-orang Ibadi menyatakan bahwa saat mereka membaca karya Sunni dan Syiah, ulama terpelajar dari kedua sekte tersebut tidak pernah membaca karya Ibadi dan sering mengulangi mitos dan informasi palsu ketika membahas topik Ibadiyah tanpa melakukan penelitian yang ketat.{{sfn|Hoffman|2012|p=4}}
 
=== Sudut pandang teologis ===
[[Teologi Ibadi]] berkembang berkat karya para ulama dan imam masyarakat, yang sejarah, kehidupan, dan kepribadian mereka masuk menjadi bagian dalam [[sejarah Islam]].<ref>{{Cite book|last=Madelung|first=Wilferd|year=2014|title=The Oxford Handbook of Islamic Theology|location=Inggris Raya|publisher=Oxford University Press|editor-last=Schmidtke|editor-first=Sabine|volume=1|pages=242–252|chapter=Teologi Ibāḍī Awal|doi=10.1093/oxfordhb/9780199696703.013.004}}</ref> Teologi Ibaḍi dapat dipahami berdasarkan karya-karya Ibnu Ibaḍ, [[Jabir bin Zayd|Jabir bin Zaid]], Abu 'Ubaida, Rabi' bin Ḥabīb dan Abu Sufyan. [[Basra|Basrah]] merupakan basis dari komunitas Ibāḍī.<ref name=":0">{{Cite book|last=Ziaka|first=Angeliki|year=2014|title=On Ibadism|location=Germany|publisher=Georg Olms Verlag AG|isbn=978-3-487-14882-3|editor-last=Ziaka|editor-first=Angeliki|page=11|chapter=Introduction}}</ref> Berbagai komunitas Ibāḍī didirikan di [[ Arabia selatan]], dengan basis di [[Oman]], [[Afrika Utara]], dan [[Afrika Timur]].<ref name=":0" />
 
Dalam hal [[Kalam|ilmu kalam]], keyakinan Ibadi mirip dengan [[Muktazilah]] dalam banyak aspek, kecuali dalam persoalan [[Takdir dalam Islam|takdir]].{{sfn|Hoffman|2012|p=34}} Seperti Muʿtazilah dan tidak seperti Sunni modern, Ibadi percaya bahwa:
 
* Pengetahuan manusia tentang Tuhan adalah bawaan melalui penggunaan akal, bukan dipelajari. Oleh karena itu, sebuah ayat Al-Qur'an yang tampaknya bertentangan dengan akal manusia harus ditafsirkan ulang secara metaforis menggunakan akal, bukan diambil sebagai fakta. Dilarang memutuskan masalah keyakinan agama dengan ''[[taqlid]]'', atau dengan menghormati otoritas ulama serta otoritas manusia lainnya.{{sfn|Hoffman|2012|p=36–37}}
* Sifat-sifat Tuhan tidak berbeda dari esensinya. Rahmat, kekuasaan, kebijaksanaan, dan [[Nama Tuhan dalam Islam|sifat-sifat ilahi]] hanyalah cara yang berbeda untuk menggambarkan esensi kesatuan tunggal Tuhan, daripada atribut dan kualitas independen yang dimiliki Tuhan.{{sfn|Hoffman|2012|pp=37–38}}
* Beberapa Ibadi percaya bahwa [[Penciptaan Al-Qur'an|Al-Qur'an diciptakan]] oleh Tuhan pada titik waktu tertentu. Sementara para Ibadi ini menjunjung tinggi fakta bahwa "kalam inti" adalah cara untuk menggambarkan esensinya, mereka tidak percaya bahwa Al-Qur'an identik dengan esensi ini. Bagi mereka, Al-Qur'an hanyalah indikator yang diciptakan dari esensinya. Hal ini berbeda dengan kaum Sunni yang percaya bahwa Al-Qur'an selalu ada (tidak diciptakan).{{sfn|Hoffman|2012|pp=40–41}} Namun secara historis Ibadis sebelumnya percaya bahwa Al-Qur'an tidak diciptakan, dan di antara Ibadi Oman kontemporer beberapa memegang posisi Sunni.<ref name="shueili">al-Shueili, Sulayman. "The Ibad.ı Pendekatan Metodologi Tafsir Al-Qur'an." The Muslim World 105 (2015).</ref><ref>أحمد بن حمد بن سليمان الخليلي، الحق الدامغ 84 ـ 85 (بتصرف)، مطابع النهضة 1409هـجرية،</ref>
* Mereka menafsirkan ayat-ayat [[antropomorfik]] tentang Allah dalam Al-Qur'an secara simbolis daripada secara harfiah. Oleh karena itu, Tuhan sebenarnya tidak memiliki tangan, wajah, singgasana, atau atribut fisik lainnya, karena ia tidak dapat dirasakan oleh indra manusia dan Dia tidak memiliki fisik.{{sfn|Hoffman|2012|p=36}} Oleh karena itu, mereka percaya bahwa seorang Muslim tidak akan melihat Allah pada [[Akhir zaman|Hari Kebangkitan]], sebuah kepercayaan yang sama dengan Syiah tetapi tidak dengan Sunni.<ref>{{cite web|author=Muhammad bin Adam Al-Kawthari|author-link=Muhammad bin Adam Al-Kawthari|date=23 Agustus 2005|title=Melihat Tuhan dalam mimpi, terjaga, dan akhirat|url=http://qa.sunnipath.com/issue_view. asp?HD=7&ID=6259&CATE=24|archive-url=https://web.archive.org/web/20120218064320/http://qa.sunnipath.com/issue_view.asp?HD=7&ID=6259&CATE=24|access-date=18 Desember 2011|arsip -date=February 18, 2012|url-status=dead}}</ref> Demikian pula, para Ibadi berpendapat bahwa timbangan atau ''mizan'' yang ada dalam Al-Quran dan digunakan untuk menimbang amal manusia adalah metafora, karena tindakan tidak dapat ditimbang.{{sfn|Hoffman|2012|p=36}}
 
Tapi tidak seperti Muktazilah, Ibadi mengikuti posisi [[Asy'ariyah|Asy'ari]] untuk persoalan [[okasionalisme]]. Ibadi berpendapat bahwa semua peristiwa disebabkan langsung oleh Tuhan dan apa yang tampak sebagai hukum [[Kausalitas|penyebab]], seperti api menghasilkan asap, itu terjadi hanya karena Tuhan memilih untuk menciptakan api, dan kemudian menciptakan asap. Seorang ulama Ibadi bahkan menyatakan bahwa perbedaan tunggal antara Muktazilah dengan Ibadi ini menandakan bahwa Muktazilah lebih sesat daripada Sunni.{{sfn|Hoffman|2012|pp=34–35}}
 
== Referensi ==