Werur, Bikar, Tambrauw: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5 |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 23:
Jumlah penduduk di kampung werur Tahun 2014 berdasarkan proyeksi penduduk SP2010 mencapai 313 Jiwa yang terdiri dari 167 penduduk laki-laki dan 146 penduduk perempuan.
==
Sejarah dan Benda Adat
Sekitar tahun 1600 M, kelompok orang [[Suku biak|Biak Numfor]] bermarga Mayor dan Marga Dimara tiba di Pulau Dua. Kemudian mereka menetap di pulau itu. Kelompok orang Biak Numfor selanjutnya yang datang ke Sausapor adalah kelompok masyarakat Mar yang tiba di Werabyai/ Werabiay/Mar (lihat peta Vogelkop Operation).[[Berkas:Operation Typhoon.png|ka|jmpl|300x300px|Operation Typhoon]] Kelompok masyarakat Mar terdiri atas marga Warsa, Rumansara, Sarwa dan Aduk. Sekitar tahun 1700, kembali Pulau Dua didatangi kelompok masyarakat yang disebut masyarakat Mamoribo. Mereka terdiri atas marga Mambrasar, Mayor, Mirino dan Yapen.
Migrasi orang Biak Mamoribo ke Werur, diawali dengan terjadinya konflik di daerah asal mereka di kampung Mamoribo [[Biak Barat, Biak Numfor|Biak Barat]] sekitar tahun 1820an. Konflik dilatarbelakangi oleh persoalan perkawinan, dimana kedua orang tua dari kedua belah pihak tidak menyetujui rencana pernikahan anak mereka. Perselisihan berlanjut sehingga terjadi saling bunuh diantara kedua keluarga yang meluas menjadi perang antar klan. Situasi perang antar-klan yang tidak terhindarkan akhirnya mengharuskan klan dari pihak laki-laki keluar meninggalkan pulau. Semua marga yang tergabung dalam klan tersebut akhirnya meninggalkan pulau Biak secara bersama-sama. Adapun kelima marga dalam klan tersebut yakni marga Mambrasar, Mayor, Yapen, Paraibabo Sarwa dan
Daerah tujuan migrasi pertama klan ini adalah Numfor. Di Numfor mereka sempat tinggal sementara, kurang dari 1 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pasir Putih [[Manokwari]], ke Kabawi [[Saukorem, Amberbaken, Tambrauw|Saukorem]], lalu ke [[Waibem, Abun, Tambrauw |Waibem]] (Amberbaken), dan tinggal selama 1 tahun di Amberbaken. Klan ini kemudian melanjutkan berlayar hingga sampai ke Pulau Dua. Namun pada saat itu rombongan klan tidak lantas menetap di Pulau Dua, mereka masih melanjutkan berlayar ke kampung Puper dan kepulauan Ayau di Pulau Waigeo kemudian dan akhirnya kembali ke Pulau Dua dan mulai hidup menetap disana sebelum akhirnya pindah ke Daratan Werur saat ini pada tahun 1946, setelah kemerdekaan Indonesia.
[[File:Tugu Pekabaran injil di Tanah Abun.jpg|jmpl|ki|150px| Tugu Pekabaran injil di Tanah Abun di Pulau dua]]
Kehidupan komunitas imigran Biak di Pulau Dua sebelum pindah ke Daratan Werur tidak jauh berbeda dengan kehidupan ketika mereka telah pindah di daratan Werur. Aktivitas mata pencaharian komunitas
Selain kebun kelapa sekolah, jejak kehidupan komunitas migran Biak di Pulau Dua sebelum pindah ke daratan Werur juga terlihat dari puing-puing gereja dan sumur tua yang terdapat di Pulau Dua.
Setelah orang Biak pindah ke daratan Werur pada tahun 1946, mereka mulai membuka daratan untuk dijadikan perkampungan dan kawasan yang mengarah ke gunung dijadikan kebun. Orang Biak sebagai pendatang yang pada masa itu telah menerima pengaruh kristen, melakukan interaksi dengan penduduk asli daratan atau yang dikenal dengan suku Karon, yang dikemudian hari disebut sebagai
Sebagai ungkapan balas budi, orang Abun kemudian memberikan tanah kepada orang Bikar untuk menjadi lahan hidup, membangun rumah dan berkebun. Orang Abun memberikan lahan sepanjang 6 km dari pantai ke arah gunung untuk dijadikan kampung dan kebun oleh orang Bikar. Interaksi kedua suku kemudian juga berlanjut dengan adanya perkawinan dari anak-anak antar kedua suku ini. Ikatan perkawinan ini kemudian menjadi pengikat antara suku Bikar dan suku Abun hingga saat ini.
Baris 46 ⟶ 47:
Orang Bikar menyusuri pantai untuk sampai ke sungai dan sampai ke tempat dimana ombak pecah yang merupakan pelabuhan bagi mereka ketika melaut. Ketika mereka kembali dari sungai sebelum menuju Pulau Dua, mereka melihat bekas jejak kaki mereka, lalu berkata..”Biarlah bekas kaki ini menjadi kenangan supaya kita selalu datang kembali melihat bekas kaki kita”. Weur berasal dari kata beur yang berarti bekas kaki (jejak). Kemudian, kepada setiap orang yang datang ke daratan untuk mengambil air, mereka akan bertanya, apakah orang tersebut melihat bekas kaki mereka. Dari sinilah mulanya nama Weur atau werur terbentuk.
Kampung Werur dulu merupakan bagian dari distrik Sausapor sebelum
[[Suku Abun|Karon]] adalah sebutan dari orang Biak untuk penduduk asli daratan. Karon dalam
[[File:Antiaircraft Emplacement, Sansapor.jpg|jmpl|ka|150px|Antiaircraft Emplacement, Sansapor]]
kampung Werur juga menjadi saksi hidup dibalik peperangan hebat yang terjadi pada Perang Dunia II. Pada Perang Dunia II, wilayah Werur dijadikan salah satu basis militer oleh pasukan [[Jepang]] maupun [[Amerika Serikat]] dan sekutu.
Hal itu terlihat dari sisa-sisa peninggalan Perang Dunia II di kampung Werur seperti bongkahan baja besar, tempat makan dan minum yang terbuat dari baja milik tentara Amerika Serikat, serta 6 buah bangkai tank. Lokasi sisa-sisa peninggalan Peran Dunia II yang letaknya cukup tersembunyi, membuat belum banyak orang yang mengetahui jika kampung Werur juga menjadi salah satu saksi hidup peristiwa Perang Dunia II di tanah Papua.Werur Saksi sejarah yang tinggal sejarah
== Demografi ==
|