Halim Ambiya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 29:
== Pendidikan ==
Pada tahun 1994, Halim Ambiya memulai kuliahnya di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat, IAIN/[[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]]. Pengenalan pada ilmu tasawuf Halim banyak didapatkan di bangku kuliah. Menurutnya, di masa itu kurikulum dan silabus di jurusannya banyak memuat matakuliah terkait tasawuf. Hampir 50 persen dari beban SKS di Jurusan Akidah dan Filsafat mengajarkan matakuliah tasawuf, akhlak, aliran-aliran pemikiran dalam Islam, tafsir dan hadis tentang tasawuf.
"Alhamdulillah saya bersyukur dapat menimba ilmu dari guru-guru mulia. Saya mendapatkan matakuliah ilmu tasawuf 2 semester dari Prof Dr. KH Sayid Agil Siraj. Kuliah tafsir dari Prof Dr. KH Sayyid Aqil Al-Munawwar dan Prof Dr. KH Ali Mustafa Ya'qub. Ulumul-Quran dari Prof Dr. KH Nasaruddin Umar. Bahkan saya mendapat matakuliah Tafsir tasawuf dari KH Saepuddin Amsir. Begitu juga dengan matakuliah Ilmu Tasawuf dan Filsafat Islam, alhamdulillah saya mendapat dari Prof Dr Mulyadhy Kartanega dan Prof Dr Kautsar Azhari Noer," ungkapnya.
Kecintaannya pada ilmu tasawuf pun kian bertambah di akhir penyelesaian kuliahnya. Halim Ambiya merasa terpikat dengan KItab Risalah Al-Laduniyah karya Imam Al-Ghazali hingga memperdalam filsafat ilmu dalam Islam dalam penelitian ilmiahnya. Skripsinya berjudul "Epistemologi Islam; Suatu Gagasan Naquib Al-Atas tentang Islamisasi Ilmu," akhirnya menjadi jalan untuk mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah program pascasarjana di Negeri Jiran, yakni di ISTAC, Kuala Lumpur, Malaysia--sebuah institusi pendidikan tinggi yang didirikan oleh Sayid Muhammad Naquib Alattas.
Halim Ambiya mengikuti program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam di ISTAC selama 4 tahun. "Saya benar-benar seperti masuk pesantren lagi di ISTAC. "Ini kampus internasional. Tradisi thuras di kampus ini luar biasa. Dan, perpustakaan ISTAC itu lengkap sekali. Bayangkan, manuskrip-manuskrip dari Perpustakaan Nasional Bosnia saja diboyong ke kampus ini. Di samping mendapat bimbingan langsung dari Prof Alattas, kami banyak mendapat pengajaran profesor-profesor dari berbagai negara, seperti Turki, Sudan, Iran, Belanda, Jerman dan Amerika Serikat," tutur Halim.
"Saya merasa dapat banyak berkah ilmu di Kuala Lumpur. Karena itu, pengalaman saya di Kuala Lumpur ini saya abadikan dalam novel saya berjudul Sor Baujan dan Novel Indon Menjerit," ujarnya lagi. Di ISTAC ini, Halim Ambiya banyak belajar dan mengkaji tentang sejarah dan kebudayaan Islam di Nusantara, hal ini tampak jelas dalam cerita novelnya. Dirinya bersentuhan langsung dengan manuskrip-manuskrip Melayu tentang tasawuf dan thariqah yang tidak didapatkan di Indonesia.
== Karir ==
|