Halim Ambiya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nirwanjerryson (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Nirwanjerryson (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor
Baris 25:
Halim Ambiya, pendakwah yang mendedikasikan ilmu dan amalnya untuk merangkul, mendidik dan mengajar anak-anak Punk dan jalanan ini terlahir dari keluarga santri. Sejak belia, putra kedua pasangan Abdul Wahid dan Muslihah ini mendapat pendidikan agama langsung dari kakek dan paman-pamannya; KH Abdul Muin ZA, KH Zaenal Arifin Said, Kyai Hasan Basyari dan Kyai Tirmidzi.
 
Selain mengikuti pendidikan [[Sekolah dasar|Sekolah Dasar (SD)]] di pagi hari di Desa [[Bugis, Anjatan, Indramayu|Bugis, Kecamatan Anjatan, Kabupaten IndramyuIndramayu]], Halim kecil juga menempuh pendidikan agama di lembaga yang didirikan oleh sang kakek (KH Abdul Muin)--sebuah lembaga yang dikenal dengan "Yayasan Dewi Sartika." Di sore hari, dia pun mengikuti pelajaran agama di [[Madrasah ibtidaiah|Madrasah Ibtidaiyah (MI)]] Tarbiyah wa Ta'lim yang didirikan keluarganya tersebut. Setelah menamatkan SD dan MI sekaligus, Halim melanjutkan [[Madrasah sanawiah|Madrasah Tsanawiyah (MTs)]] GUPPI Bugis pada yayasan serupa.
 
Saat ditanya mengenai keberaniannya untuk berdakwah di kalangan preman bertato, Halim menyebut bahwa: keberaniannya sudah didapat dari kakek dan pamannya. "Dulu di zaman Operasi Petrus, di sungai desa saya menjadi tempat pembuangan mayat para korban operasi itu, Hampir tiap minggu saya melihat mayat. Kebanyakan penjahat yang mati itu bertato. Maka, banyak preman bertato yang tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan berat merasa ketakutan. Nah, akhirnya ada saja preman bertato yang menjadi santri kakek saya. Jadi, saya sudah biasa bergaul dengan preman sejak kecil," aku Halim.
 
Kecintaannya terhadap ilmu agama pun kian berlanjut. Halim Ambiya melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Gading, [[Kroya, Cilacap]] di bawah asuhan KH Amin Ma'mun Basya. Pesantren yang menggambungkan sistem pendidikan [[Pesantren Salaf|salaf]] (tradisional) dan [[Pesantren modern|khalaf]] (modern) ditempuh dari tahun 1989-1993. Halim tidak hanya mendapatkan pelajaran berbasis kurikulum ala Kulliatul Mua'limin Al-Islamiyah (KMI) Gontor, tetapi juga mendapat pengayaan pengajaran kitab-kitab thuras ala pesantren Nahdliyyin.
 
Di tahun 1994, Halim Ambiya mengikuti pendidikan formal di SMA Muhammadiyah, [[Haurgeulis, Indramayu]]. Bukan tanpa alasan dirinya menamatkan SMA di lembaga tersebut, sebab dirinya lahir di tengah keluarga aktivis [[Nahdlatul Ulama|NU]] dan [[Muhammadiyah]]. Halim Ambiya sering memberi ceramah di masjid-masjid Muhammadiyah dan NU di Indramayu. "Jadi, nenek saya ketua Muslimat NU di desa, kakek pengurus NU, ada paman yang jadi Ketua Ranting Muhammadiyah, ada juga yang menjadi kepala sekolah Muhammadiyah, Kita asyik saja. Bisa dikatakan saya ini Muhammad NU," kata Halim.
 
== Pendidikan ==
 
Pada tahun 1994, Halim Ambiya memulai kuliahnya di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah dan Filsafat, IAIN/[[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]]. Pengenalan pada ilmu tasawuf Halim banyak didapatkania dapatkan di bangku kuliah. Menurutnya, di masa itu kurikulum dan silabus di jurusannya banyak memuat matakuliah terkait tasawuf. Hampir 50 persen dari beban SKS di Jurusan Akidah dan Filsafat mengajarkan matakuliah tasawuf, akhlak, aliran-aliran pemikiran dalam Islam, tafsir dan hadis tentang tasawuf.
 
"Alhamdulillah saya bersyukur dapat menimba ilmu dari guru-guru mulia. Saya mendapatkan matakuliah ilmuIlmu tasawufTasawuf 2 semester dari Prof. Dr. KH. Sayid Agil Siraj. Kuliah tafsir dari Prof. Dr. KH. Sayyid Aqil Alal-Munawwar dan [[Ali Mustafa Yaqub|Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya'qub]]. Ulumul-Quran dari [[Nasaruddin Umar|Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar]]. Bahkan saya mendapat matakuliah Tafsir tasawufTasawuf dari KH. Saepuddin Amsir. Begitu juga dengan matakuliah Ilmu Tasawuf dan Filsafat Islam, alhamdulillah saya mendapat dari Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara., [[Komaruddin Hidayat|Prof. Dr. Komaruddin Hidayat]], dan Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer," ungkapnya.
 
Aktivis [[Himpunan Mahasiswa Islam|Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)]] [[Ciputat, Tangerang Selatan|Ciputat]] ini mendapat kesempatan menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin [[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta|IAIN Jakarta]] di tahun 1997-1998, sebuah periode bersejarah bagi para aktivis ketika itu. Setelah meletus [[Reformasi Indonesia (1998–sekarang)|Reformasi 98]] dan sebelum menamatkan pendidikanya, Halim Ambiya sudah memulai kariernya di dunia [[Kewartawanan|jurnalistik]] sejak tahun 1998. Dia bergabung menjadi [[wartawan]] [[Jawa Pos Group]].
 
Kecintaannya pada ilmu tasawuf pun kian bertambah di akhir penyelesaian kuliahnya. Halim Ambiya merasa terpikat dengan KItab Risalah Al-Laduniyah karya [[Al-Ghazali|Imam Alal-Ghazali]] hingga memperdalam filsafat ilmu dalam Islam pada penelitian ilmiahnya. Skripsinya berjudul "Epistemologi Islam; Suatu Gagasan Naquib Al-Atas tentang Islamisasi Ilmu," akhirnya menjadi jalan untuk mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah program [[Pendidikan pascasarjana|pascasarjana]] di Negeri Jiran, yakni di [[ISTAC|ISTAC, Kuala Lumpur, Malaysia]]--sebuah institusi pendidikan tinggi yang didirikan oleh [[Syed Muhammad Naquib al-Attas|Sayid Muhammad Naquib Alattasal-Attas]].
 
Halim Ambiya mengikuti program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam di [[ISTAC]] selama 4 tahun. "Saya benar-benar seperti masuk pesantren lagi di ISTAC. "Ini kampus internasional. Tradisi thuras di kampus ini luar biasa. Dan, perpustakaan ISTAC itu lengkap sekali. Bayangkan, manuskrip-manuskrip dari Perpustakaan Nasional Bosnia saja diboyong ke kampus ini. Di samping mendapat bimbingan langsung dari Prof Alattas dan Prof Dr Wan Mohammad Nor Wan Daud, kami banyak mendapat pengajaran profesor-profesor dari berbagai negara, seperti Turki, Sudan, Iran, Belanda, Jerman dan Amerika Serikat," tutur Halim.
 
"Saya merasa banyak mendapat berkah ilmu di Kuala Lumpur. Karena itu, pengalaman saya di Kuala Lumpur ini saya abadikan dalam novel saya berjudul Sor Baujan dan Novel Indon Menjerit," ujarnya lagi. Di ISTAC ini, Halim Ambiya merasa banyak belajar dan mengkaji tentang sejarah dan kebudayaan Islam di [[Nusantara]], hal ini tampak jelas dalam cerita novelnya. Dirinya memiliki minat yang besar terhadap manuskrip-manuskrip Melayu mengenai [[Sufisme|tasawuf]] dan [[Tarekat (Islam)|thariqah]] yang terdapat di [[Malaysia]], yang tidak didapatkan di [[Indonesia]].
 
== Karier ==