Emha Ainun Nadjib: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Salah tulis Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Wagino Bot (bicara | kontrib) |
||
Baris 22:
Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/kata-mereka-tentang-cak-nun-kiaikanjeng-dan-maiyah/|title=Kata Mereka Tentang Cak Nun, KiaiKanjeng, dan Maiyah|last=|first=|date=18 Oktober 2019|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref> Selain [[penulis]], ia juga dikenal sebagai [[seniman]], [[budayawan]], [[penyair]], [[cendekiawan]], [[ilmuwan]], [[sastrawan]], aktivis-pekerja sosial, pemikir, dan [[kyai]]. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multi-dimensi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Rahardjo|first=Toto|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=xviii|chapter=Teman Siapa Saja|quote=Seorang host suatu talk show di sebuah stasiun televisi swasta, Jaya Suprana, bertanya kepada orang ini, "Orang selalu mengatakan bahwa Anda adalah manusia multi-dimensional. Sekurang-kurangnya kegiatan Anda di masyarakat memang sangat beragam. Apa pendapat Anda sendiri?"|url-status=live}}</ref>
Menjelang [[Kejatuhan Soeharto|kejatuhan pemerintahan Soeharto]], Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke [[Istana Merdeka]] untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "''Ora dadi presiden ora pathèken''” (arti dalam bahasa Indonesia adalah "tidak jadi presiden tidak apa-apa").<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Oetama|first=Jakob|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=xvii|chapter=Pengantar Jakob Oetama|quote=Kehadiran buku ini tentu ditunggu khalayak pembaca, tidak hanya oleh para pengagum, tetapi juga pengritik sosok yang menyeletukkan kalimat 'ora dadi presiden ora pathèken', saat bersama sejumlah tokoh diundang Soeharto sebelum lengser.|url-status=live}}</ref>
Setelah [[Sejarah Indonesia (1998–sekarang)|Reformasi 1998]], Cak Nun bersama Gamelan [[Kiai Kanjeng|KiaiKanjeng]] memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia. Aktivitasnya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat '''Maiyah''', yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2019/mewedar-jalan-kesehatan-emha/|title=Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib|last=Hashman|first=Ade|publisher=Bentang|year=2019|isbn=978-602-291-589-8|location=Yogyakarta|pages=176|url-status=live}}</ref>
Cak Nun bersama KiaiKanjeng dan Masyarakat Maiyah mengajak untuk membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/author/emha-ainun-nadjib/|title=Emha Ainun Nadjib|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref> Dalam pandangan akademisi Barat, pemikiran dan kegiatan ini bisa dimasukkan dalam perjuangan ''decoloniality.''<ref>{{Cite web|last=Ahmad|first=Jamal Jufree|date=28 Februari 2023|title=40 Tahun Dekolonialisasi Cak Nun|url=https://www.caknun.com/2023/40-tahun-dekolonialisasi-cak-nun/|website=CakNun.com|access-date=2 Maret 2023}}</ref>
== Kehidupan pribadi ==
Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.<ref name=":0">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=Hadi|first=Sumasno|publisher=Mizan|year=2017|isbn=978-602-441-010-0|location=Bandung|pages=50|url-status=live}}</ref> Lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Ayahnya adalah petani dan tokoh agama (kyai) yang sangat dihormati masyarakat Desa [[Mentoro, Sumobito, Jombang|Menturo]], [[Sumobito, Jombang|Sumobito]], [[Kabupaten Jombang|Jombang]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=49|url-status=live}}</ref> Juga seorang pemimpin masyarakat yang menjadi tempat bertanya dan mengadu tentang masalah yang masyarakat hadapi.<ref name=":40">{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=Betts|first=Ian L.|publisher=Kompas|year=2006|isbn=979-709-255-0|location=Jakarta|pages=7|url-status=live}}</ref> Begitu juga ibunya menjadi panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat.<ref name=":0" /><ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=18|url-status=live}}</ref>
Dalam ingatan Cak Nun, ketika ia kecil sering diajak ibunya mengunjungi para tetangga, menanyakan keadaan mereka. Apakah mereka bisa makan dan menyekolahkan anak. Pengalaman ini membentuk kesadaran dan sikap sosialnya yang didasarkan nilai-nilai Islam. Bahwa menolong sesama manusia dari kemiskinan dan membuat mereka mampu berfungsi sebagai manusia seutuhnya, merupakan kunci dalam Islam.<ref name=":40" /> Kakak tertuanya, yaitu '''Ahmad Fuad Effendi''', adalah anggota Dewan Pembina King Abdullah bin Abdul Aziz International Center For Arabic Language (KAICAL) Saudi Arabia selama dua periode (2013-2019).<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/perjuangan-cak-fuad-menjaga-bahasa-al-quran-di-kancah-dunia/|title=Perjuangan Cak Fuad Menjaga Bahasa Al-Qur`an di Kancah Dunia|last=|first=|date=24 Januari 2017|website=CakNun.com|access-date=3 Desember 2019}}</ref><ref>{{Cite web|last=Umbar|first=Kisno|date=22 Januari 2017|title=Kiprah Prof Dr Ahmad Fuad Effendy untuk Memudahkan Belajar Bahasa Arab|url=https://www.jawapos.com/features/22/01/2017/kiprah-prof-dr-ahmad-fuad-effendy-untuk-memudahkan-belajar-bahasa-arab/|website=Jawa Pos|access-date=31 Januari 2023}}</ref>
Baris 37:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Keluarga.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib (berdiri paling kanan mengenakan kopiah) di masa kecil bersama keluarganya.]] Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari Sekolah Dasar di desanya. Karena semenjak kecil ia sangat peka atas segala bentuk ketidakadilan, ia sempat dianggap bermasalah oleh para guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=Nugraha|first=Latief S|publisher=Octopus|year=2018|isbn=978-602-727-437-2|location=Yogyakarta|pages=94|url-status=live}}</ref> Suatu ketika ada guru terlambat mengajar, dan Cak Nun memprotesnya. Karena sebelumnya Cak Nun pernah terlambat masuk sekolah dan dihukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran usai. Hukuman itu ia jalani sebagai konsekuensi kesalahannya dan itu merupakan aturan sekolah. Maka tatkala ada guru terlambat, menurut Cak Nun aturan yang sama harus diberlakukan. Dan ujungnya, ia keluar dari SD yang dianggapnya menerapkan aturan yang tidak adil itu.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=xxii|url-status=live}}</ref>
Kemudian oleh ayahnya, Cak Nun dikirim ke [[Pondok Modern Darussalam Gontor]]. Pada masa tahun ketiganya di [[Gontor, Mlarak, Ponorogo|Gontor]], ia sempat menggugat kebijakan pihak keamanan Pondok yang dianggapnya tidak berlaku adil. Ia pun memimpin “demonstrasi” bersama santri-santri lain sebagai bentuk protes. Namun protes itu berujung pada dikeluarkannya Cak Nun dari Pondok.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=vZNkAAAAMAAJ&q=inauthor:%22Jabrohim%22&dq=inauthor:%22Jabrohim%22&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi1-eWfubTmAhUEGs0KHdQbBGUQ6AEIPDAD|title=Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra|last=Jabrohim|first=|publisher=Pustaka Pelajar|year=2003|isbn=|location=Yogyakarta|pages=1|url-status=live}}</ref> Meskipun hanya 2,5 tahun di sana, Gontor memberikan kesan mendalam baginya. Budaya santri mengakar kuat dalam dirinya sehingga ia memiliki disiplin pesantren.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=8|url-status=live}}</ref>
Kemudian Cak Nun pindah ke [[Yogyakarta]] melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah 4. Selanjutnya ia juga tamat [[SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta|SMA Muhammadiyah 1]]<ref name=":2">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=53|url-status=live}}</ref> bersama dengan teman karibnya, [[M. Busyro Muqoddas|Busyro Muqoddas]]. Usai SMA, ia diterima di Fakultas Ekonomi [[Universitas Gadjah Mada|UGM]]. Di “[[Kampus Biru|kampus biru]]” ini, ia bertahan hanya satu semester, atau tepatnya empat bulan saja.<ref name=":2" /> Sebenarnya ia juga diterima di Fakultas Filsafat UGM namun tidak mendaftar ulang.
Baris 46:
=== Malioboro ===
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Umbu Landu Paranggi.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib di kediaman Umbu Landu Paranggi di Bali tahun 2017.]] Pada akhir tahun 1969 ketika masih SMA, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan hidup “menggelandang” di [[Malioboro]], Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975.<ref name=":3">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=80-81|url-status=live}}</ref> Kala itu, Malioboro menjadi tempat bertemu para aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=84|url-status=live}}</ref> Malioboro menjadi salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.<ref name=":4">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=85|url-status=live}}</ref>
Di Malioboro ini, Cak Nun bergabung dengan '''PSK (Persada Studi Klub)''', sebuah ruang studi sastra bagi penyair muda Yogyakarta yang diasuh oleh [[Umbu Landu Paranggi]],<ref name=":3" /> seorang [[sufi]] yang hidupnya misterius. Banyak yang mengatakan pertemuan dengan Umbu memberikan pengaruh dalam perjalanan hidup Cak Nun selanjutnya.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/23715913-kitab-ketenteraman|title=Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib|last=Salam|first=Aprinus|last2=Alfian|first2=M Alfan|last3=Susetya|first3=Wawan|publisher=Penjuru Ilmu|year=2014|isbn=978-602-0967-07-3|location=Bekasi|pages=133|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=1|url-status=live}}</ref>
PSK yang didirikan tahun 1969 dan aktif hingga 1977, telah melahirkan sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia, di antaranya Teguh Ranusastra Asmara, [[Iman Budhi Santosa]], [[Ragil Suwarna Pragolapati]], [[Linus Suryadi AG]], [[Korrie Layun Rampan]], dan Cak Nun sendiri.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=88|url-status=live}}</ref> Keberadaan PSK tidak dapat dipisahkan dari Mingguan ''Pelopor Yogya''.
Kehidupan di PSK, di bawah asuhan Umbu, memang menuntut setiap penyair mudanya untuk berpacu setiap saat dengan “kehidupan puisi”.<ref name=":4" /> Dan ketika di PSK, Cak Nun termasuk yang produktif menghasilkan karya sehingga di usia yang masih belia, belum genap 17 tahun, ia sudah mendapatkan legitimasi sebagai penyair dan disematkan sebagai penyair garda depan yang dimiliki Yogyakarta.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=89|url-status=live}}</ref>
Baris 57:
=== Wartawan ===
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dengan mesik ketiknya.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib produktif berkarya dengan menggunakan mesin ketik.]] Masih dalam masa berproses bersama PSK di bidang sastra, Cak Nun juga aktif dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan, tahun 1973 sampai 1976. Sebagai wartawan serta redaktur beberapa rubrik di ''Harian Masa Kini'' Yogyakarta, seperti: Seni-Budaya, Kriminalitas, dan Universitaria, pun redaktur tamu di ''Harian [[Bernas]]'' selama tiga bulan.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=vZNkAAAAMAAJ&q=inauthor:%22Jabrohim%22&dq=inauthor:%22Jabrohim%22&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi1-eWfubTmAhUEGs0KHdQbBGUQ6AEIPDAD|title=Tahajjud cinta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=28|url-status=live}}</ref>
Pada usia 24-25, tahun 1977-1978, kualitas esai-esai Cak Nun sudah diakui publik dan diterima harian [[Kompas (surat kabar)|''Kompas'']]. Pada 1981 saat usia Cak Nun 28 tahun, majalah [[Tempo (majalah)|''Tempo'']] telah menerima tulisan kolom-kolomnya dan ia menjadi kolumnis termuda majalah itu.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=56|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=W55dUqZ9jDkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Jalan Sunyi Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=14|url-status=live}}</ref>
Lima tahun (1970-1975) Cak Nun menggeluti dunia kewartawanan. Berbeda dengan wartawan modern dalam mendefinisikan peran dan tugasnya sebagai penyiar berita, Cak Nun memiliki prinsip kewartawanan yang niscaya berhubungan dengan transendensi. Cak Nun menjelaskannya sebagai berikut:<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/45043824-yogya-bercerita|title=Yogya Bercerita: Catatan 40 Wartawan Ala Jurnalisme Malioboro|last=Wardhana|first=Sutirman Eka|publisher=Tonggak Pustaka|year=2017|isbn=978-602-745-877-2|location=Yogyakarta|pages=77|url-status=live}}</ref> <blockquote>''“Sekurang-kurangnya para wartawan adalah jari-jemari '''Al-Khabir''', yang maha mengabarkan. Para wartawan menyayangi dinamika komunikasi masyarakat, '''Ar-Rahman'''. Mereka memperdalam cinta kemasyarakatannya itu, '''Ar-Rahim'''. Mereka memelihara kejujuran, kesucian, dan objektivitas setiap huruf yang diketiknya, '''Al-Quddus'''. Mereka berkeliling ronda menyelamatkan transparansi silaturahmi, '''As-Salam'''. Mereka mengamankan informasi, '''Al-Mu`min'''. Mereka mengemban tugas untuk turut menjaga berlangsungnya keseimbangan nilai kebenaran, kebaikan dan keindalan, dalam kehidupan masyarakat: '''Al-Muhaimin'''. Mereka menggambar indahnya kehidupan dengan penanya, '''Al-Mushawwir'''. Serta berpuluh-puluh lagi peran Tuhan yang didelegasikan kepada kaum jurnalis atau para wartawan”''.</blockquote>
Baris 66:
Tahun 1977/1978, Cak Nun bergabung dengan '''Teater Dinasti''' yang didirikan oleh Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, dan Tertib Suratmo. Pada masa ini, keterlibatan Cak Nun bersama Teater Dinasti, dan keikutsertaan Teater Dinasti bersama Cak Nun tidak bisa dipisahkan.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2017/fenomena-emha/|title=Terus Mencoba Budaya Tanding|last=H.D.|first=Halim|publisher=Pustaka Pelajar|year=1995|isbn=|location=Yogyakarta|pages=xvi|chapter=Fenomena Emha|url-status=live}}</ref> Bersama Teater Dinasti, Cak Nun intensif mementaskan puisi dalam rentang perjalanan sejak 1978 sampai 1987. Ia menggunakan bahasa Jawa “jalanan” dan ungkapan-ungkapan populer yang bersifat oral dan menimbulkan plesetan yang mendekonstruksi logika, makna, serta humor dalam puisi-puisinya dan mengangkat masalah-masalah sosial.<ref name=":5">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=131|url-status=live}}</ref> Karya-karyanya bersama Teater Dinasti dianggap menjadi fenomena baru dalam pemanggungan puisi sehingga banyak dibicarakan oleh pengamat kesenian karena diiringi alunan musik dari seperangkat gamelan.<ref name=":5" />
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib, Musik Puisi, Karawitan Dinasti.jpg|jmpl|kiri|Pementasan Musik Puisi Emha Ainun Nadjib bersama Teater/Karawitan Dinasti di akhir tahun 1970-an.]] Pada tanggal 8 Desember 1980, Cak Nun dan Teater Dinasti mementaskan puisi di Teater Arena [[Taman Ismail Marzuki|Taman Ismail Marzuki (TIM)]] yang berjudul ''Tuhan''. Pembacaan puisi yang diiringi musik gamelan Jawa pada masa itu merupakan bentuk musikalisasi puisi yang tidak lazim. Karena itu, Cak Nun menyebut pementasan seperti itu sebagai “musik puisi”, bukan musikalisasi puisi.<ref name=":6">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=58|url-status=live}}</ref>
Model pertunjukan demikian diakui Cak Nun sebagai terobosan dan merupakan strategi agar mendekatkan puisi kepada masyarakat di kampung-kampung. Hal ini lazim karena masyarakat pedesaan masih lekat dengan seni tradisi yang memposisikan gamelan Jawa sebagai instrumen utama.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2019/maiyah-sebagai-pendidikan-alternatif-sosial-kemasyarakatan-3/|title=Maiyah Sebagai Pendidikan Alternatif Sosial Kemasyarakatan (3)|last=Pratama|first=Rony K|date=22 Maret 2019|website=CakNun.com|access-date=4 Desember 2019}}</ref>
Gamelan yang digunakan berbeda dengan gamelan pada umumnya, yaitu menggunakan besi, bukan kuningan. Pembacaan puisi dengan menggunakan gamelan besi oleh Cak Nun ini adalah bentuk pembelaan dan perhatiannya pada golongan masyarakat kelas bawah. Konsep bunyi gamelan besi mewakili kelas bawah, dibanding gamelan kuningan dan perunggu yang mewakili golongan elite, bangsawan, ningrat, dan semacamnya.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=59|url-status=live}}</ref>
Baris 77:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dalam Lokakarya Teater Rakyat.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib dalam Lokakarya Teater Rakyat tahun 1988.]] Dalam Teater Dinasti, Cak Nun berkolaborasi dengan Gajah Abiyoso, Fajar Suharno, Simon Hate, Joko Kamto, dan Agus Istiyanto, yang sangat produktif melahirkan ide-ide dan pemikirannya dalam puisi-puisi dan naskah-naskah drama. Seperti ''Keajaiban Lik Par'' (1980), ''Mas Dukun'' (1982), ''Geger Wong Ngoyak Macan'' (1989), dan ''Patung Kekasih'' (1989).<ref name=":6" /> Kemenyatuan Cak Nun dan Teater Dinasti, selain pembacaan puisi, juga melalui pertunjukan teater menyuguhkan keunikan tersendiri di awal tahun 1980-an yang membuatnya semakin dikenal masyarakat sehingga banyak permintaan pementasan.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=60|url-status=live}}</ref>
Cak Nun juga diikutsertakan dalam lokakarya teater tahun 1980 pada [[Philippine Educational Theater Association|Phillippine Educational Theatre Association]] (PETA), sebuah OAO—konsep teater yang mengusung nilai-nilai organisatoris, artistikal, dan orientatif—di [[Manila]], [[Filipina]].<ref name=":8">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=61|url-status=live}}</ref> Cak Nun, antara lain bersama Fred Wibowo dan [[Ariel Heryanto]] adalah peserta dari Indonesia angkatan pertama.<ref name=":8" />
Persinggungan Cak Nun dan kawan-kawan Teater Dinasti dengan metode teater pembebasan PETA di Filipina ini tampaknya memicu mereka memberikan berbagai kegiatan pendidikan politik kepada rakyat melalui teater sebagai wahana ekspresi spirit pembebasan. Teater Dinasti pada era itu merupakan pelopor yang konsen dalam menggarap konsep teater pendidikan.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=62|url-status=live}}</ref>
Baris 95:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Nevi Budianto di Tinambung.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib dan Nevi Budianto bersama Teater Flamboyant di Tinambung, April 1989.]] Alisjahbana membina mereka agar bisa terarah dan mempunyai prospek dalam hidupnya ke depan. Secara pelan dan bertahap, anak-anak muda liar dan suka mabuk-mabukan itu bisa terkendali. Salah satu cara ia membangun mimpi mereka, adalah dengan mengenalkan beberapa orang pintarnya Indonesia ke mereka. Salah satunya Cak Nun. Setiap tulisan Cak Nun yang terbit di majalah terkemuka nasional, difotokopi sebanyak mungkin, dibagikan, dan malamnya didiskusikan sampai larut. Perlahan tumbuh rasa cinta anak-anak muda itu ke Cak Nun. Tidak satupun tulisannya yang ada di sejumlah media dilewatkan.<ref name=":10" />
Tahun 1987, atas inisiatif anak-anak itu, Cak Nun diundang ke Mandar. Ia disambut dengan gembira. Selama di Mandar, ia melakukan berbagai aktivitas. Memimpin langsung workshop teater, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam.<ref name=":10" />
Tidak hanya bagi anak-anak muda ini, kedatangan Cak Nun juga punya arti besar bagi masyarakat Tinambung. Ketika itu Tinambung sedang mengalami kemarau panjang. Cak Nun lalu mengajak masyarakat bersama-sama sembahyang minta hujan. Begitu rampung shalat, hujan turun dengan lebatnya. Dan Cak Nun dianggap membuat keajaiban hingga banyak orang-orang tua mendatanginya di penginapan untuk meminta berkah doa dan pengobatan.<ref name=":11">{{Cite news|url=|title=Di Tinambung Mandar, Sulawesi Selatan, Emha Dimintai Berkah dan Pengobatan|last=Budianto|first=Nevi|date=11-17 Juni 1989|work=Minggu Pagi|access-date=}}</ref>
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Baharuddin Lopa.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib bersama Baharuddin Lopa dalam sebuah acara di Polewali Mandar.]] Tanggal 23-26 April 1989, Cak Nun datang kembali ke Tinambung bersama Nevi Budianto untuk kembali mengadakan workshop teater. Kegiatan ini juga diikuti pemuda-pemuda sekitar Tinambung: [[Polewali Mandar|Polewali]], Wonorejo, dan [[Campalagian, Polewali Mandar|Campalagian]].<ref name=":11" />
Cak Nun pun sering ke Mandar pada tahun-tahun berikutnya hingga terjalin hubungan persaudaran yang sangat kuat antara mereka.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/contoh-hubungan-erat-antar-dua-etnis/|title=Contoh Hubungan Erat Antar Dua Etnis|last=Mustofa|first=Helmi|date=24 Maret 2018|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref> Cak Nun didaulat sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang oleh tokoh-tokoh masyarakat Mandar yang berhimpun di Yayasan Sipamandar.<ref name=":10" /> Cak Nun juga menjadi dekat dengan tokoh Mandar, yaitu [[Baharuddin Lopa]]<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/korek-jress-di-bandara/|title=Korek Jress di Bandara|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=12 Desember 2019}}</ref> dan Bunda Cammana.
Baris 108:
=== Lautan Jilbab ===
Selain bersama Teater Dinasti, di akhir era 80-an dan awal 90-an, Cak Nun juga menghasilkan karya-karya naskah pementasan drama seperti ''Santri-santri Khidlir'', ''Sunan Sableng dan Baginda Faruq'', ''Keluarga Sakinah'', ''Lautan Jilbab'', ''Pak Kanjeng'', dan ''Perahu Retak''.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=63|url-status=live}}</ref> Pementasan '''''Lautan Jilbab''''' diangkat dari judul puisi berjudul sama. Puisi ini tercipta pada 16 Mei 1987 secara spontan, sore hari sebelum Cak Nun mengisi acara “Ramadlan in Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=64|url-status=live}}</ref>
Setelah penampilan penyair [[Taufiq Ismail]] di ''boulevard'' UGM, pentas puisi ''Lautan Jilbab'' mendapat sambutan hangat 6000-an orang yang hadir.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=65|url-status=live}}</ref> Puisi ini kemudian mengalami revisi, dari satu judul berkembang menjadi 33 sub judul, terhimpun dalam buku ''Syair Lautan Jilbab'' yang terbit tahun 1989.<ref name=":12" />
Baris 114:
Pada masa [[Orde Baru]] ketika itu, pemakaian jilbab di kalangan muslimah Indonesia, terutama di sekolah dan tempat kerja dilarang oleh pemerintah. Karena pemakaian jilbab dianggap sebagai fenomena politik Islam.<ref>{{Cite web|url=https://historia.id/kultur/articles/jilbab-terlarang-di-era-orde-baru-6k4Xn|title=Jilbab Terlarang di Era Orde Baru|last=Jo|first=Hendi|date=|website=Historia|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Atas bentuk represi Orde Baru itu, Cak Nun yang sejak kecil menentang ketidakadilan, memandang tindakan pemerintah ini melanggar hak asasi perempuan untuk berjilbab. Puisi ''Lautan Jilbab'' ini merupakan resistensi Cak Nun terhadap pembatasan hak asasi manusia oleh Orde Baru.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=109|url-status=live}}</ref>
[[Berkas:Lautan Jilbab Naskah Emha Ainun Nadjib.jpg|jmpl|Pementasan drama Lautan Jilbab, naskah Emha Ainun Nadjib, disutradarai Agung Waskito dengan supervisi Dr. Kuntowijoyo.]] Drama ''Lautan Jilbab'' pertama kali dipentaskan kelompok Sanggar Shalahuddin UGM, disutradarai oleh Agung Waskito dengan ''supervisor'' [[Kuntowijoyo|Dr. Kuntowijoyo]].<ref>{{Cite news|url=|title=Sebuah Potret Nasib Wanita Berjilbab|last=Kertarahardja|first=Kuswandi|date=4 Oktober 1988|work=Berita Buana|access-date=}}</ref> Pementasan ini dianggap memecahkan rekor jumlah penonton. Tidak kurang dari 3000 penonton pada malam pertama, dan sekitar 2000 penonton saat malam kedua.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/23715913-kitab-ketenteraman|title=Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=147|url-status=live}}</ref> Karena antusias yang tinggi itu, drama ini dipentaskan di banyak kota selain Yogyakarta, yaitu di Madiun, Malang, Surabaya, Bandung, Jember, dan Makassar.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=107|url-status=live}}</ref>
Puisi dan pementasan teater ''Lautan Jilbab'' tak ubahnya sebuah ajakan perlawanan. Sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.<ref name=":13">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/lautan-jilbab/|title=Lautan Jilbab|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Cak Nun mengungkapkan alasan perlawanannya:<ref name=":13" /> <blockquote>“''Pakai jilbab atau tak berjilbab adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silahkan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih.''” </blockquote>Menurut [[Niels Mulder|Niels Murder]], seorang sosiolog Belanda yang perhatian kepada perkembangan sosiokultural Indonesia, sejak pentas ''Lautan Jilbab'' oleh Cak Nun bersama Sanggar Shalahuddin digelar, busana muslimah berjilbab menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.<ref>{{Cite book|title=Ruang Batin Masyarakat Indonesia|last=Mulder|first=Niels|publisher=LKiS|year=2001|isbn=978-979-896-634-7|location=Yogyakarta|pages=27|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/book/show/13097709-di-jawa?rating=2&utm_medium=api&utm_source=blog_book|title=Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog|last=Mulder|first=Niels|publisher=Kanisius|year=2007|isbn=978-979-211-467-6|location=Yogyakarta|pages=268|url-status=live}}</ref>
=== ICMI ===
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan B. J. Habibie.jpg|jmpl|kiri|Pertemuan Emha Ainun Nadjib dan B. J. Habibie tahun 1991.]] Cak Nun tidak menamatkan kuliah, tetapi ia dipandang sebagai salah satu intelektual terkemuka di Indonesia. Dekan [[Fakultas Psikologi Universitas Indonesia|Fakultas Psikologi UI]] tahun 1991, Dr. Yaumil Agus Akhir, mengatakan bahwa Cak Nun layak diberi gelar Doktor ''Honouris Causa'', atau bahkan profesor karena pikiran dan wawasannya yang luas dan didukung analisis yang tajam.<ref>{{Cite news|url=|title=Emha Layak Dapat Gelar Doktor HC|last=|first=|date=12 Mei 1991|work=Kedaulatan Rakyat|access-date=}}</ref>
Pada usianya yang belum genap 40 tahun, Cak Nun dimasukkan ke dalam jajaran kepengurusan [[Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia|ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)]] yang dibentuk pada Desember 1990, dipimpin oleh [[B. J. Habibie|B.J. Habibie]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=67|url-status=live}}</ref> Terkait hal ini, Cak Nun sejak awal mempertanyakan keterlibatannya di ICMI dengan bersurat langsung ke B.J. Habibie karena namanya dimasukkan dalam jajaran pengurus ICMI tanpa konfirmasi dan persetujuan resmi darinya.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=69|url-status=live}}</ref>
Baris 128:
''Pak Kanjeng'' merupakan naskah Cak Nun, yang dipentaskan untuk mengkritik dan merespons kesemena-menaan penguasa rezim Orde Baru ketika membangun Waduk Kedungombo.<ref name=":14">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/foto/mozaik/pak-kanjeng/|title=Pak Kanjeng|last=|first=|date=|website=CakNun.com|access-date=5 Desember 2019}}</ref> Setelah sebelumnya sangat sulit sekali mendapat izin pentas, tanggal 16 dan 17 November 1993 di Purna Budaya Yogyakarta (sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM]), lakon ''Pak Kanjeng'' dipentaskan. Lakon ini memotret perlawanan seorang warga, yaitu Pak Jenggot, dalam menolak pembangunan Waduk Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah. Pementasan ini ditampilkan dengan bahasa yang sangat deras, keras, tajam, pintar, dan sarkastis.<ref>{{Cite news|url=|title=Lakon Politik Pak Kanjeng|last=|first=|date=27 November 1993|work=Majalah TEMPO|access-date=}}</ref>
[[Berkas:Pak Kanjeng Naskah Emha Ainun Nadjib.jpg|jmpl|Pementasan lakon Pak Kanjeng, naskah Emha Ainun Nadjib tahun 1993.]] ''Pak Kanjeng'' diperankan oleh tiga aktor yaitu Joko Kamto, Nevi Budianto, dan [[Butet Kertaradjasa]]. Ketiganya, masing-masing menggambarkan sebuah pribadi yang terpecah menjadi tiga: yang keras melawan, yang lunak toleran, dan yang ragu-ragu. Itu merupakan tiga faset kejiwaan ''Pak Kanjeng'' dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru.<ref name=":14" />
Pementasan ini digarap oleh '''Komunitas Pak Kanjeng''' (yang memang diambil dari judul naskah ini) dengan forum penyutradaraan oleh sembilan sutradara.<ref name=":14" /> Selain ketiga pemainnya, dalam forum sutradara ini turut terlibat pula [[Agus Noor]], Indra Tranggono, [[Djaduk Ferianto|Djadug Ferianto]], dan Cak Nun sendiri.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/cak-nun-dalam-lanskap-sastra-dan-sabana-sosial/|title=Sepotong Dunia Emha|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=118|url-status=live}}</ref> Gagasan berani dan keras dalam pementasan lakon yang mengkritik Orde Baru ini menyebabkan pertunjukannya dilarang di berbagai kota.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=76|url-status=live}}</ref>
Baris 147:
=== Detik-detik Lengsernya Soeharto ===
Mei 1998, kerusuhan pecah di berbagai kota, termasuk [[Kota Surakarta|Surakarta]], [[Kota Bandung|Bandung]], dan [[Kota Palembang|Palembang]] usai terjadi penembakan dalam demonstrasi yang menewaskan mahasiswa [[Universitas Trisakti]] tanggal 12 Mei. Dikenal dengan [[Tragedi Trisakti]]. Jakarta rusuh tanggal 13 Mei, dan puncaknya, 15 Mei, beberapa pusat perbelanjaan di [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]] hangus terbakar. Ratusan orang tewas.<ref name=":19">{{Cite news|url=https://tirto.id/diminta-para-ulama-untuk-mundur-soeharto-bergeming-cKKp|title=Diminta Para Ulama untuk Mundur, Soeharto Bergeming|last=Firdausi|first=Fadrik Aziz|date=19 Mei 2018|work=[[Tirto|Tirto.id]]|access-date=6 Desember 2019|language=id}}</ref>
16 Mei, di tengah suasana Jakarta yang rusuh, beberapa intelektual berkumpul di Hotel Regent. Di antaranya Cak Nun dan [[Nurcholish Madjid|Nurcholish Madjid (Cak Nur)]]. Dalam pertemuan ini, didiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengakhiri krisis ekonomi-sosial-politik yang intinya, Soeharto harus lengser. Tapi bagaimana caranya menyampaikan itu ke [[Soeharto]], karena sebelumnya pernah ditempuh lewat [[Muhammad Quraish Shihab|Quraish Shihab]], tapi [[Menteri Agama|menteri agama]] ini menolaknya. Cak Nun pada pertemuan itu mengeluarkan ide untuk membentuk opini bersama militer.<ref name=":20">{{Cite news|url=https://majalah.tempo.co/read/87640/di-balik-detik-detik-itu|title=Di Balik Detik-Detik itu|last=Administrator|date=18 Mei 2003|work=[[Tempo.co]]|access-date=6 Desember 2019}}</ref>
Baris 155:
Setelah pertemuan di Hotel Regent tanggal 16 Mei, malamnya, Cak Nur, Cak Nun, bersama Oetomo Dananjaya, [[Abdul Malik Fadjar|Malik Fadjar]], dan S. Drajat merumuskan empat prosedur lengsernya Soeharto dengan meminimalisir korban dan memaksimalkan efektivitas kenegaraan.<ref name=":21">{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/reformasi-nkri-7/|title=Reformasi NKRI, 7|last=Nadjib|first=Emha Ainun|date=14 Mei 2018|website=CakNun.com|access-date=6 Desember 2019}}</ref> Empat prosedur ini termaktub dalam surat '''''Husnul Khatimah''''' yang rencananya akan diserahkan kepada Soeharto.<ref name=":30">{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=FBBpDAAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=32|url-status=live}}</ref> Para perumus surat itu sebenarnya berasal dari sebuah kelompok diskusi rutin yaitu Majelis Reboan yang salah satunya diselenggarakan di Jl. Indramayu 14 Menteng.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=jirEoRUZpMoC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Sidang Terakhir Kabinet Orde Baru: 12 Jam Sebelum Presiden Soeharto Mundur|last=Makka|first=A. Makmur|publisher=Republika|year=2008|isbn=978-979-110-240-7|location=Jakarta|pages=47|url-status=live}}</ref>
Keesokan harinya, 17 Mei, surat yang lengkapnya berjudul ''Semuanya Harus Berakhir Dengan Baik (Husnul Khatimah)'' itu dikabarkan kepada para wartawan di Hotel Wisata oleh Cak Nur, Cak Nun, dan kawan-kawan.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=9kP8DQAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false|title=Krisis Masa Kini dan Orde Baru|last=Hisyam|first=Muhammad|publisher=Pustaka Obor|year=2003|isbn=978-602-433-161-0|location=Jakarta|pages=79|chapter=Hari-Hari Terakhir Orde Baru|url-status=live}}</ref> Konferensi pers itu menjadi pembicaraan di banyak media esoknya, 18 Mei.<ref name=":20" /> Pada 18 Mei itu juga, surat tersebut disampaikan ke Soeharto melalui [[Mensesneg]] ketika itu, [[Saadillah Mursjid|Saadilah Mursyid]].<ref name=":22">{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=L_d5QeWgyi4C&pg=PA54&lpg=PA54&dq=demokrasi+la+roiba+fih&source=bl&ots=1fylHMUpvx&sig=ACfU3U0kGjn02AnHHzkFVGtsAJseKrSwzg&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjZ7Nyv4rXmAhWHUs0KHaHXCB0Q6AEwCHoECAoQAQ#v=onepage&q&f=false|title=Demokrasi La Roiba Fih|last=Nadjib|first=Emha Ainun|publisher=Kompas|year=2009|isbn=978-979-709-427-0|location=Jakarta|pages=115|url-status=live}}</ref>
Sore harinya, tak diduga, [[Harmoko]] sebagai Ketua [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia|DPR]]/[[Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia|MPR]] yang dikenal setia kepada Soeharto, membacakan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri dengan arif dan bijaksana. Malam harinya, ternyata Soeharto menyambut baik usulan untuk ''Husnul Khatimah''. Melalui Saadilah Mursyid, Presiden Soeharto menghubungi Cak Nur dan menyatakan bersedia mundur kapan saja. Kabar itupun diteruskannya kepada Cak Nun.<ref name=":20" /><ref name=":21" /><ref name=":22" /><ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=BRcEbmAgTjwC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false|title=The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi|last=Tandjung|first=Akbar|publisher=Gramedia|year=2007|isbn=979-223-363-6|location=Jakarta|pages=69|url-status=live}}</ref>
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Tim Sembilan.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib dan tokoh-tokoh nasional lain menyimak konferensi pers Soeharto setelah pertemuan 19 Mei 1998.]] Setelah usulan dalam surat ''Husnul Khatimah'' diterima dan menyatakan akan mundur, Soeharto ingin merundingkan cara lengser terbaik, tercepat, tetapi berisiko minimal bagi bangsa Indonesia. Ia ingin membahasnya bersama perumus surat itu dan tokoh-tokoh muslim segera. Soeharto secara khusus meminta agar [[Abdurrahman Wahid|Gus Dur]] diikutsertakan. Cak Nur mengusulkan agar [[Amien Rais]] juga diundang, tapi ditolak Soeharto.<ref name=":19" />
Tanggal 19 Mei pagi, pukul 09.00, sembilan tokoh masyarakat diterima [[Soeharto]] di [[Istana Merdeka]]. Yaitu [[Nurcholish Madjid|Cak Nur]], Cak Nun, [[Abdurrahman Wahid|Gus Dur]], Ahmad Bagja, KH. Cholil Baidowi, [[Ali Yafie|K.H. Ali Yafie]], [[Ma'ruf Amin|K.H. Ma’ruf Amin]], [[Abdul Malik Fadjar|Malik Fadjar]], dan Sumargono. Selain mereka bersembilan, Cak Nur juga mengajak [[Yusril Ihza Mahendra]]. Yusril ketika itu bekerja sebagai penyusun naskah pidato kepresidenan yang sebenarnya tidak masuk dalam undangan, tapi Cak Nur memaksa karena Yusril paham hukum ketatanegaraan.<ref name=":20" />
Baris 178:
Kerusuhan yang menewaskan banyak orang termasuk mahasiswa, penculikan-penculikan, situasi ekonomi yang sulit, korupsi-kolusi-kronisme-nepotisme yang akut, represi militer bertahun-tahun, ketidakbebasan berpendapat yang lama, dan berbagai kesalahan Soeharto lainnya, maka bisa dipahami segala situasi itu menyebabkan kebencian dan dendam yang mendalam masyarakat kepadanya. Mereka menghendaki pengalihan kekuasaan total dan tidak menoleransi keterlibatan Soeharto dalam reformasi. Sementara menurut pertimbangan dengan logika berpikir ''Husnul Khatimah'', yang paling bertanggung jawab atas semua kesalahannya adalah Soeharto sendiri.<ref name=":24">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=95|url-status=live}}</ref>
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra.jpg|jmpl|Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, dan Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi buku Islam Demokrasi Atas Bawah di Jakarta tahun 1998.]] Cak Nur, Cak Nun dan kawan-kawan memilih untuk melakukan pendekatan yang berbeda, dengan berusaha tidak hanyut dalam arus kebencian yang tidak proporsional. Mencoba untuk tidak mengutuk-ngutuknya lagi walaupun ingin, karena sering mengalami tindakan represi dari rezim Orde Baru.<ref name=":24" />
Sebelumnya, pada HUT Golkar ke-33 tanggal 19 Oktober 1997, Soeharto dalam pidatonya mengisyaratkan siap ''lengser keprabon madeg pandito.''<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=j-8SGkxeihEC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false|title=Suara Amien Rais Suara Rakyat|last=Najib|first=Muhammad|publisher=Gema Insani Press|year=1999|isbn=979-561-490-8|location=Jakarta|pages=128|url-status=live}}</ref> Cak Nun memandang Soeharto yang berkuasa dengan kuat selama 32 tahun, pada saat militer masih dikendalikan penuh, dalam batinnya saat itu sudah ''madeg pandito.'' Maka tinggal disentuh hatinya agar dirinya menyelesaikan permasalahan dengan ''husnul khatimah''.
Baris 191:
Komite Reformasi ini merupakan sebuah konsep sebagai langkah alternatif untuk menghindari konsekuensi naiknya B.J. Habibie yang dianggap masyarakat bagian dari Orde Baru. Karena bila B.J. Habibie menjadi presiden, akan muncul polarisasi konflik yang baru. Akan ada kelompok yang setuju kepada B.J. Habibie dan yang menolaknya.<ref>{{Cite news|url=|title=Kami Beri Waktu Habibie Enam Bulan Untuk Memenuhi Tuntutan Kaum Reformis|last=M|first=Wens|date=23 Mei 1998|work=|access-date=8 Desember 2019}}</ref> Komite Reformasi ini semacam MPRS yang bertugas menyusun undang-undang politik dan pemilu, yang kemudian menyelenggarakan pemilu selama 6 bulan.
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib, Abdurrahman Wahid, dan Soeharto.jpg|jmpl|kiri|Emha Ainun Nadjib dan Abdurrahman Wahid menjelang pertemuan dengan Soeharto di Istana Merdeka.]] Soeharto menyatakan akan membentuk Komite Reformasi dalam konferensi pers setelah bertemu sembilan tokoh pada 19 Mei. Yusril, bersama Saadilah, dipercaya Soeharto untuk merealisasikan pembentukan Komite Reformasi. Sekitar 45 nama diajak bergabung ke dalam Komite Reformasi.<ref name=":23" />
45 tokoh yang direncanakan masuk dalam Komite Reformasi ini antara lain [[Megawati Soekarnoputri|Megawati Soekarno Putri]], [[Abdurrahman Wahid|Gus Dur]], Abdul Qadir Jailani, [[Adnan Buyung Nasution]], [[Fahmi Idris]], [[Y.B. Mangunwijaya]], [[Kwik Kian Gie]], [[Ali Sadikin]], Daniel Sparingga, [[Muladi|Muladi SH]], [[Ismail Suny|Ismail Sunny]], I Ketut Puja, [[Eggi Sudjana|Eggi R. Sudjana]], Soelarso Supater, [[Adi Sasono]], [[Afan Gaffar|Affan Gaffar]], [[Arbi Sanit]], [[Achmad Tahir]], [[Achmad Tirtosudiro]], Ahmad Bagja, [[Akbar Tanjung]], [[Albert Hasibuan]], [[Anwar Harjono|Anwar Hardjono]], [[Anas Urbaningrum]], [[A.M. Fatwa|A. M. Fatwa]], [[Abdul Malik Fadjar|Malik Fadjar]], Harun Al-Rasyid, Hartono Suhardiman SE, [[Wiranto]], [[Yusril Ihza Mahendra]], serta para Rektor dari [[Universitas Indonesia|UI]], [[Institut Teknologi Bandung|ITB]], [[Universitas Gadjah Mada|UGM]], [[Universitas Diponegoro|Undip]], [[Universitas Airlangga|Unair]], [[Universitas Padjadjaran|Unpad]], [[Universitas Hasanuddin|Unhas]], [[Institut Pertanian Bogor|IPB]], dan [[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta|IAIN Syarif Hidayatullah]].<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=93|url-status=live}}</ref>
Baris 199:
Yusril dan Saadilah pasca pertemuan itu tetap menjalankan perintah Soeharto untuk memformulasikan 45 nama-nama anggota Komite Reformasi. Namun orang-orang yang dihubungi, mayoritas menolak. Fahmi Idris yang awalnya mau, lantas mulai ragu-ragu. Ismail Sunny juga mengiyakan, tapi kemudian tidak mengontak lagi.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=0YXf3zA8gsUC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false|title=Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru|last=Soempeno|first=Femi Adi|publisher=Galang Press|year=2008|isbn=978-979-249-954-4|location=Yogyakarta|pages=172|url-status=live}}</ref>
Berbeda dengan Cak Nur, Cak Nun, dan Gus Dur yang mendukung adanya Komite Reformasi,<ref name=":27">{{Cite news|url=|title=Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden|last=|first=|date=20 Mei 1998|work=Kompas|access-date=}}</ref> Amien Rais menolak gagasan itu karena menurutnya jika ketuanya adalah Soeharto sendiri, komite itu akan kehilangan kredibilitas dan akan sulit mencari tokoh yang kompeten untuk duduk di dalamnya.<ref name=":19" /> Bahkan ia memandang, Komite Reformasi ini hanya cara Soeharto untuk mengulur waktu dan tetap berkuasa.<ref>{{Cite web|url=https://nationalgeographic.grid.id/read/131733315/hari-ini-dalam-sejarah-21-mei-1998-jadi-saksi-keruntuhan-hegemoni-soeharto-oleh-gerakan-reformasi?page=all|title=Hari Ini dalam Sejarah: 21 Mei 1998 Jadi Saksi Keruntuhan Hegemoni Soeharto oleh Gerakan Reformasi|last=|first=|date=21 Mei 2019|website=National Geographic Indonesia|access-date=9 Desember 2019}}</ref>
Sebenarnya Amien Rais akan ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia oleh Komite Reformasi untuk memimpin masa transisi, namun Cak Nur tidak berhasil menjelaskan gagasan itu kepadanya.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=L_d5QeWgyi4C&pg=PA54&lpg=PA54&dq=demokrasi+la+roiba+fih&source=bl&ots=1fylHMUpvx&sig=ACfU3U0kGjn02AnHHzkFVGtsAJseKrSwzg&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjZ7Nyv4rXmAhWHUs0KHaHXCB0Q6AEwCHoECAoQAQ#v=onepage&q&f=false|title=Demokrasi La Roiba Fih|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=117|url-status=live}}</ref> Pada akhirnya Komite Reformasi pun kandas di tengah jalan, gagal terwujud.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=94|url-status=live}}</ref>
Baris 215:
Presiden Soeharto sudah turun, dan B.J. Habibie menjadi presiden. Di masa kepresidenan Habibie, krisis multidimensi terjadi. Pemimpin-pemimpin politik tidak bisa bersatu. Menurut Cak Nun ketika itu, siapapun bisa bicara apa saja dan bahkan para pemimpin pun sulit dipercaya. Himbauan ulama untuk tidak berbuat rusuh tidak dihiraukan. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Karena itu Cak Nun yang resah dengan keadaan ini memandang keluarga besar bangsa Indonesia perlu melakukan '''''Ikrar Husnul Khatimah'''.'' Ikrar yang digagas Cak Nun ini rencananya diselenggarakan pada 14 Februari 1999, bertempat di [[Masjid Baiturrahman Jakarta|Masjid Baiturrahman]] Komplek DPR/MPR. Mulanya, ide ini dilontarkan Cak Nun pada saat shalat tarawih Ramadlan, awal tahun 1999, bersama [[Ginandjar Kartasasmita|Ginanjar Kartasasmita]], [[Abdul Latief (pengusaha)|Abdul Latief]], [[A.M. Hendropriyono]], dan [[Akbar Tanjung]]. Menurutnya, ini satu-satunya cara untuk mencoba membuka pintu krisis legitimasi yang dialami Indonesia.<ref name=":28">{{Cite news|url=|title=Husnul Khatimah Ide Cak Nun Bukan Pak Harto|last=|first=|date=15-28 Februari 1999|work=Majalah GARDA|access-date=}}</ref>
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Soeharto di Jalan Cendana.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib mengundang Soeharto di rumahnya di Jalan Cendana untuk menghadiri Ikrar Husnul Khatimah, Februari 1999.]] Dalam rencana acara Pertobatan Nasional bertajuk ''Ikrar Husnul Khatimah'' itu, para tokoh nasional diundang. Selain tiga tokoh di atas, tokoh-tokoh yang diundang antara lain: Presiden B.J. Habibie, Wiranto, Gus Dur, Megawati, Amien Rais, para menteri dan tokoh-tokoh lainnya, termasuk Soeharto.<ref name=":28" />
Cak Nun mengundang Soeharto secara langsung ketika bertemu dengannya di Cendana sebanyak dua kali. Tanggal 26 Januari 1999, Soeharto mengundang Cak Nun. Sebelumnya, beberapa kali, orang-orang lain, termasuk anak-anaknya, [[Tommy Soeharto|Hutomo Mandala Putra]] dan [[Bambang Trihatmodjo]], mencoba menghubungkan Cak Nun dengan Soeharto, tetapi tidak berhasil. Menurut Soeharto, Cak Nun termasuk orang yang dia percayai karena di tengah-tengah hujatan kepadanya, Cak Nun dianggap cukup objektif.<ref>{{Cite news|url=|title=Membawa Ember ke Cendana|last=|first=|date=13 Februari 1999|work=Majalah GATRA|access-date=}}</ref>
Dalam pertemuan pertama selama tiga jam di kediamannya, Soeharto menyanggupi untuk hadir pada acara tanggal 14 Februari. Tidak hanya akan hadir, ia setuju untuk membayar semua dosanya dan mengakhiri sisa kehidupan dengan kebaikan-kebaikan dengan menandatangani rumusan '''''Empat Sumpah Soeharto''''', di hadapan Cak Nun.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=96|url-status=live}}</ref>
Sumpah yang rencananya dinyatakan di hadapan seluruh masyarakat, tokoh, dan semua wartawan media cetak dan televisi yang akan hadir itu berisi:<ref>{{Cite news|url=|title=4 Sumpah Pak Harto|last=Nadjib|first=Emha Ainun|date=22 Mei 2002|work=Jawa Pos|access-date=}}</ref><ref name=":29">{{Cite news|url=|title=Mengatur Tobat Dari Desa Menturo|last=|first=|date=13 Februari 1999|work=Majalah GATRA|access-date=}}</ref>
Baris 230:
== Maiyah ==
Jika pada masa Orde Baru, aktivitas Cak Nun selalu ramai dalam hiruk pikuk media massa dan publik nasional, maka setelah Reformasi ia memilih ‘jalan sunyi’. Cak Nun mundur dari panggung nasional. Cak Nun menjaga jarak dengan media ''mainstream'', karena ia menyadari sepenuhnya potensi destruktif yang kerap dibawa media daripada potensi konstruktifnya.<ref name=":31">{{Cite web|url=https://www.watyutink.com/topik/pikiran-bebas/Alternatif-Gerakan-Indonesia-Baru-Bagian-2|title=Alternatif Gerakan Indonesia Baru (Bagian-2)|last=Supraja, SH., M.Si.|first=Dr. Muhammad|date=24 November 2018|website=Watyutink.com|access-date=15 Desember 2019|archive-date=2019-12-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20191221022301/https://www.watyutink.com/topik/pikiran-bebas/Alternatif-Gerakan-Indonesia-Baru-Bagian-2|dead-url=yes}}</ref>
Waktu kegiatannya sebagian besar bersama masyarakat langsung di berbagai pelosok daerah di nusantara, lebih banyak dibanding sebelumnya.<ref>{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=100|url-status=live}}</ref> Dalam aktivitasnya itu, Cak Nun bersama KiaiKanjeng melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Aktivitas Cak Nun yang intens bersama masyarakat itu kemudian berkembang sebagai sebuah konsep kebersamaan yang diikuti beragam lapisan masyarakat. Konsep ini kemudian tahun 2001 disebut '''Maiyah'''. Secara etimologis, Maiyah berasal dari kata ''ma’a'', bahasa Arab yang artinya bersama. Dan arti Maiyah sendiri adalah '''kebersamaan'''.<ref name=":35">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/|title=Semesta Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=105|url-status=live}}</ref>
Kebersamaan dibangun dengan berpijak pada kebersamaan '''Segitiga Cinta'''. Yaitu segitiga antara '''Allah, Rasulullah, dan makhluk'''.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2016/menyelami-maiyah-cinta-segitiga/|title=Menyelami Maiyah Cinta Segitiga|last=Jufri|first=Ahmad Jamaluddin|date=23 Desember 2016|website=CakNun.com|access-date=15 Desember 2019}}</ref> Inspirasi konsep kebersamaan ini diambil dari [[Al-Qur'an|Al-Qur`an]] yang dikaji oleh Marja’ (rujukan keilmuan) Maiyah: Ahmad Fuad Effendy. Bahwa kata ''ma’a'' dalam Al-Qur`an disebutkan sebanyak 161 kali yang berada dalam relasi atau kebersamaan antara Allah, Rasulullah, dan semua makhluk-Nya.<ref>{{Cite book|url=https://cdn.caknun.com/media/2016/12/book-maiyah-di-dalam-al-quran.pdf|title=Ma’iyah di dalam Al-Qur`an: Sebuah Kajian Tematik|last=Effendy|first=Ahmad Fuad|publisher=|year=2009|isbn=|location=Jombang|pages=|url-status=live}}</ref>
Baris 240:
Ada yang melihat Maiyah yang diinisiasi Cak Nun ini sebagai sebuah fenomena gerakan sosial budaya baru yang cukup memberikan harapan kebangkitan Indonesia. Maiyah dianggap sebagai oase di tengah berbagai dahaga sosial, kebudayaan, agama, dan krisi keadilan yang terjadi di Indonesia. Karena kesemua permasalahan itu diakomodasi dan diolah bersama menjadi energi kreatif yang menyiratkan prospek masa depan Indonesia yang lebih baik.<ref name=":31" />
Maiyah bisa dikatakan seperti sekolah gratis terbuka atau universitas jalanan untuk berbagai lapisan masyarakat, atau juga mirip pesantren virtual. Maiyah seperti menjadi laboratorium sosial yang melatih logika berpikir dan seni manajemen kehidupan. Pun formatnya lain dari berbagai bentuk institusi pembelajaran yang pernah ada.<ref name=":32">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2019/mewedar-jalan-kesehatan-emha/|title=Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=171|url-status=live}}</ref>
Maiyah sangat terbuka bagi siapapun. Semuanya boleh datang ke Majelis Masyarakat Maiyah. Mereka yang merasa bertuhan, yang ateis, yang apolitis, juga yang politis, yang berpendidikan tinggi maupun tidak sekolah, semuanya boleh. Tanpa ada sekat yang dibangun untuk tujuan pemisahan. Tidak ada sekat berdasarkan agama, kelas sosial-ekonomi, dan atas dasar stratifikasi sosial yang selama ini telah terbentuk kehidupan sehari-hari.<ref>{{Cite web|url=https://www.watyutink.com/topik/pikiran-bebas/Alternatif-Gerakan-Indonesia-Baru-Bagian-3|title=Alternatif Gerakan Indonesia Baru (Bagian-3)|last=Supraja, SH., M.Si.|first=Dr.Muhammad|date=25 November 2018|website=Watyutink.com|access-date=15 Desember 2019|archive-date=2019-12-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20191221022259/https://www.watyutink.com/topik/pikiran-bebas/Alternatif-Gerakan-Indonesia-Baru-Bagian-3|dead-url=yes}}</ref>
Maiyah begitu cair, luwes, rileks, nyaris tanpa struktur baku. Bukan sebuah organisasi. Maiyah lebih cenderung disebut “organisme” yang memiliki karakter seperti ruang yang menampung apapun dan siapapun di dalamnya.<ref name=":32" /> Cak Nun mengatakan bahwa sejatinya Maiyah itu merupakan dinamika tafsir terus-menerus, tidak terlalu penting didefinisikan secara baku. Yang penting keberadaannya bermanfaat bagi masyarakat luas.<ref name=":33">{{Cite book|url=https://www.caknun.com/2019/mewedar-jalan-kesehatan-emha/|title=Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=166|url-status=live}}</ref>
[[Toto Rahardjo]], pimpinan KiaiKanjeng dan sahabat Cak Nun yang merupakan salah satu sesepuh Maiyah mengatakan bahwa, meskipun Maiyah dipandang sebagai sebuah gerakan sosial budaya, agama, bahkan gerakan sufi, menurutnya Maiyah mengambil posisi cukup sebagai majelis ilmu. Menurut Cak Nun, dengan berposisi sebagai majelis ilmu, Maiyah dapat menjadi penyokong segala organisasi, pergerakan, ataupun institusi yang ada di masyarakat.<ref name=":33" />
Bagi nahdliyyin yang ber-Maiyah akan semakin kuat ke-NU-annya, dan warga Muhammadiyah tambah kuat ke-Muhammadiyah-annya. Maiyah berupaya untuk selalu berada pada titik seimbang, sebagai penengah, berada pada posisi washatiyah tidak memihak kepada siapapun, baik kekuasaan, ormas, mazhab agama, dan kelompok-kelompok atau aliran-aliran apapun.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/jalan-tengah-maiyah/|title=Jalan Tengah Maiyah|last=Soduwuh|first=Ihda Ahmad|date=5 September 2017|website=CakNun.com|access-date=15 Desember 2019}}</ref>
Baris 256:
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib di Padhangmbulan 1990-an.jpg|jmpl|kiri|Suasana Padhangmbulan pada tahun 90-an.]] Pengajian itu dinamakan '''Padhangmbulan''' yang secara kebetulan diadakan setiap pertengahan bulan [[Kalender Hijriyah|Hijriah]], dan hari kelahiran Cak Nun adalah 15 [[Ramadan|Ramadlan]] ketika bulan purnama.<ref name=":34">{{Cite news|url=|title=Emha 'Kyai Mbeling' Ainun Nadjib: Bukan Organisasi, tapi Laboratorium Alam Pikir, Iman dan Sikap|last=|first=|date=9 Februari 1996|work=Republika|access-date=}}</ref> Padhangmbulan awalnya diikuti 50 sampai 60 orang. Bulan kedua 270 orang. Bulan ketiga 500 orang.<ref>{{Cite book|url=https://www.goodreads.com/en/book/show/13607108-spiritual-journey-pemikiran-perenungan-emha-ainun-nadjib|title=Spiritual Journey|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=73|url-status=live}}</ref> Setelah lebih dari 14 bulan diselenggarakan, pada awal tahun 1996 membludak hingga 10.000 orang yang puncaknya ketika menjelang Reformasi, pernah dihadiri 35.000 orang.<ref name=":34" /> Dilihat dari pelat kendaraan mereka, ada yang dari Surabaya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Cirebon, Malang, Brebes, dan lain-lain.<ref name=":38">{{Cite news|url=|title=Satu Purnama di Tepi Jombang|last=Anam|first=Saiful|date=6 Maret 1999|work=Majalah GATRA|access-date=}}</ref>
Desa Menturo setiap Padhangmbulan diadakan menjadi sangat ramai. Sebenarnya pada masa lalu desa ini juga cukup ramai pada saat Muhammad Abdul Latief—akrab dipanggil Cak Mad, ayah Cak Nun masih hidup. Almarhum mewarnai kegiatan kehidupan masyarakat Menturo.<ref name=":38" /> Cak Mad mendirikan Madrasah Islamiyah “Mansyaul ‘Ulum” di Menturo Timur tahun 1958.<ref name=":37" />
Namun sepeninggal Cak Mad pada tahun 1975, keramaian saat itu perlahan meredup. Pun Cak Nun bersaudara banyak beraktivitas di luar Jombang. Hanya kakak keduanya, Miftahus Surur (Cak Mif) yang mendapat amanah melanjutkan perjuangan Cak Mad mengurus madrasah.<ref name=":37" /> Padhangmbulan merupakan bentuk pengabdian anak-anak Cak Mad untuk melanjutkan perjuangan dan menjadi amal jariyah dalam permberdayaan masyarakat.
[[Berkas:Emha Ainun Nadjib dan Konsultasi Usai Padhangmbulan.jpg|jmpl|Emha Ainun Nadjib menampung keluh kesah masyarakat usai Padhangmbulan, sebagai upaya mereka mencari solusi.]] [[Berkas:Padhangmbulan Maret 2018.jpg|jmpl|Suasana Desa Menturo saat Padhangmbulan pada Maret 2018.]]
[[Berkas:Padhangmbulan di tahun ke-26.jpg|pra=link=Special:FilePath/Padhangmbulan pada tahun ke-26.jpg|jmpl|Masyarakat Maiyah mensyukuri berjalannya Padhangmbulan hingga tahun ke-26.]]Merespons fenomena Padhangmbulan yang menjadi magnet berkumpulnya ribuan orang di tengah pengawasan rezim Orde Baru saat itu, Cak Nun mengatakan bahwa yang penting fungsinya harus jelas. Fungsi pertama adalah melalui tafsir Al-Qur`an. Padhangmbulan mencoba merefleksikan penyikapan-penyikapan terhadap masalah-masalah sosial yang akhirnya diharapkan terjadi pembenahan cara berpikir bersama melalui pembelajaran Al-Qur`an. Fungsi kedua adalah pemberdayaan. Ada konsep-konsep yang dicari bersama sebagai alternatif terbaru dalam memberdayakan umat. Karena mereka yang datang ke Padhangmbulan dari berbagai daerah dan latar belakang. Padhangmbulan tidak hanya pengajian, tetapi ada silaturahmi ekonomi di situ.<ref name=":34" />
Di antara yang datang ketika itu, ada tokoh politik, seniman, budayawan, dan selebriti. Seperti [[Rhoma Irama]], [[Trie Utami]], [[Arie Koesmiran]], [[Imam Utomo]] (Gubernur Jatim), Tadjus Sobirin, Permadi, [[Kemal Idris]], [[W.S. Rendra]], hingga [[Prabowo Subianto]]. Tujuannya juga beragam. Memang ada yang betul-betul ikut pengajian untuk menimba ilmu.<ref name=":38" />
Ada pula yang ingin berkonsultasi menyampaikan keluh kesah sebagai upaya mencari solusi atas masalah mereka.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2017/konsultasi-usai-padhangmbulan/|title=Konsultasi Usai Padhangmbulan|last=|first=|date=28 Maret 2017|website=CakNun.com|access-date=19 Desember 2019}}</ref> Biasanya mereka diterima Cak Nun usai Padhangmbulan. Di antara masyarakat yang datang, ada yang sekadar jajan aneka makanan yang dijual para penjual dadakan.<ref name=":38" />
Baris 275:
=== Sinau Bareng ===
Meskipun keberangkatannya dari pengajian, dalam perjalanannya Cak Nun bersama Masyarakat Maiyah melakukan dekonstruksi atas model pengajian baku yang sudah ada.<ref name=":32" /> Kebersamaan di dalam Maiyah menawarkan suatu wacana baru berupa gerakan kultural dengan metode yang alami. Forum-forum Maiyah adalah peristiwa pertemuan antar manusia yang alami, secara langsung, dan tanpa tendensi materialisme.<ref name=":35" />
Kebersamaan yang dibangun di Maiyah merupakan upaya meniru Nabi Muhammad dengan Islam di Madinah, yaitu mengupayakan kecerdasan kolektif (''swarm intelligent''). Kecerdasan komunal ini tidak dibentuk oleh satu atau dua orang pandai, tapi dibuat oleh interaksi antar manusia.<ref>{{Cite web|url=https://www.caknun.com/2018/kecerdasan-kolektif/|title=Kecerdasan Kolektif|last=Panuluh|first=Sabrang Mowo Damar|date=17 September 2018|website=CakNun.com|access-date=15 Desember 2019}}</ref> Untuk melangkah menuju terwujudnya kecerdasan kolektif itu, Cak Nun dan Masyarakat Maiyah melakukan '''Sinau Bareng''' (belajar bersama) di mana-mana.
|