Delman: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib) |
|||
Baris 39:
Bendi pernah menjadi transportasi primadona di [[Minangkabau]]. Pada masa Kolonial Belanda, bendi sering digunakan oleh saudagar kaya, para penghulu, ataupun petinggi ''pangrehpraja'', seperti ''controleur'', demang, asisten demang, dan lain sebagainya. Bendi juga sering mangkal di [[Stasiun Simpang Haru]] untuk menunggu para penumpang yang pulang.<ref name="fikrul">[[Fikrul Hanif Sufyan]] (staf pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh dan staf pengajar Bahasa Belanda di [[Universitas Andalas]] Padang). 10 Mei 2013. [http://talogondan.wordpress.com/category/sejarah-transportasi/ Bendi, Nasibmu Dulu dan Kini…].</ref> Dalam sebuah lagu Minang yang mengiringi tari payung, terdapat lirik “''Babendi-bendi ka sungai tanang, singgahlah mamatiak bungo lambayuang''”. Lirik tersebut mengisyarakatkan bahwa bendi dulunya merupakan kendaraan tradisional populer masyarakat Minangkabau.<ref name=riki>Riki Salayo. 7 Juli 2013. [http://sosok.kompasiana.com/2013/07/07/balada-si-kusir-bendi-di-ibukota-sumatera-barat-575069.html "Sosok Kompasiana", Balada Si Kusir Bendi di Ibu kota Sumatra Barat]{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}.</ref>
Keberadaan bendi di [[Kota Padang]] semakin berkurang karena kalah oleh kehadiran bemo pada tahun 1980-an. Kondisi tersebut diperparah krisis moneter yang terajdi pada tahun 1998.<ref name=riki/> Abdullah Rudolf Smit pada ''[[harian Haluan]]'' mengatakan bahwa ia merasa gelisah dengan berkurangnya bendi di Kota Padang, sebab alat transportasi tradisional itu seharusnya bisa menjadi potensi yang bisa tergarap secara maksimal, tetapi belum dilakukan oleh pemerintah kota. Keunikan dan orisinalitas bendi bisa mendongkrak jumlah wisatawan asing untuk datang ke Kota Padang dan beberapa daerah lainnya di [[
Istilah bendi juga digunakan oleh masyarakat [[Sulawesi Utara]].
|