Beduk: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
RaFaDa20631 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Thesillent (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler pranala ke halaman disambiguasi
Baris 3:
 
== Sejarah ==
 
Beduk sebenarnya berasal dari [[India]] dan [[Cina|Tiongkok]].{{citation needed|date = June 2022}} Berdasarkan legenda Cheng Ho dari Cina, ketika [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] datang ke [[Semarang]], mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Kemudian, ketika Cheng Ho hendak pergi, dan hendak memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara beduk dari [[masjid]]. Sejak itulah, beduk kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti di negara [[Cina]], [[Korea]] dan [[Jepang]], yang memposisikan beduk di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Di Indonesia, sebuah beduk biasa dibunyikan untuk pemberitahuan akan datangnya waktu salat atau sembahyang. Saat Orde Baru berkuasa beduk pernah dikeluarkan dari surau dan masjid karena mengandung unsur-unsur non-Islam. Beduk digantikan oleh pengeras suara. Hal itu dilakukan oleh kaum Islam modernis, namun warga [[Nahdlatul Ulama|NU]] melakukan perlawanan sehingga sampai sekarang dapat terlihat masih banyak masjid yang mempertahankan beduk.
Menurut arkeolog [[Universitas Negeri Malang]] Dwi Cahyono, akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di [[Sumatra]], [[Jawa]], [[Bali]], [[Sumbawa]], Roti, Leti, Selayar, dan [[Kepulauan Kei]]. Fungsinya untuk acara keagamaan, maskawin, dan upacara minta hujan.
 
Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di [[Jawa]]. Dalam [[Kidung Malat]], pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan [[Majapahit]].<ref>Tak-tak-tak, Dung, Ini Sejarah Bedug[https://historia.id/kultur/articles/tak-tak-tak-dung-ini-sejarah-bedug-P1m2P]</ref>
 
Beduk sebenarnya berasal dari [[India]] dan [[Cina|Tiongkok]].{{citation needed|date = June 2022}} Berdasarkan legenda Cheng Ho dari Cina, ketika [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] datang ke [[Semarang]], mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Kemudian, ketika Cheng Ho hendak pergi, dan hendak memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara beduk dari [[masjid]]. Sejak itulah, beduk kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti di negara [[Cina]], [[Korea]] dan [[Jepang]], yang memposisikan beduk di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Di Indonesia, sebuah beduk biasa dibunyikan untuk pemberitahuan akan datangnya waktu salat atau sembahyang. Saat Orde Baru berkuasa beduk pernah dikeluarkan dari surau dan masjid karena mengandung unsur-unsur non-Islam. Beduk digantikan oleh pengeras suara. Hal itu dilakukan oleh kaum Islam modernis, namun warga [[Nahdlatul Ulama|NU]] melakukan perlawanan sehingga sampai sekarang dapat terlihat masih banyak masjid yang mempertahankan beduk.
 
== Fungsi ==