Keraton Surakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Igornababan (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: Dikembalikan VisualEditor |
||
Baris 97:
}}
'''
Setelah
== Sejarah ==
Baris 105:
{{utama|Kesunanan Surakarta}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret tijdens een bezoek van de kroonprins de sultan Hamengkoe Negoro en Prins Pakoe Alam van Jogjakarta aan Pakoe Boewono X de Susuhunan van Solo TMnr 60001422.jpg|jmpl|ka|[[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] bersama [[Hamengkubuwana VII|Sultan Hamengkubuwana VII]] dan putra mahkota [[Kesultanan Yogyakarta|Kasultanan Yogyakarta]], serta [[Paku Alam VII|Adipati Paku Alam VII]] (berdiri di belakang) berfoto bersama di Bangsal Maligi,
[[Kesultanan Mataram|Kasunanan Mataram]] yang kacau akibat pemberontakan [[Trunajaya]] pada tahun [[1677]] ibu kotanya oleh Sri [[Sunan Amral|Susuhunan Amangkurat II]] dipindahkan di [[Keraton Kartasura|Karaton Kartasura]]. Pada masa Sri [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] memegang tampuk pemerintahan, pada tahun [[1742]], terjadi [[Perang Jawa (1741–1743)|perang besar]] hingga menyebabkan Mataram mendapat serbuan dari orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang [[Jawa]] anti [[VOC]], dan Mataram yang berpusat di [[Kartasura]] saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan [[Cakraningrat IV|Adipati Cakraningrat IV]], penguasa [[Bangkalan]] yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Sri [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] yang menyingkir ke [[Ponorogo]], kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Mataram yang baru.<ref name="dunia"/>
Bangunan [[Keraton Kartasura|Karaton Kartasura]] yang sudah hancur pun kemudian dianggap sudah "
Setelah istana kerajaan selesai dibangun dan ditempati, nama Desa Sala kemudian diubah menjadi '''Surakarta Hadiningrat'''.<ref name="dunia"/> Kata ''sura'' dalam [[Bahasa Jawa]] berarti "keberanian" dan ''karta'' berarti "makmur"; dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat dimana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa. Dapat pula dikatakan bahwa nama ''Surakarta'' merupakan kebalikan kata dari [[Kartasura]]. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan [[Kesultanan Mataram|Kasunanan Mataram]] oleh Sri [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] kepada [[VOC]] pada tahun [[1749]]. Setelah [[Perjanjian Giyanti]] pada tahun [[1755]],
== Arsitektur ==
Secara umum, pembagian kawasan
=== Kompleks Alun-Alun Lor/Utara ===
Baris 130:
[[Berkas:INTERIOR MASJID AGUNG SOLO.jpg|jmpl|kiri|Bagian dalam ruang utama [[Masjid Agung Surakarta]].]]
Di sebelah barat Alun-Alun Lor/Utara, berdiri [[Masjid Agung Surakarta]]. Masjid raya ini merupakan masjid utama kerajaan dan didirikan oleh Sri [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]] pada tahun [[1750]] ([[Kesunanan Surakarta|Kasunanan Surakarta]] merupakan kerajaan [[Islam]]). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal kecil yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada zaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa balai lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan
=== Kompleks Sasana Sumewa dan Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara ===
Baris 137:
[[Berkas:Sasana Sumewa.jpg|jmpl|ka|Bagian dalam Pagelaran Sasana Sumewa.]]
Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di
Sasana Sumewa sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan pohon Waringin Gung dan Waringin Binatur. Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung ''tridenta'' (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan diplester.
Baris 148:
Siti Hinggil Lor/Utara merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng dan Kori Mangu.<ref name="siti hinggil">{{cite journal|url=https://media.neliti.com/media/publications/142251-ID-perwujudan-simbolisme-sitihinggil-utara.pdf|title=Perwujudan Simbolisme Tata Hijau Sitihinggil Utara Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Analisis pada Aspek Arsitektur secara Makro)|format=[[PDF]]|first=Rully|last=Rully|journal=Skripsi|publisher=Jurusan Teknik Sipil dan Arsitektur, Universitas Tunas Pembangunan Surakarta|year=2013}}</ref> Pada salah satu anak tangga Siti Hinggil sisi utara terdapat sebuah batu yang dahulu digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala para tersangka yang menerima hukuman mati, disebut dengan Sela Pamecat. Di sekitar pagar pembatas antara kompleks Siti Hinggil dengan Sasana Sumewa terdapat delapan meriam, yang antara lain bernama Meriam Kyai Bringsing, Kyai Bagus, Kyai Nangkula (Nakula), dan Kyai Sadewa.<ref name="siti hinggil"/>
Bangunan utama di kompleks Siti Hinggil ini adalah Sasana Sewayana, yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat pula Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat singgasana takhta Sri Sunan saat menerima para pimpinan. Kemudian di sebelah selatan Sasana Sewayana terdapat Bangsal Witana, tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka
=== Kompleks Kamandungan Lor/Utara ===
Baris 159:
Pada sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala Lor terdapat dua Bangsal Brajanala dan di sebelah dalamnya terdapat dua Bangsal Wisamarta, yang berfungsi sebagai tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng yang disebut Jam Panggung.<ref name="kompleks bangunan keraton surakarta"/> Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana, yang terletak di kompleks berikutnya, yaitu Kompleks Sri Manganti.<ref name="sri manganti">{{cite web|title=Keraton Surakarta: Kori Sri Manganti (Wawancara dengan KGPH. Puger)|author=Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|website=Youtube.com|year=2016|accssdate=21 Februari 2021|url=https://www.youtube.com/watch?v=dChRt7INYg0}}</ref>
Bangunan utama dan paling menonjol di kawasan ini adalah [[Kori Kamandungan|Kori Kamandungan Lor]], yang memiliki ''topengan'' (anjungan beranda) berhias motif sulur dan makhluk-makhluk mitologi. Di atas Kori Kamandungan Lor bagian dalam terdapat ukiran gambar bendera merah putih (''gendera gula klapa'') dan bermacam senjata perang, di mana di tengah terdapat gambar daun kapas, dan di atasnya terdapat gambar mahkota; gambar tersebut secara keseluruhan disebut ''Sri Makutha Raja'', yang merupakan simbol dari [[Kesultanan Mataram|
=== Kompleks Sri Manganti Lor/Utara ===
Baris 178:
<gallery>
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Personeel en onderdanen wachten bij de staatsiekoets op de binnenplaats van de kraton op de komst van de Susuhunan van Solo TMnr 60043640.jpg|Eksterior Kori Kamandungan Lor, sekitar tahun [[1880]]-[[1890]].
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De tweede poort van de kraton van de Susuhunan van Solo met daarachter de toren Panggung Songgo Buwono Soerakarta TMnr 60001432.jpg|Eksterior Kori Kamandungan Lor, sekitar tahun [[1900]]-[[1930]].
Berkas:Pendopo (ontvangstzaal) in de kraton, vermoedelijk te Soerakarta, KITLV 115026.tiff|Krobongan Madirengga di dalam Bangsal Marcukundha, tahun [[1915]].
Berkas:Keurtroepen van Pakoe Boewono X, soesoehoenan van Soerakarta, KITLV 6251.tiff|Prajurit
Berkas:KITLV A328 - De ingang van de kraton van Soerakarta, KITLV 76556.tiff|Interior Kori Sri Manganti Lor, dilihat dari arah utara, tahun [[1915]].
</gallery>
Baris 194 ⟶ 192:
Kori Sri Manganti Lor menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton (Kadhaton) dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Sri [[Pakubuwana IV|Susuhunan Pakubuwana IV]] pada tahun [[1792]] ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Panggung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Limasan ''Semar Tinandu'' ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri gerbang ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias di atas pintu. Di sebelah selatan Kori Sri Manganti merupakan kompleks Kedhaton (Kadhaton), dengan halaman yang dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka, antara lain 76 batang pohon [[Sawo kecik|Sawo Kecik]] (''Manilkara kauki''; Famili ''Sapotaceae''). Sebagian kawasan halaman atau pelataran Kedhaton ini terbuka untuk wisatawan umum. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama, di antaranya adalah Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Pendhapa Ageng Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendhapa
[[Berkas:Sasana handrawina.jpg|jmpl|ka|Bagian dalam bangunan Sasana Handrawina.]]
[[Berkas:Kraton of Surakarta 07.jpg|jmpl|ka|Kawasan [[Museum Keraton Solo|Museum
Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Selain itu, kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun ''gala dinner''. Pada sisi tenggara Sasana Handrawina terdapat bangunan Sasana Pustaka yang menjadi tempat penyimpanan arsip dan naskah
Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana atau Reksa Tengara.<ref>{{cite web|title=Keraton Surakarta: Sangga Buwana (Wawancara dengan KGPH. Puger)|author=Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|website=Youtube.com|year=2016|accssdate=21 Februari 2021|url=https://www.youtube.com/watch?v=gPUrKfe8yOA}}</ref> Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Sri Sunan, sekaligus untuk mengawasi [[Benteng Vastenburg]] milik [[Belanda]] yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Panggung Sangga Buwana didirikan tahun [[1777]] saat pemerintahan Sri [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]]. Pembangun Panggung Sangga Buwana adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang kayu (kalang) pada saat itu. Di atas atap menara terdapat penunjuk arah angin berbentuk seseorang menaiki seekor naga yang sekaligus sebagai [[sengkala]] ''Naga Muluk Tinitihan Janma''. Arti sengkala tersebut adalah tahun [[1708]] Jawa, tahun pembangunan menara.
Bagian timur kompleks Kedhaton merupakan sebuah bangunan yang memanjang utara-selatan dengan halaman luas di tengah-tengahnya. Di masa pemerintahan Sri [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] pada tahun [[1963]], bangunan tersebut difungsikan sebagai [[Museum Keraton Solo|Museum
[[Berkas:Taman Sari.jpg|jmpl|ka|Kawasan Taman Sari Bandengan dengan kolam dan sebuah bangunan di tengahnya; tampak salah satu bagian dari bangunan
Di sebelah barat kawasan Kedhaton terdapat beberapa kompleks bangunan antara lain Sasana Putra, Sasana Narendra (kediaman resmi Sri [[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]]), Sasana Hadi, Gedhong Langen Katong, Keputren,
Di belakang tempat tinggal keluarga Sri Sunan, terdapat Taman Sari Bandengan.<ref name="kompleks bangunan keraton surakarta"/> Pada kawasan tersebut, terdapat kolam buatan dan di tengah-tengahnya berdiri sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat meditasi. Di pinggiran kolam, terdapat sebuah tempat yang berisi batu meteor keramat serta tangga dari batu untuk menuju ke bangunan tempat meditasi. Di dekat taman air dan bangunan tempat keluarga Sri Sunan terdapat Masjid Pujasana (Pudyasana),<ref name="kompleks bangunan keraton surakarta"/> dan tidak jauh darinya juga terdapat sebuah bukit buatan yang dipenuhi rerumputan, yang diatasnya berdiri bangunan paviliun kecil dengan terasnya. Tempat ini disebut Argapura dan dipakai sebagai tempat istirahat Sri Sunan.<ref name="kompleks bangunan keraton surakarta"/>
Baris 214 ⟶ 212:
<gallery>
Berkas:Paviljoens in hof bij uitkijktoren, Kraton - 20651308 - RCE.jpg|Pelataran Kedhaton dengan deretan pohon sawo kecik, dilihat dari arah timur, tahun [[1988]].
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Ontvangstzaal van de kraton Soerakarta TMnr 10013661.jpg|Interior bangunan Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, sekitar tahun [[1900]]-[[1920]].
Berkas:Interieur van het paleis van de soesoehoenan te Soerakarta, KITLV 6243.tiff|Ruangan utama Dalem Ageng Prabasuyasa, sekitar tahun [[1900]]-[[1910]].
Berkas:KITLV A328 - Een deel van de voorgalerij van de kraton van Soerakarta, KITLV 35513.tiff|Eksterior bangunan Sasana Handrawina, dilihat dari pelataran timur, tahun [[1915]].
Berkas:Interieur paleisvleugel, Kraton - 20651304 - RCE.jpg|Beranda Sasana Pustaka, gedung perpustakaan
</gallery>
Baris 228 ⟶ 224:
[[Berkas:Kori brojonolo kidul.jpg|jmpl|kiri|Kori Brajanala Kidul.]]
Dari Kompleks Kedhaton ke arah selatan, terdapat Kori Sri Manganti Kidul yang merupakan akses utama untuk menuju Kompleks Magangan atau Kamagangan. Di tempat ini terdapat sebuah pendhapa di tengah-tengah halaman yang disebut Bangsal Magangan, yang digunakan sebagai tempat pelatihan para para calon pegawai kerajaan dan prajurit
Kompleks terakhir, Siti Hinggil Kidul/Selatan, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks tersebut digunakan untuk memelihara pusaka
Di sebelah selatan Siti Hinggil Kidul dapat dijumpai Alun-Alun Kidul/Selatan. Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan di sekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga masyarakat umum yang mencari nafkah di area tersebut. Sementara sebagian sisi selatannya juga digunakan sebagai tempat penangkaran kerbau albino keturunan Maesa Kyai Slamet, di sisi utara Alun-Alun Kidul ini terdapat dua buah bangunan yang berfungsi sebagai tempat disemayamkannya dua gerbong kereta; masing-masing adalah gerbong kereta pesiar serta gerbong kereta yang digunakan untuk membawa jenazah Sri [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] menuju ke pemakaman [[Pemakaman Imogiri|Astana Imogiri]] pada tahun [[1939]].
Baris 252 ⟶ 248:
[[Berkas:Honorable Royal Guests A.JPG|jmpl|ka|250px|Para tamu agung pada perhelatan Pisowanan Ageng Tingalandalem Jumenengan [[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]] yang ke-4 pada tahun [[2008]].]]
Selain memiliki kemegahan bangunan
=== Grebeg ===
[[Berkas:Grebeg-Mulud-2015.JPG|jmpl|ka|250px|Suasana Grebeg Mulud di
Upacara Garebeg atau Grebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun penanggalan Jawa, yaitu pada peringatan hari kelahiran [[Muhammad|Kangjeng Nabi Muhammad]], pada hari raya [[Idul Fitri]], dan pada hari raya [[Idul Adha]]. Pada hari-hari tersebut, Sri Sunan mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada [[Allah]] atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa ''pareden'' atau ''gunungan'' (kumpulan sayur dan berbagai makanan yang disusun membentuk seperti sebuah gunung) yang terdiri dari ''gunungan kakung'' dan ''gunungan estri'' (lelaki dan perempuan).
''Gunungan kakung'' berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi lambang Sri Radya Laksana (lambang [[Kesunanan Surakarta|Kasunanan Surakarta]]) serta rangkaian [[bendera Indonesia]] dalam ukuran kecil. ''Gunungan estri'' berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi lambang Sri Radya Laksana dan bendera Indonesia di bagian atasnya.
=== Sekaten ===
[[Sekaten]] merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari untuk memperingati kelahahiran [[Muhammad|Kangjeng Nabi Muhammad]]. Konon asal usul upacara ini sudah ada sejak [[Kesultanan Demak|Kasultanan Demak]]. Menurut cerita rakyat, kata ''sekaten'' berasal dari istilah ''credo'' dalam agama [[Islam]], yaitu ''Syahadatain''. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, yaitu Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari
=== Kirab Mubeng Beteng atau Malam Satu Sura ===
Baris 270 ⟶ 266:
[[Berkas:Kirab satu suro 2013.JPG|jmpl|ka|250px|Para peserta Kirab Mubeng Beteng memperingati pergantian [[Kalender Jawa|Tahun Baru Jawa]] ([[Kalender Hijriyah|Tahun Baru Hijriyah]]) yang dikenal sebagai [[Satu Suro|Malam Satu Sura]] pada tahun [[2013]].]]
Malam [[Satu Suro|1 Sura]] ([[Muharram|1 Muharram]]) dalam masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]] adalah suatu perayaan tahun baru menurut [[kalender Jawa]]. Malam 1 Sura jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir [[kalender Jawa]] (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya. Di
=== Pusaka (''heirloom'') dan Tari-Tarian Sakral ===
== Pemangku Adat Jawa Surakarta ==
[[Berkas:President Sukarno, Paku Buwono XII, and Prince Mangkunegoro having dinner TimeLife image 651020.jpg|ka|250px|jmpl|[[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] menerima kunjungan [[Soekarno|Presiden Sukarno]] dan para pejabat pemerintah [[Republik Indonesia]] di Sasana Handrawina, Kompleks
Semula
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun
Sebagai kawasan pusat pelestarian dan pengembangan [[budaya Jawa]],
== Filosofi dan Mitologi seputar
[[Berkas:Sacred Dance Bedhoyo Ketawang A.JPG|jmpl|kiri|200px|Tarian sakral [[Bedaya Ketawang|Bedhaya Ketawang]] yang hanya ditampilkan sekali dalam satu tahun.]]
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam [[keraton|Karaton]] memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun, sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.
Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kamadungan Lor mengadung makna introspeksi diri. Nama ''Kamandungan'' sendiri berasal dari kata ''mandung'' yang memiliki arti berhenti. Nama ''Marcukundha'' berasal dari kata ''marcu'' yang berarti api dan ''kundha'' yang berarti wadah atau tempat, sehingga kata ''Marcukundha'' berarti melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol ''lingga'' dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol ''yoni''. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]] dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara ''garebeg'' dikenal dengan adanya sedekah Sri Sunan yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung. Selain itu
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta Hadiningrat. Ketika istana selesai dibangun, muncul sebuah ramalan bahwa [[Kesunanan Surakarta|Kasunanan Surakarta]] hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan Sri Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (''kari sak megare payung''). Legenda ini pun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi.{{Butuh rujukan}} Apabila dihitung dari pembangunan dan penempatan istana secara resmi pada [[1745]], maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun [[1945]] negara [[Indonesia]] berdiri, dan selanjutnya kekuasaan
== Lihat Pula ==
* [[Kesunanan Surakarta|Kasunanan Surakarta]]
* [[Keraton Yogyakarta|Karaton Yogyakarta]]
* [[Pura Mangkunegaran]]
* [[Pura Paku Alaman|Pura Pakualaman]]
|