Era Reformasi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Membalikkan revisi 24142184 oleh 114.122.36.250 (bicara)
Tag: Pembatalan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 49:
Dalam pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur berkomentar tentang kemungkinan Indonesia menjadi anarki dan menyatakan bahwa ia terpaksa membubarkan DPR jika hal itu terjadi.<ref>Barton (2002), page 348</ref> Meskipun isi pertemuan ini tidak untuk konsumsi publik, tetapi cukup banyak kehebohan yang timbul. Pada 1 Februari, DPR mengajukan memorandum terhadap Gus Dur dalam Sidang Istimewa MPR, yang melegalkan pemakzulan dan pencopotan presiden. Dari hasil pemungutan suara, sangat banyak anggota DPR yang mendukung memorandum, sementara anggota PKB hanya bisa keluar dari ruang rapat sebagai bentuk protes. Memorandum tersebut menimbulkan protes luas di kalangan anggota [[Nahdlatul Ulama]] (NU). Di Jawa Timur, anggota NU menyerang kantor Golkar. Di Jakarta, pihak oposisi mulai menuduh bahwa Gus Dur telah mendorong demonstrasi. Gus Dur menyangkalnya dan bertemu dengan para pengunjuk rasa di kota [[Kota Pasuruan|Pasuruan]] dan mendorong mereka untuk berhenti berdemonstrasi.<ref>Barton (2002), pages 351-352</ref> Meski demikian, pengunjuk rasa NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap membela dan mati untuk presiden.
 
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba untuk melawan oposisi yang dimulai dari anggota kabinetnya sendiri. Menteri Kehakiman [[Yusril Ihza Mahendra]] dicopot karena secara publik menuntut pengunduran diri presiden, sementara Menteri Kehutanan [[Nur Mahmudi Ismail]] juga dicopot karena dicurigai menyalurkan dana departemennya kepada oposisi Gus Dur. Menyikapi hal itu, Megawati mulai menjauhkan diri dan tidak hadir dalam pelantikan menteri pengganti. Pada 30 April, DPR mengeluarkan memorandum kedua dan esok harinya menyerukan Sidang Istimewa MPR digelar pada 1 Agustus 1998.
 
Pada bulan Juli, Gus Dur memerintahkan [[Susilo Bambang Yudhoyono]] (SBY), Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk mengumumkan [[keadaan darurat]]. SBY menolak dan Gus Dur mencopotnya dari jabatannya. Pada 20 Juli, Amien Rais mengumumkan Sidang Istimewa MPR akan dimajukan menjadi 23 Juli. TNI, yang memiliki hubungan buruk dengan Gus Dur selama masa jabatannya sebagai presiden, menempatkan 40.000 pasukan di Jakarta dan menempatkan tank yang mengarah ke Istana Presiden untuk [[Pertunjukan kekuatan|unjuk kekuatan]].<ref>Barton (2002), page 363</ref> Untuk mencegah Sidang Istimewa MPR berlangsung, Gus Dur kemudian mengeluarkan [[Maklumat Presiden Republik Indonesia 23 Juli 2001|maklumat]] pembubaran MPR pada tanggal 23 Juli meski tidak memiliki kewenangan untuk itu. Bertentangan dengan keputusan Gus Dur, MPR melanjutkan Sidang Istimewa dan kemudian dengan suara bulat memilih untuk memakzulkan Gus Dur dan menangkat Megawati sebagai presiden. Gus Dur terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tinggal selama beberapa hari di Istana Kepresidenan tetapi kemudian meninggalkan istana pada 25 Juli untuk segera terbang ke [[Amerika Serikat]] untuk merawat kesehatannya.