=== Stagnansi dan mengejar ketertinggalan (1990–2000) ===
Ketertinggalan Pelindo 2 dalam kancah usaha logistik dengan bidang kepelabuhanan, membuat Pemerintah pada tahun 1992 mengeluarkan keputusan untuk mengubah status usaha Perum Pelindo I-VIII menjadi Perseroan[[perseroan Terbatasterbatas|perusahaan perseroan]] ([[badan usaha milik negara|Persero]]) Pelindo I-IV agar BUMN pengelola dan pengembang pelabuhan ini bisa bersaing, tanpa mendapatkan kekhususan dan mampu mengikuti arus dan dinamika persaingan global. Dimulainya revitalisasi sejak diubahnya status usaha oleh Pemerintah, Pelindo 2 mengambil langkah stategis dengan membangun Terminal Peti Kemas Koja pada tahun 1995 dan membuka lelang terbuka untuk mengoperasikan Terminal Peti Kemas 1 dan 2. Jatuhnya pertumbuhan ekonomi indonesia, hingga mencapai angka negatif akibat [[Krisis finansial Asia 1997]], membuat Terminal Peti Kemas Koja yang selesai pada tahun 1997, mengharuskan Pelindo 2 sebagai BUMN untuk mencari rekanan baru sekaligus melepas kepemilikan aset pelabuhan Tanjung Priok sebagai langkah untuk mengisi kekurangan kas perusahaan yang hampir default, karena hampir semua transaksi dilakukan dengan menggunakan Dolar Amerika. Hal ini bertepatan dengan kesepakatan paket normalisasi kegiatan ekonomi dari [[International Monetary Fund]] yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia (saat itu) [[Soeharto]] bersama Direktur IMF saat itu, Michael Camdesus sebesar US$ 40 Miliar yang mendorong BUMN untuk mengurangi besaran kepemilikan dan bekerjasama dengan investor asing sebagai langkah untuk berkompetisi secara terbuka dan adaptabel. Menindaklanjuti kesepakatan itu, Pelindo 2 langsung menyusun program pelelangan terbuka Pelindo 2 terhadap kedua Terminal Peti Kemas 1 dan 2 dengan skema KSO (Kerja Sama Operasional) yang bertujuan untuk, pertama meningkatkan keuntungan perusahaan, kedua mendorong kelayakan ekonomi perusahaan untuk mengembangkan Terminal Peti Kemas baru dan ketiga menggali pengalaman dengan memanfaatkan jaringan global rekanan kerjasama untuk membuat kegiatan kepelabuhanan di Tanjung priok secara ekonomi menjadi menguntungkan. Pelelangan yang dilakukan pada tahun 1997 ini menjadikan Hutchison Ports (Perusahaan asal Hong Kong yang dibentuk di [[Kepulauan Virgin Britania Raya]] yang mengoperasikan pelabuhan di 52 Negara dengan 26 Terminal Peti Kemas) keluar sebagai rekanan yang sesuai dengan kriteria dan syarat yang ditentukan oleh Pelindo 2, kesepakatan diraih oleh kedua pihak pada tahun 1999 dengan kepemilikan sebesar 51% milik Hutchison Ports, 48,9% milik Pelindo 2 dan sisanya milik Koperasi pegawai Maritim dengan jangka waktu selama 20 tahun dengan nilai kontrak investasi sebesar US$ 423 Juta dengan ''upfront payment'' sebesar US$ 243 Juta (sebelum pengembalian aset JICT 2) dengan skema pengembangan dan pengelolaan pelabuhan bahwa, Pelindo 2 harus membeli aset yang dikerjasamakan dengan harga pasar yang sesuai dan kesepakatan ini baru saja diamendemen dengan perubahan kepemilikan sebesar 51% dimiliki oleh Pelindo 2 dan sisanya dimiliki oleh HPH dan besaran kontrak yang telah diperbarui dengan nilai sebesar 486,5 Juta dengan upfront payment sebesar US$ 215 Juta (setelah pengembalian aset JICT 2) dengan skema pengembangan dan pengelolaan pelabuhan ''Built-Operate-Transfer'' yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang kesepakatan sebeumnya, meski nilai pembayaran dimuka lebih sedikit, karena dialokasikan ke dalam belanja infrastruktur dan fasilitas baru yang nantinya akan dipindahtangankan kepemilikannya kepada Pelindo kembali.<ref>http://www.indonesiaport.co.id/download/WHITE%20BOOK%20IPC.pdf</ref>
=== Menghadapi perubahan, berubah dan berkembang (2000–2010) ===