Pengungsi iklim: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 5:
Kasus pencari suaka akibat fenomena krisis iklim dapat diperparah karena ketidaksiapan aturan hukum internasional untuk menangani masalah ini. Beberapa perjanjian internasional, misalnya mengenai definisi "pengungsi" dan "negara", belum mencakup aspek ancaman krisis iklim yang dapat menghilangkan teritorial negara tertentu.
=== Longsor Pulau Serasan dan Pengungsi Internal ===
Bencana longsor di Pulau Serasan, Kabupaten Natuna, merupakan bencana terburuk sepanjang sejarah Provinsi Kepulauan Riau. Bencana ini terjadi pada tanggal 6 Maret 2023. Bencana ini diakibatkan oleh hujan lebat sangat tinggi selama 12 hari berturut-turut, hingga menyebabkan tanah di lereng bukit tak kuat dan terjadi tanah longsor.<ref name="mong">Yogi Eka Sahputra (2023) [https://www.mongabay.co.id/2023/04/08/belajar-dari-bencana-di-pulau-serasan-natuna-waspadai-longsor-susulan/ Belajar dari Bencana di Pulau Serasan Natuna, Waspadai Longsor Susulan] Mongabay</ref> Kalangan akademisi telah mendesak pemerintah untuk tak hanya mengkategorikan bencana ini sebagai bencana alam, melainkan mengkategorikannya sebagai bencana iklim. Parid Ridwanuddin, manajer kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi berpendapat bahwa bencana iklim di Serasan Natuna merupakan tanda untuk meningkatkan kewaspadaan pada pulau-pulau kecil dan pesisir Indonesia. Meskipun pulau-pulau kecil seperti itu sangat rentan terdampak bencana iklim dibandingkan pulau besar, tetapi pemerintah sampai saat ini tidak memiliki peta jalan perlindungan pulau-pulau besar dari bencana iklim.
Baris 11:
Sebagai dampak dari bencana ini, ratusan pengungsi memilih untuk pindah ke Pulau Natuna Besar dan Pulau Bintan menggunakan kapal motor pada Dermaga Pos Lintas Batas Negara, Pulau Serasan, Natuna, Kepulauan Riau. <ref name="kompas">Yoesep Budianto (2023) [https://www.kompas.id/baca/riset/2023/03/17/meningkatnya-pengungsi-seiring-memburuknya-iklim-global Meningkatnya Pengungsi Seiring Memburuknya Iklim Global] Kompas</ref>
Penduduk yang mengungsi dan berpindah tempat tinggal karena bencana alam atau krisis lainnya di dalam negeri didefinisikan sebagai pengungsi internal (internally displaced people). Indonesia termasuk negara dengan jumlah pengungsi internal sangat besar. Berdasarkan data lembaga Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC), Indonesia masuk dalam sepuluh negara dengan jumlah pengungsi internal terbanyak di dunia sepanjang satu dekade terakhir.<ref name="kompas"></ref>
Laporan organisasi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2022 tentang "Impacts, Adaption and Vulnerability" menunjukkan ada lebih dari 20 juta jiwa yang menjadi pengungsi internal sejak tahun 2008. IPCC memperkirakan sekitar 709 juta jiwa hidup di wilayah yang mengalami kenaikan curah hujan secara drastis, sedangkan 86 juta jiwa lainnya berada di wilayah yang mengering sejak tahun 1950. <ref name="kompas"></ref>
Kajian pengungsi internal karena krisis iklim oleh Bank Dunia pada tahun 2021 memperkirakan bahwa setidaknya 216 juta penduduk dunia akan tergusur dari tempat tinggalnya pada tahun 2050.<ref name="kompas"></ref> Tiga wilayah paling berisiko terhadap fenomena ini adalah Sub-Sahara Afrika, Asia Timur dan Pasifik, serta Asia Selatan. Dari berbagai lokasi di permukaan bumi, Sub-Sahara Afrika menjadi wilayah paling berisiko terdampak krisis iklim. Selain Afrika, gelombang pengungsi internal diperkirakan juga akan melanda Asia Timur dan Pasifik -- yang di dalamnya terdapat Indonesia, akibat kerusakan ekologi masif di area-area pesisir.
=== Kasus Teitiota dan Selandia Baru ===
|