Tionghoa Padang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib)
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 11:
'''Tionghoa Padang''' atau '''Cina Padang''' adalah masyarakat keturunan [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]] yang tinggal di [[Kota Padang]], [[Sumatera Barat]], [[Indonesia]]. Tionghoa Padang merupakan salah satu dari berbagai etnis yang menghuni Padang selain [[orang Minangkabau]], [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Batak|Batak]], [[Suku Nias|Nias]], [[Suku Melayu|Melayu]], [[Suku Sunda|Sunda]], dan [[Suku Mentawai|Mentawai]].{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}} Mereka setidaknya telah tinggal selama delapan generasi.{{sfn|Rahmat Irfan Denas|11 Februari 2021}} Kebanyakan mereka bekerja sebagai pedagang. Permukiman orang Tionghoa Padang terkonsentrasi di daerah [[Belakang Pondok, Padang Selatan, Padang|Pondok]] dan sekitarnya di [[Padang Selatan, Padang|Kecamatan Padang Selatan]] yang dikenal sebagai ''Kampuang Cino'' (bahasa Indonesia: Kampung Cina).{{sfnp|Mardanas Safwan|1987|pp=15}}{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=135}}
 
Tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba ke Padang. Diperkirakan orang Tionghoa mulai datang sejak perusahaan dagang Belanda [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad ke-17.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Padang+has+an+old+Chinese+community+and+Chinese+were+among%22&dq=%22Padang+has+an+old+Chinese+community+and+Chinese+were+among%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjr0oK498_oAhXNdCsKHckTAzQQ6AEIKDAA 55a]|ps=: "''Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post.''"}}{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT153&dq=%22Batavian+Chinese,+possibly+moving+*%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiR5-uF3LroAhVBWysKHSb1AewQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22Batavian%20Chinese%2C%20possibly%20moving%20*%22&f=false 135a]|ps=: "''Almost immediately after the establishment of the Dutch factory at Padang some Chinese must have settled there as agents for Batavian Chinese, possibly moving south from Pariaman. In 1673 there are reports of a Chinese 'Nakoda Banten' living at Padang in his own house, and other Chinese were also settled there performing services for company officials as they did at Batavia.''"}} Pada 2000, populasi orang Tionghoa Padang pernah menjadi nomor tiga terbesar sesudah Minang dan Jawa dengan persentase 1,90% dari populasi kota. Namun, sesudah [[Gempa bumi SumatraSumatera Barat 2009|gempa bumi pada 2009]], banyak dari mereka yang meninggalkan Padang dan pindah ke luar wilayah SumatraSumatera Barat.{{sfnp|Rahmi Surya Dewi|2018|pp=28}} Menurut data [[Badan Pusat Statistik]] (BPS) pada 2010, persentase orang Tionghoa Padang tinggal 1,1% dari populasi kota atau sebanyak 9.498 jiwa, nomor empat sesudah Minang, Jawa, dan Batak.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}} Pada 2016, populasi Tionghoa Padang berjumlah sekitar 12.000 orang.{{sfn|Rusli & Rois|2020}}
 
Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan [[budaya Minangkabau]]. Bahkan, generasi orang Tionghoa Padang kini banyak yang tidak bisa bercakap dalam rumpun bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau. Bahasa yang mereka pertuturkan dikenal sebagai bahasa Minang Pondok.{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=138-139}} Meskipun demikian, mereka tidak meninggalkan adat dan tradisi mereka. Lewat perkumpulan sosial, budaya, dan kematian [[Himpunan Tjinta Teman]] (HTT) dan [[Himpunan Bersatu Teguh]] (HBT) yang sudah berdiri sejak abad ke-19, eksistensi adat dan tradisi orang Tionghoa tetap terjaga di tengah masyarakat Kota Padang hingga kini.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=190|ps=: "''Kedua perkumpulan ini berperan besar dalam menjaga budaya dan adat istiadat leluhur meskipun untuk saat ini genrasi muda kehilangan maknanya. Namun keberadaan kedua perkumpulan ini juga seakan-akan membagi etnis Cina Padang atas dua kelompok.''"}}{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=56}}{{sfnp|Kompas.com|5 Februari 2008}}
Baris 35:
=== Mendirikan permukiman, kelenteng, dan pasar ===
[[Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_chinese_tempel_te_Padang._TMnr_60003313.jpg|jmpl|270x270px|Kelenteng See Hien Kiong sekitar 1870.]]
Seiring kemahsyuran Padang sebagai pusat perdagangan VOC untuk Pulau Sumatra, perusahaan-perusahaan Balanda tumbuh bak cendawan. Hal ini membuat bangsa asing semakin banyak berdatangan, termasuk orang Tionghoa. Dalam ''[[Encyclopaedia Britannica]]'' edisi ke-9, Padang pada pertengahan abad ke-19 digambarkan sebagai kota yang memiliki 2.000 rumah dengan penduduk sebanyak 15.000, sudah termasuk di dalamnya permukiman orang Tionghoa.{{sfnp|Thomas Spencer Baynes|1887|loc=Volume 22|pp=[https://books.google.co.id/books?id=mscsAQAAMAAJ&q=%22Padang+is+a+town+of+some+2000+houses%22&dq=%22Padang+is+a+town+of+some+2000+houses%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwig-bWP0LroAhXlQ3wKHSVoBkkQ6AEIPTAD 639]|ps=: "''Padang is a town of some 2,000 houses and 15,000 inhabitants, with a Chinese settlement and a European quarter. It is the chief market in Sumatra for gold.''"}} Peneliti sejarah orang Tionghoa di SumatraSumatera Barat, [[Erniwati (dosen)|Erniwati]] menulis orang Tionghoa di Padang semula tinggal mengelompok di salah satu sisi tepi [[Batang Arau]] arah ke muara yang kini bernama Pondok. Dinamakan "Pondok" karena banyak orang Tionghoa di sana mendirikan rumah dan tempat berdagang yang berbentuk [[pondok]].
 
Pada 1852, orang Tionghoa di Padang sudah berjumlah 1.140 orang.{{sfnp|Elizabeth E. Graves|2007|pp=92-93}}{{sfnp|Erniwati|2007|pp=38}} Jumlah ini meningkat menjadi 1.564 pada 1858.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=72}} Mulai banyaknya pendatang Tionghoa yang tinggal di Padang mengakibatkan kebutuhan akan adanya kelenteng. Pada awalnya, orang Tionghoa di Padang tidak punya kelenteng sama sekali. Sekelompok pendatang berinisiatif untuk mendirikan kelenteng pada pertengahan abad ke-19. Kelenteng ini dinamakan Kelenteng Kwan Im (Kwan Im Teng). Saat pertama kali berdiri, Kwan Im Teng hanya berupa bangunan kayu beratap rumbia. Namun, pada 1861, lantaran kelalaian pendeta Sae Kong, Kwan Im Teng terbakar hingga menjadi abu. Semasa Kapitan Cina dijabat oleh [[Lie Goan Hoat]] pada 1893, didampingi oleh Letnan Liem Soen Mo dan Letnan Lie Bian Ek, orang Tionghoa Padang bermufakat untuk membangun kembali Kelenteng Kwan Im. Kelenteng yang baru berdiri dinamakan Kelenteng See Hien Kiong. Pembangunannya selasai pada 1893.{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat|8 Juni 2017}}
 
Orang Tionghoa di Padang tidak hanya menjadikan kelenteng sebagai tempat sembahyang atau ibadah, melainkan juga sebagai tempat tinggal semantara bagi pendatang Tionghoa yang tidak punya keluarga. Dari sini, mereka bisa berkenalan dengan orang Tionghoa lainnya sehingga menjadi penghubung bagi mereka untuk merintis usaha. Di sekitar kelenteng, mereka mendirikan kos-kios dari buluh bambu sebagai tempat berjualan. Sesudah kelenteng mengalmi kebakaran pada 1861, kios-kios ini disewakan, dan hasil keuntungannya digunakan untuk membayar cicilan pinjaman pembangunan kelenteng. Lama-kelamaan, kios-kios di sekitar kelenteng berkembang menjadi pasar yang kini dikenal sebagai Pasar Tanah Kongsi.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=55a|ps=: "''Untuk membayar cicilan pinjaman pembangunan klenteng setelah mengalami kebakaran di 1861, kios-kios bambu tersebut disewakan kepada para pedagang. Lama kelamaan kios-kios bambu berkembang menjadi pasar yang dikenal dengan nama pasar Tanah Kongsi.''"}} Pasar ini menjadi ramai sehingga dalam waktu relatif singkat mampu menyaingi Pasar Mudik yang sebelumnya telah berdiri dan letaknya berdekatan.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=93a|ps=: "''Walaupun letak Pasar Tanah Kongsi berdampingan dengan Pasar Mudik yang sebelumnya sudah didirikan oleh pedagang Minangkabau, namun dalam waktu yang relatif singkat, Pasar Tanah Kongsi berkembang dengan cepat dan mampu menyaingi Pasar Mudik.''"}}
Baris 64:
Seiring dengan [[Pengakuan kedaulatan Indonesia|pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda]] pada 1949, kondisi politik dan keamanan Kota Padang berangsur pulih. Pemerintah mulai menata kembali kehidupan masyarakat dari berbagai aspek, termasuk persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia yang belum tuntas. [[Soekarno|Presiden Soekarno]] mengumumkan tentang keharusan orang Tionghoa di Indonesia untuk memilih status kewarganegaraan mereka. Mereka diberi tiga pilihan. Pertama menjadi warga negara Belanda, kedua menjadi warga negara Indonesia, atau ketiga menjadi warga negara [[Republik Rakyat Tiongkok]]. Di Padang, adanya pilihan status kewarganegaraan ini membuat sebuah keluarga bisa memiliki status kewarganegaraan yang berbeda sehingga menyebabkan mereka terpisah. Menurut Erniwati, perbedaan pilihan status kewarganegaraan terjadi akibat berbedanya orientasi dan kepentingan di antara orang Tionghoa Padang.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=89|ps=: "''Dengan adanya tiga pilihan status kewarganegaraan tersebut, beberapa keluarga memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Perbedaan pilihan status kewarganegaraan ini terjadi sebagai akibat perbedaan orientasi dan kepentingan. Konsekuensi dari pilihan yang berbeda menyebabkan banyak keluarga-keluarga dari etnis Cina di Indonesia termasuk yang tinggal di Padang terpisah-pisah.''"}}
 
Selain mengatur persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa, pemerintah Indonesia menghentikan masuknya imigran dari Tionghoa. Walaupun demikian, masih ada peningkatan jumlah orang Tionghoa di Padang. Peningkatan ini diperkirakan merupakan akibat kedatangan imigran dari [[Medan]] dan [[Pekanbaru]] serta perpindahan orang Tionghoa dari beberapa daerah di SumatraSumatera Barat untuk mencari perlindungan ketika meletusnya pergolakan [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia]] pada 1958 dan [[Gerakan 30 September]] pada 1965.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Patches+of+Padang%22+%221945+and+1965%22&dq=%22Patches+of+Padang%22+%221945+and+1965%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi7xcS1ktDoAhVaXSsKHQZ5Bn4Q6AEIKDAA 134]|ps=: "''After 1949 the immigration of Chinese to Indonesia was virtually called to a halt by the Indonesian government, but there was still an increase in absolute numbers in Padang. Chinese who lived dispersed over the area fled to Padang after 1945 and 1965 for protection and the army started to move Chinese from the countryside to cities in 1959.''"}}
 
==== Sejak 1966 sampai sekarang ====
Baris 71:
Ketika terjadinya [[kerusuhan Mei 1998]], saat orang Tionghoa di banyak tempat di Indonesia mendapat perlakukan tidak baik, tidak pernah ada laporan adanya tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan Orang Tionghoa sebagai sasaran di Padang.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=7a|ps=: "''Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang.''"}} Pada 2000, [[Abdurrahman Wahid|Presiden Abdurrahman Wahid]] mengeluarkan [[wikisource:id:Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000|Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000]] untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Sejak itu, orang Tionghoa Padang dapat bebas kembali melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=3-4|ps=: "''Perubahan terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No. 6/2000 untuk mencabut Inpres no.14/1967 dan membebaskan etnis Cina untuk merayakan hari besar dan adat istiadat serta tradisi mereka.''"}}
 
Sesudah terjadinya gempa bumi yang mengguncang SumatraSumatera Barat pada 30 September 2009, banyak orang Tionghoa Padang yang mengungsi ke luar kota. Hal tersebut berakibat pada menurunnya populasi orang Tionghoa Padang. Hingga beberapa bulan pasca-gempa, orang-orang Tionghoa yang eksodus belum seluruhnya kembali ke Padang. Mengingat Padang merupakan daerah rawan tsunami, orang Tionghoa banyak yang memutuskan pindah ke luar kota, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jambi.{{sfnp|Rahmi Surya Dewi|2018|pp=28}}{{sfnp|Kompas.id|8 Juni 2019}} Ketika dilakukan Sensus Penduduk pada 2010, persentase orang Tionghoa Padang hanya tinggal 1,1% dari populasi kota atau berjumlah 9.498 jiwa.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}}
 
Dampak paling terasa dari gempa bumi 2009 adalah runtuhnya Kelenteng Se Hien Kiong. Akibatnya, aktivitas ritual orang Tionghoa Padang sempat terhambat. Selama beberapa waktu, orang Tionghoa Padang menyelenggarakan ibadahnya di bangunan sederhana yang bersifat sementara di depan bangunan kelenteng.{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat|8 Juni 2017}}{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat|2018|pp=13}} Pada Desember 2010, masyarakat Tionghoa Padang sepakat untuk mendirikan kelenteng baru. Rancangan bangunannya tidak jauh berbeda dengan kelenteng lama, tapi dengan lokasi baru. Kelenteng baru diresmikan pada Maret 2013. Pembangunannya menelan biaya sekitar Rp5 miliar.{{sfnp|Padang.go.id|23 September 2018}}
 
== Sosial dan kemasyarakatan ==
Baris 90:
Orang Tionghoa di Padang tinggal mengelompok dan membentuk permukiman yang dikenal sebagai Kampung Cina.{{sfnp|Mardanas Safwan|1987|pp=15}} Letak kawasan tersebut berada di sisi utara dekat muara [[Batang Arau]], [[Padang Selatan, Padang|Kecamatan Padang Selatan]]. Dulunya, orang Tionghoa memilih tinggal dekat muara karena dekat dengan akses transportasi laut yang kala itu merupakan sarana utama dalam perdagangan ekspor dan impor. Mengelompoknya tempat tinggal orang Tionghoa tidak lepas pula dari adanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem sentralisasi permukiman pada satu kawasan bagi penduduk pendatang. Oleh Belanda, permukiman orang Tionghoa Padang dikonsentrasikan pada satu kawasan, yakni di daerah [[Belakang Pondok, Padang Selatan, Padang|Pondok]] dan sekitarnya sehingga lama-kelamaan daerah itu menjadi permanen sebagai permukiman orang Tionghoa Padang sampai saat ini.{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=135}}
 
Di Kampung Cina, terdapat sebuah kelenteng yang bernama [[Kelenteng See Hien Kiong]]. Letaknya berada dekat tepi Batang Arau, menghadap ke [[Bukit Gado-Gado]] di [[Seberang Palinggam, Padang Selatan, Padang|Subarang Palinggam]]. Meskipun tahun pambangunannya tidak diketahui pasti, kelenteng ini diperkirakan berdiri pada sekitar pertangahan abad ke-19, berdasarkan tinggalan berupa lonceng (''genta'') yang ada di dalam kelenteng yang bertarikh 1841.{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat|8 Juni 2017}} Kelenteng See Hien Kiong menjadi tempat sembahyang orang Tionghoa terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah. Peruntukan kelenteng ini adalah untuk orang Tionghoa di Padang pada umumnya. Keberadaan kelenteng di Kampung Cina yang hanya satu menunjukkan bahwa mayoritas orang Tionghoa Padang mempunyai leluhur yang sama. Hal ini membuatnya berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya orang Tionghoa di [[Jakarta]] dan [[Semarang]] yang punya banyak kelenteng masing-masing berdasarkan leluhur dan dewa yang disembah.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=53|ps=: "''Klenteng See Hien Kiong merupakan tempat untuk melakukan sembahyang terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah menunjukkan bahwa mayoritas etnis Cina Padang memiliki leluhur yang sama. Berbeda halnya dengan etnis Cina yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya di Jakarta dan Semarang ditemukan banyak klenteng yang masing-masing memiliki spesifik tersendiri dengan leluhur dan dewa yang berbeda pula.''"}} Kelenteng See Hien Kiong bahkan menjadi kelenteng satu-satunya di SumatraSumatera Barat.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=52|ps=: "''Klenteng See Hien Kiong merupakan satu-satunya yang terdapat di Sumatera Barat.''"}}
 
== Hubungan antaretnis ==
Baris 143:
|year = 2007
|url = https://books.google.co.id/books?id=Ey97JAAACAAJ&dq=Asap+Hio+di+Ranah+Minang:+Komunitas+Tionghoa+di+Sumatera+Barat&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjS6Me737zoAhUIWCsKHRefAdIQ6AEIKzAA
|title = Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di SumatraSumatera Barat
|location = Yogyakarta
|work =
Baris 318:
* {{cite web
|title = Deskripsi Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Padang Provinsi Sumatera Barat
|author = Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat
|url = https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Padang.pdf
|work = Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Baris 324:
|date = 2018
|accessdate = 25 September 2020
|ref = {{sfnRef|Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat|2018}}
|archive-date = 2019-02-21
|archive-url = https://web.archive.org/web/20190221224258/https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Padang.pdf
Baris 331:
* {{cite web
|title = Deskripsi Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Padang Provinsi Sumatera Barat
|author = Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat
|url = https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Padang.pdf
|work = Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Baris 337:
|date = 2018
|accessdate = 25 September 2020
|ref = {{sfnRef|Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat|2018}}
|archive-date = 2019-02-21
|archive-url = https://web.archive.org/web/20190221224258/https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Padang.pdf