Ahmad Najib Burhani: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Dikembalikan menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis VisualEditor |
|||
Baris 41:
Pada tahun 2021, Burhani kembali mendapatkan Muhammadiyah Award dalam pengabdiannya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Penghargaan ini diberikan oleh Pimpinan Pusat [[Muhammadiyah]] pada acara Milad ke-109 di [[Universitas Muhammadiyah Yogyakarta]] pada 18 November 2021 yang dihadiri oleh Presiden [[Joko Widodo]].<ref>{{Cite news|date=18 November 2021|title=Penganugerahan Penghargaan Muhammadiyah 2021, Ini para Penerimanya|url=https://pwmu.co/216789/11/18/penganugerahan-penghargaan-muhammadiyah-2021-ini-para-penerimanya/|work=pwmu.co|access-date=27 November 2021}}</ref><ref>{{Cite news|last=K|first=Rahma|date=6 Desember 2021|title=Ahmad Najib Burhani, Peraih Muhammadiyah Awards 2021 Bidang Iptek|url=https://thephrase.id/ahmad-najib-burhani-peraih-muhammadiyah-awards-2021-bidang-iptek/|work=The Phrase|access-date=7 Desember 2021}}</ref>
== Pemikiran dan Kontribusi Akademik ==
Secara akademik, ada beberapa kontribusi penting yang disumbangkan oleh Burhani selama ini. Pertama, studinya terkait Ahmadiyah telah membuka jalan atau peta baru dalam kajian ke-Islaman, terutama di Amerika Serikat. Sebelumnya, kajian tentang Islam terfokus pada dua mazhab terbesar, yaitu Sunni dan Syiah. Tidak ada atau sedikit sekali kajian terkait kelompok Islam non-mainstram, apalagi terhadap kelompok Islam yang dianggap sesat. Dengan berbagai studi dan karya-karyanya, Burhani mempopulerkan kajian tentang kelompok-kelompok non-mainstream dalam Islam atau kelompok yang selama ini dianggap telah keluar dari Islam, seperti Ahmadiyah.
Kedua, Burhani memperkenalkan penggunaan istilah “menemani” terkait kajian atau advokasi minoritas di Indonesia. Istilah itu merupakan pengganti dari istilah “mendampingi” atau “membela”, dua istilah yang paling sering dipakai dalam kaitan dengan advokasi minoritas. Dua istilah itu kadang mengesankan adanya derajat atau level yang berbeda antara kelompok mayoritas dan minoritas yang mengalami diskriminasi.[https://www.nu.or.id/nasional/pemaknaan-terhadap-istilah-minoritas-NvlKU]
Penggunaan istilah “menemani” pada awalnya diusulkan oleh Martin Lukito Sinaga, pendeta dan teolog Protestan, untuk judul buku ''Menemani Minoritas'' yang ditulis oleh Burhani tahun 2019. Menurut Sinaga, penggunaan istilah “menemani” lebih pas untuk dipilih agar kelompok minoritas juga mau ''speak up'' dan “bertanggungjawab membela dirinya” jika mendapat perlakuan diskriminatif, tidak diam saja. Merekalah yang perlu merespon pertama terhadap diskriminasi yang diterimanya, “bahwa semua kelompok, baik dari yang segi jumlah umatnya lebih banyak atau sedikit, bertanggungjawab pada dirinya untuk memperjuangkan haknya, agar tidak dilecehkan lalu menjadi korban”. Sementara posisi orang lain yang “mengadvokasi” adalah sebagai teman dalam perjuangan untuk membangun hidup yang adil dan setara.
Istilah “menemani” juga lebih ''modest'' (sederhana) daripada istilah “membela” yang dulu pernah disematkan kepada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai “pembela minoritas”. Istilah “pembela” itu tepat dipakai untuk Gus Dur, namun belum ada orang lain lagi lagi yang pantas disematkan dengan istilah itu sepeninggalnya. Selain lebih sederhana dan sopan, istilah menemani juga menunjukkan keakraban dan kedekatan dengan kelompok minoritas, bukan sebagai entitas atau kelompok yang berbeda atau berjarak.
Kontribusi akademik ketiga dari Burhani terlihat dari bukunya ''[https://ibtimes.id/pada-mulanya-muhammadiyah-adalah-islam-jawa/ Muhammadiyah Jawa]'' yang menunjukkan adanya karakter Muhammadiyah yang berbeda dari apa yang umumnya dipahami masyarakat dan pengamat, yakni organisasi yang anti tradisi atau budaya lokal, tak memiliki akar dan kedekatan dengan kebudayaan Jawa atau daerah lainnya di Indonesia, dan cenderung bercorak puritan.
Istilah ''Muhammadiyah Jawa'' dalam buku itu lebih mengacu kepada kultur dan karakter daripada geografis. Ia memotret interaksi dan adaptasi kultural Muhammadiyah dengan budaya lokal tempat ia berada. Kasus Jawa dipakai sebagai pijakan untuk melihat akulturasi Muhammadiyah dengan berbagai model interaksi kultural di berbagai daerah lain di Indonesia, proses adaptasi Muhammadiyah dengan keragaman budaya, serta melihat dialektika ideologis dan kulturalnya. Dengan gagasan dan buku tersebut, Burhani menampilkan perspektif unik tentang Muhammadiyah, yaitu organisasi modernis yang dalam sejarahnya lekat dengan tradisi lokal dan bahkan bisa disebut sebagai representasi paling otentik dari [https://suaraaisyiyah.id/muhammadiyah-tidak-anti-budaya/ Islam Jawa].
== Bibliografi ==
|