Orang Maluku: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 126:
Orang Maluku Belanda telah berulang kali menarik perhatian pemerintah Belanda demi klaim mereka untuk membebaskan [[Republik Maluku Selatan]] (RMS) yang telah dijanjikan oleh pemerintah Belanda sebelumnya.<ref>{{Cite web|url=http://walentina.waluyanti.com/history-politics/303-mengapa-banyak-orang-maluku-di-belanda|title=Mengapa Banyak Orang Maluku di Belanda?|last=Waluyanti|first=Walentina|website=walentina.waluyanti.com|language=en-gb|access-date=2017-08-21|archive-date=2017-08-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20170821173158/http://walentina.waluyanti.com/history-politics/303-mengapa-banyak-orang-maluku-di-belanda|dead-url=yes}}</ref> Padai tahun 1970-an jumlah pendukung meningkat lebih dan lebih. Salah satu cara untuk mendapatkan perhatian pada masalah tersebut melalui kekerasan pembajakan [[Krisis sandera kereta api Belanda 1975|Krisis Sandera Kereta Api Belanda 1975]]<ref>{{Cite web|url=http://military18.blogspot.co.id/2014/01/teror-rms-di-negeri-belanda-pembajakan.html|title=Teror RMS di Negeri Belanda- Pembajakan Kereta Du Pont|website=military18.blogspot.co.id|access-date=2017-08-21}}</ref> di [[De Punt (film televisi)|De Punt, Wijster]], di mana sandera itu diambil dan pembajak kereta tewas.
[[Berkas:Rietkerk Penning.jpg|ka|150px|jmpl|Medali peringatan kedatangan orang Ambon ke Belanda ("Medali Rietkerk"), bagi mantan tentara [[KNIL]] yang telah menjadi warganegara Belanda.]]
Menurut asal-usulnya, banyak orang Maluku yang bergabung sebagai anggota tentara Hindia Belanda ([[KNIL]]). Ketika Indonesia mengumumkan kemerdekaan, 17 Agustus 1945, Belanda tidak mengakui dan mengklaim bahwa pemerintahan sipil Hindia Belanda ([[NICA]]) harus dipulihkan. Perselisihan ini memuncak pada dua "aksi polisional" yang dalam sejarah Indonesia dianggap sebagai [[Agresi Militer Belanda|agresi militer]]. Dalam kedua aksi ini, banyak orang-orang Maluku terlibat dalam peperangan di pihak Belanda.
Baris 150 ⟶ 151:
== Budaya ==
[[Maluku]] adalah sekelompok pulau yang merupakan bagian dari [[Nusantara]].<ref name="M Adnan Amal">Juni, 2010. ''Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara'' 1250-1950</ref> Maluku berbatasan dengan [[Timor]] di sebelah selatan, pulau [[Sulawesi]] di sebelah barat, [[Irian Jaya]] di sebelah timur dan [[Palau]] di timur laut.<ref name="M Adnan Amal"/>
Maluku memiliki beragam [[budaya]] dan [[adat istiadat]] mulai dari [[alat]] [[musik]], [[bahasa]], [[tarian]], hingga [[seni]] budaya.<ref name="Karel Albert Ralahalu"/>
Baris 158 ⟶ 159:
Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo.<ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory">''Budaya Kalwedo di Maluku Barat Daya''. Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon, 2012</ref> Kalwedo adalah bukti yang sah atas kepemilikan masyarakat adat di [[Maluku Barat Daya]] (MBD).<ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"/> Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang bersaudara.<ref name="Jendela Buku">{{cite web|url= http://www.unpatti.ac.id/index.php/profil/sejarah-singkat/120-budaya-kalwedo-di-maluku-barat-daya|title= ''Budaya Kalwedo di Maluku Barat Daya''|accessdate= 2 April 2014.01.00|publisher= Unpatti|archive-date= 2013-11-13|archive-url= https://web.archive.org/web/20131113005919/http://www.unpatti.ac.id/index.php/profil/sejarah-singkat/120-budaya-kalwedo-di-maluku-barat-daya|dead-url= yes}}</ref> Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan [[Babar]] dan MBD.<ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"/> Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, [[adat istiadat]], dan pewacanaan.<ref name="Jendela Buku"/>
Budaya Kalwedo mempersatukan masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat, di mana mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama.<ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory" /> [[Nilai]] Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas [[pulau]] dan [[negeri]], yaitu: ''inanara ama yali'' (saudara perempuan dan laki-laki).<ref name="Jendela Buku" /> ''Inanara ama yali'' menggambarkan keutamaan hidup dan [[pusaka]] kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas [[hati]], [[jiwa]], [[pikiran]] dan [[perilaku]].<ref name="Jendela Buku" />▼
▲'''Kalwedo''' adalah budaya yang memiliki nilai-nilai [[sosial]] keseharian, dan juga nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian, dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara.<ref name="Jendela Buku"/>
▲Budaya Kalwedo mempersatukan masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat, di mana mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama.<ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"/> [[Nilai]] Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas [[pulau]] dan [[negeri]], yaitu: ''inanara ama yali'' (saudara perempuan dan laki-laki).<ref name="Jendela Buku"/> ''Inanara ama yali'' menggambarkan keutamaan hidup dan [[pusaka]] kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas [[hati]], [[jiwa]], [[pikiran]] dan [[perilaku]].<ref name="Jendela Buku"/>
Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup ''Niolilieta/hiolilieta/siolilieta'' (hidup berdampingan dengan baik).<ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"/> Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saling membantu dalam hal potensi [[alam]], [[sosial]], [[budaya]], dan [[ekonomi]] yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD.<ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"/>
[[Berkas:Sasi (Hawear).jpg|200px|kiri|jmpl|Sasi (Hawear) di Kepulauan Kei]]
==== Batu Pamali ====▼
[[Berkas:Batu Pamali.jpg|200px|kiri|jmpl|Contoh: Batu Pamali Negeri Saparua]]
==== Upacara Fangnea Kidabela ====▼
Kepulauan [[Tanimbar]] yang sekarang menjadi Kabupaten [[Maluku Tenggara Barat]], memiliki kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan Kidabela.<ref name="Arnold Batkunde">''Upacara Fangnea Kidabela''. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, Jendela Buku, 2012</ref> Duan Lolat mengatur tentang hubungan sosial masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa atau lebih, dan hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela.<ref name="Arnold Batkunde"/> Upacara Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah persaudaraan dan persekutuan agar tidak mudah pecah atau retak.<ref name="Arnold Batkunde"/>
▲'''Upacara Fangnea Kidabela''' mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi.<ref name="Arnold Batkunde"/> Upacara Fangnea Kidabela juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan (fangnea) terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela) di antara sesama sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial Kampung Sulung di pulau Enus yang terletak di [[Selaru]] bagian selatan pulau Yamdena.<ref name="Arnold Batkunde"/> Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara ''Panas Pela'' di [[Ambon]], [[Kepulauan Lease|Lease]], dan [[Maluku Tengah]].<ref name="Arnold Batkunde"/> Upacara ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan perpecahan terhadap hubungan masyarakat.<ref name="Arnold Batkunde"/>
▲==== Hibua Lamo ====
▲'''Hibua Lamo''' adalah rumah besar yang dijadikan simbol masyarakat adat di [[Halmahera Utara]], sekaligus simbol Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, [[Maluku Utara]].<ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda">''Hibua Lamo dalam Kehidupan Masyarakat Adat Tobelo di Halmahera Utara''. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012</ref> Di Halmahera Utara terdapat tiga etnis masyarakat yang memiliki rumah adat masing-masing, misalnya rumah adat etnis [[Tobelo]] disebut ''Halu''.<ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"/> Namun Hibua Lamo yang menjadi pemersatu semua etnis.<ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"/> Hibua Lamo adalah konstruksi dari nilai-nilai hidup dalam masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai komunitas Hibua Lamo.<ref name="Jendela buku">{{cite web|url= http://www.unpatti.ac.id/index.php/profil/senat-universitas/119-peranan-batu-pamali-dalam-kehidupan-masyarakat-adat-di-maluku|title= ''Hibua Lamo dalam Kehidupan Masyarakat Adat Tobelo di Halmahera Utara''|accessdate= 9 April 2014.11.15|publisher= Unpatti}}{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Hibua Lamo merupakan konsep bersama yang disebut '''''Nanga Tau Mahirete''''' (rumah kita bersama).<ref name="Jendela buku"/> Orang Tobelo, [[Galela]] dan Loloda tersegregasi secara geografis, dan terbelenggu dalam tradisi, agama dan kepercayaan yang berbeda.<ref name="Jendela buku" /> Perbedaan tersebut dipahami dan dihayati dengan kesucian hati dan kemurnian pikiran, kemudian diterapkan dalam sebuah ungkapan filosofis '''''Ngone O'Ria Dodoto''''' yang bermakna ''satu ibu satu kandung''.<ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda" /> Konsekuensi dari falsafah ''Nanga Tau Mahurete'' dan ''Ngone O'Ria Dodoto'' adalah lahirnya sebuah komunitas asli Halmahera Utara daratan maupun kepulauan dalam satu kesatuan yang teridentifikasi sebagai komunitas Hibua Lamo dan kemudian disimbolkan dalam rumah adat Himua Lamo.<ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"/>
Dalam konteks ini komunitas Tobelo, Galela, dan Loloda mengalami proses penyatuan dalam satu sosiokultural baru yang dinamis.<ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"/> Sosiokultural ini berlandaskan pada nilai-nilai ''O'dora'' (saling kasih), ''O'hanyangi'' (saling sayang), ''O'baliara'' (saling peduli), ''O'adili'' (perikeadilan) dan ''O'diai'' (kebenaran) dalam bingkai ''Nanga Tau Mahurete'' dan ''Ngone O'Ria Dodoto''.<ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"/>
[[Berkas:Lomba Arumbae Manggurebe.jpg|300px|ka|jmpl|Lomba Arumbae Manggurebe]]
Perjuangan melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran.<ref name="Karel Albert Ralahalu"/> Kedatangan para leluhur dari pulau [[Seram]], pulau [[Jawa]] (seperti [[Tuban]] dan [[Gresik]]) dan pulau [[Bali]] menjadi bagian dari cerita keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, [[Buru]], [[Ambon]], Lease, dan Maluku Tenggara.<ref name="Karel Albert Ralahalu"/> Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan [[Pela]] [[Gandong]] antar negeri.<ref name="Karel Albert Ralahalu"/> Dalam [[pataka]] daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan.<ref name="Karel Albert Ralahalu"/> Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang.<ref name="Karel Albert Ralahalu"/>
Baris 202 ⟶ 196:
Arumabe tampak dalam beragam karya seni.<ref name="Karel Albert Ralahalu"/> Misalnya dalam syair ''kata tujuh ya nona, ditambah tujuh, sapuluh ampa ya nona dalang parao''<ref name="Karel Albert Ralahalu"/> Banyak [[gapura]] negeri adat Maluku berbentuk Arumbae.<ref name="Karel Albert Ralahalu"/> Lagu daerah banyak mengumpamakan keharmonisan dengan simbol [[perahu]] atau Arumbae.<ref name="Karel Albert Ralahalu"/> Di bidang olahraga, ''Arumbae Manggurebe'' menjadi program [[pariwisata]] dan [[olahraga]] tahunan yang diselenggarakan di [[Teluk Ambon]].<ref name="Karel Albert Ralahalu"/>
''Sasahil dan Nekora'' merupakan tradisi masyarakat adat di Negeri [[Sirisori Islam, Saparua Timur, Maluku Tengah|Siri Sori Islam]] dan Negeri Siri Sori [[Kristen]] di pulau [[Saparua]].<ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa">''Sasahil dan Nekora Tradisi Tutup Rumah di Maluku''. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012</ref> Bagi masyarakat [[desa]] [[Telalora]], Nekora memiliki basis nilai tolong-menolong antarwarga.<ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"/> Nilai tradisi Sasahil dan Nekora terletak pada cara dan proses pelaksanaan.<ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"/> Nilai tolong-menolong yang terdapat dalam tradisi Sasahil maupun Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan menciptakan relasi saling memberi dan menerima antarwarga agar suatu pekerjaan berat untuk mendirikan rumah bisa lebih ringan.<ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"/> Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora selalu dipertahankan dan dipelihara dengan baik.<ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"/> Hal ini dimaksudkan sebagai modal sosial kelangsungan hidup bermasyarakat di masa mendatang.<ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"/>
|