Suku Keo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 16:
===Masa kolonial Belanda===
[[File:Kaart van etnische en taalkundige verspreiding op de Flores-eilanden.png|thumb|Peta sebaran kelompok etnis dan bahasa di [[Pulau Flores]] dan pulau-pulau kecil sekitarnya; wilayah suku Keo terletak di sebelah selatan [[suku Nage]].]]
Dalam publikasi Belanda, nama Keo (''Kéo'') tertulis dalam laporan Freijss (1860), untuk menjelaskan sekelompok penduduk nelayan yang berdomisili di sepanjang pantai selatan Flores bagian tengah, yang membedakannya dengan penduduk dari [[suku Nage]] yang berkerabat dekat. Pada saat yang sama, Freijss mencatat tentang Puncak Kéo (''Kéopiek'') yang dimaksudkannya adalah [[Gunung Ebulobo|Ebu Lobo]] dan Teluk Kéo. Menurut catatan sejarah dan tuturan lisan, jauh sebelum ada misionaris dan pedagang Eropa ([[Portugis]] dan [[Belanda]]) di Flores, sesungguhnya nama Keo itu telah dikenal oleh para misionaris [[Dominikan]] dari Portugis yang telah menjelajahi kawasan itu pada abad ke-16 untuk mewartakan [[Injil]] hingga menjangkau beberapa ''stasi'' di kawasan Keo seperti ''stasi'' Kewa, Mari, dan Lena. Dalam berbagai literatur Belanda, hingga abad ke-19, nama Keo nampaknya selalu menjadi rujukan untuk seluruh kawasan yang dihuni oleh suku Keo dan Nage. Intervensi [[Hindia Belanda|kolonial Belanda]] di kawasan ini sesungguhnya jauh kemudian, pada tahun 1907, dibandingkan dengan kawasan lainnya di Indonesia. Ketika tiba di [[Nusantara]], termasuk di Keo, para pejabat kolonial Belanda mulai melakukan restrukturisasi bentuk pemerintahan lokal sesuai bentuk administrasi kolonial, dengan merujuk pada struktur organisasi asli masyarakat adat. Transisi dan perubahan sistem administrasi sering dilakukan, karena para penguasa asing itu sering mengalami kesulitan untuk menyelaraskan sistem asing dengan sistem adat setempat. Namun sejak tahun 1920-an, situasi politik berubah dan pemerintah Belanda mulai terbuka untuk mendengar para penguasa adat lokal. Seluruh kepulauan Nusantara (Indonesia) dibagi ke dalam ''gewesten'' atau provinsi yang dikepalai oleh ''governeur'' atau residen.<ref name="keo"/>
Di [[Kepulauan Sunda Kecil]], beberapa penguasa lokal dengan sistem penguasa asli setempat yang dikenal dengan nama tetua adat (''adathoofden'' atau ''mosalaki'') dan pengawas atau pengatur tanah (''grondvoogden'' atau ''ine tana ame watu'') difungsikan oleh pemerintah kolonial. Hingga tahun 1910-an, pemerintah kolonial Belanda sering memandang Keo sebagai kawasan dengan masyarakat yang keras kepala, sulit diperintah, dikuasai, dan diatur. Kesan itu timbul karena di wilayah Keo pada masa itu telah terjadi 2 pemberontakan lokal, yakni pemberontakan yang dipimpin oleh Kaka Dupa di wilayah Tana Dea (1907) dan pemberontakan Lejo, yang dikenal dengan ''Lejo oorlog'' (1912) di bawah pimpinan Lewa Wula. Kolonial Belanda yang lazim menerapkan sistem ''[[divide et impera]]'' (membagi-bagi dan menguasai), di kawasan Keo menerapkan sistem yang dinamakan ''unifica et impera'' (menyatukan dan menguasai). Berhadapan dengan sikap non-kooperatif dari masyarakat Keo dan kebutuhan mendesak untuk menciptakan wilayah-wilayah administratif berdasarkan kesamaan budaya, bahasa, dan organisasi sosial lokal, maka pemerintah kolonial memperlakukan Keo sebagai bagian dari [[Suku Nage|Nage]], sambil mendaftarkan semua kampung di kawasan Keo dalam wilayah Nage sebagaimana tertera dalam laporan kolonial tahun 1910-an. Latar belakang dari usaha unifikasi Keo dan Nage ini adalah situasi dan kondisi sosial politik yang tidak kondusif di kawasan Keo antara tahun 1908 hingga 1912, yang dipicu umumnya pemberontakan atas ketidakpuasan dalam hal pembayaran pajak dan sistem ''[[rodi]]'' (kerja paksa). Pada tahun 1913, setelah pemberontakan Sela Lejo, sebuah rapat besar diadakan di kampung Wajo. Dalam rapat itu Muwa Tunga dari kampung Kota terpilih sebagai administrator lokal sementara. Muwa Tunga akhirnya menjadikan kampung Kota sebagai pusat distrik, yang dikenal kemudian dengan nama Kota Keo. Ketika situasi dan kondisi pemberontakan di Keo semakin mereda, maka pada tahun 1915, pejabat kolonial A.R. Herns mengusulkan agar Keo dan Nage dipersatukan menjadi satu ''landschap'' (distrik) bernama Nage dan diperintah oleh Roga Ngole. Pada prinsipnya usulan tersebut diterima baik oleh Belanda. Namun, dalam sebuah rapat di [[Boawae, Nagekeo|Boawae]] pada tanggal 8 April 1917, usulan itu tidak dapat disahkan oleh para pemimpin kedua wilayah, baik dari Nage maupun Keo. Memperhatikan hasil pertemuan Boawae tersebut, maka pimpinan ''afdeeling'' Flores dan ''gezagheber'' Ngada, dalam laporan yang ditulis pada 20 April 1917 (no. 798/15) menginformasikan kepada Residen Timor bahwa kedua wilayah Nage dan Keo itu hendaknya tidak dipersatukan di bawah kekuasan Roga Ngole. Wilayah Keo hendaknya tetap diakui sebagai distrik atau ''landschap'' tersendiri dengan Muwa Tunga sebagai administratornya. Maka dengan dekrit pemerintah kolonial Belanda tertanggal 28 November 1917 (no. 57), Muwa Tunga ditunjuk sebagai administrator (atau ''bestuurder'') yang juga telah diembannya sejak 1913, dan kemudian dikukuhkan dengan sumpah jabatan.<ref name="keo"/>
|