Lubuk Benteng, Bathin III, Bungo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ariefcomputer (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Ariefcomputer (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor pranala ke halaman disambiguasi
Baris 18:
{{RefDagri|2022}}
 
== '''Sejarah''' ==
{{Bathin III, Bungo}}
Sajarah [[Dusun]] Lubuk Benteng dimulai sejak turunnya serombongan dari Desa Empelu sembilan kepala keluarga H. Kuris, Ismael, H. Talib, Hasan Bilal Mpul, H. Junit, H. Karem, Mat Dinai dan Petok yang di pimpin seorang Penghulu bernama Haji Karamo Jayo yang bergelar Rajo Pengulu. Turun mencari tanah pilih, untuk dibuat [[dusun]] atau negri. Tiba disuatu tempat bernama [[Dusun]] [[Teluk Panjang, Bathin III, Bungo|Teluk Panjang]] yang dipimpin oleh seorang [[Kepala desa|Rio]] yang bernama [[Kepala desa|Rio]] Sari. Kepala rombongan datang menghadap Datuk [[Kepala desa|Rio]] Sari meminta sesuatu; yang tida lapuk oleh hujan tidak lekang oleh panas; tempat berdiam bertempat tinggal, tempat bercocok tanam bersawah ladang. Maka Datuk [[Rio]] Sari bertitah menunjuk sehamparan tanah disepanjang pinggiran Sungai Batang Tebo dari Lebak Benteng sampai ke Lubuk Kapa Gedang. Disitulah sembilan orang kepala keluarga itu membuka sawah ladang serta mendirikan rumah tempat tinggal, beberapa tahun berikutnya menyusul lagi tiga orang kepala keluarga yaitu Tuo Yet, Mat Baro dan Kadi. Kemudian sejak tahun 1935 wilayah ini dikenal sebagai [[Empelu, Tanah Sepenggal, Bungo|Empelu]] Baru.
 
Kemudian dimasa pendudukan Jepang, kehidupan dan penghidupan morak-marit, di antara rombongan yang sembilan keluarga itu ada yang bertahan dan ada pula yang kembali ke tempat asalnya Desa [[Empelu, Tanah Sepenggal, Bungo|Empelu]], Sampai tahun 1957. Dimasa kerisis itu nama Empelu Baru berubah menjadi [[Dusun]] Teluk Panjang Baru yang dipimpin seorang kepala kampung Rang Tuo Yet. Semasa kepala kampung Rang Tuo Yet, maka berkembanglah menjadi Dusun yang kokoh di bawah kekuasaan [[Kepala desa|Rio]] [[Teluk Panjang, Bathin III, Bungo|Teluk Panjang]].
 
Dengan berlakunya [http://www.bphn.go.id/data/documents/79uu005.pdf Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979], maka status kampung dibawah kekuasaan [[Kepala desa|Rio]] menjadi [[Desa]] yang langsung dibawah kekuasaan Camat [[Muara Bungo]], dengan nama [[Desa]] Baru Teluk Panjang, yang menjadi [[Kepala Desa]] pertama ialah Adnan Bin H. Karamo Jayo Rajo Pengulu. Pada tahun 2004 setelah berlaku [https://dkpp.go.id/wp-content/uploads/2018/11/uu_32_2004_pemerintahandaerah.pdf Undang-undang nomor 32 Tahun 2004], dalam rangka sosialisasi pemekaran kecamatan – kecamatan dalam [[Kabupaten Bungo]] sesuai anjuran dari narasumber sosialisasi tersebut bahwa nama – nama [[Desa]], [[Kecamatan]], [[Kabupaten]] Dan [[Kota]] harus melatar belakangi historis wilayah tersebut. Atas dasar itulah Desa Baru Teluk Panjang dirubah menjadi Desa [[Lubuk Benteng]].
 
=== Latar belakang Desa Lubuk Benteng ===
Konon kabarnya pada zaman dahulu dibelakang Desa Lubuk Benteng sekarang dipinggir sungai Batang Tebo ada sebuah lebak yang bernama Lebak Benteng. Lebak Benteng tersebut menurut lagenda merupakan sebuah Benteng pertahanan sewaktu perang Raja Mataram yang berkedudukan di [[Tanah Periuk, Tanah Sepenggal Lintas, Bungo|Tanah Periuk]], melawan tentara Komring yang datang dari Palembang, kalau dikaitkan dengan sejarah nasional mungkin tentara komring itu adalah tentara kerajaan [[Sri Wijaya]]. Namun diterima atau tidaknya kisah ini nyatanya cerita tersebut ada ditengah – tengah masyarakat.
 
Kata Lebak diganti menjadi kata Lubuk berdasarkan pengertian analisa lapangan yakni Lebak adalah suatu tempat berkumpulnya air yang pada musim kemarau airnya kering dan di aduk-aduk orang untuk mencari ikan. Kalau dijadikan nama Desa mungkin mengakibatkan penilaian yang tidak baik mudah diintimidasi dari luar. Sedangkan kata Lubuk adalah sekumpulan air yang dalam, walaupun musim kemarau tidak akan kering, banyak mendatangkan rizki (banyak ikannya) ada buaya penunggu yang tidak mungkin akan diganggu oleh buaya lain.
 
Jadi menurut seluko adat : “Adat berguru kealam terbentang”. Maka tepatlah kata lubuk dipakai untuk nama Desa, sesuai dengan kata orang alim “Sebuah nama adolah Do’a"{{Bathin III, Bungo}}
{{Authority control}}