Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi tidak terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
OnAir21 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
OnAir21 (bicara | kontrib)
Baris 52:
PDI-P sejauh ini merupakan [[partai politik]] paling populer pada [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1999|pemilu legislatif tahun 1999]]. Dengan perolehan suara 33%, PDI-P tampil dengan perolehan suara terbesar. Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999, PDI-P diperkirakan akan kembali memainkan peran dominan. Meski memenangkan pemilu legislatif, PDI-P tidak meraih mayoritas absolut. Meski begitu, PDI-P tidak pernah berkoalisi dengan partai politik lain menjelang Sidang Umum MPR tahun 1999. Hal yang paling dekat dengan PDI-P terhadap koalisi adalah aliansi longgar dengan [[Partai Kebangkitan Bangsa]] (PKB) yang dipimpin [[Abdurrahman Wahid]]. Jabatan presiden tampaknya akan diperebutkan oleh [[Megawati Soekarnoputri|Megawati]] dan petahana [[B. J. Habibie|BJ Habibie]] dari [[Partai Golongan Karya|Golkar]] yang sedang mencari masa jabatan kedua. Namun, Ketua MPR [[Amien Rais]] punya pemikiran lain dengan membentuk koalisi bernama [[Poros Tengah]] yang beranggotakan partai-partai Islam. Amien juga mengumumkan keinginannya untuk mencalonkan Wahid sebagai presiden. PKB, yang aliansinya dengan PDI-P tidak pernah kokoh, kini berpindah ke Poros Tengah. Golkar kemudian bergabung dalam koalisi ini setelah pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak dan ia mengundurkan diri dari pencalonan. Hal ini terjadi pada Megawati dan Wahid. Wahid, dengan koalisi kuat yang mendukungnya, terpilih sebagai presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara dibandingkan Megawati dengan 313 suara. Para pendukung PDI-P sangat marah. Sebagai pemenang pemilu legislatif, mereka juga berharap bisa memenangkan pemilu presiden. Massa PDI-P mulai melakukan kerusuhan di kota-kota seperti [[Jakarta]], [[Kota Surakarta|Solo]] dan [[Kota Medan|Medan]]. [[Bali]] yang biasanya damai juga terlibat dalam protes pro-Megawati. Wahid kemudian menyadari perlunya pengakuan terhadap status PDI-P sebagai pemenang [[Pemilu Legislatif]]. Dengan itu, dia mendorong Megawati untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Megawati menolak tawaran itu karena melihat dirinya harus menghadapi lawan seperti [[Hamzah Haz]] dari [[Partai Persatuan Pembangunan]] (PPP), serta [[Akbar Tanjung]] dan [[Wiranto]] dari Golkar. Setelah beberapa kali dipolitisasi oleh Wahid, Akbar dan Wiranto mengundurkan diri dari pencalonan. Wahid juga memerintahkan PKB untuk mendukung Megawati. Dia kini percaya diri dan berkompetisi dalam pemilihan wakil presiden, dan terpilih dengan 396 suara dibandingkan 284 suara Hamzah.
 
Kongres PDI-P Pertama diadakan di [[Kota Semarang|Semarang]], [[Jawa Tengah]] pada bulan April 2000, di mana Megawati terpilih kembali sebagai ketua PDI-P untuk masa jabatan kedua. Kongres tersebut tercatat sebagai salah satu tempat di mana ia mengkonsolidasikan posisinya di dalam PDI-P dengan mengambil tindakan keras untuk menyingkirkan calon pesaingnya.<ref>{{Cite web|date=2009-10-17|title=Tempointeraktif.Com - Kisah Para Penantang yang Terpental|url=https://web.archive.org/web/20091017103151/http://tempointeraktif.com/hg/narasi/2005/02/11/nrs,20050211-03,id.html|website=web.archive.org|access-date=2024-02-07}}</ref> Pada pemilihan ketua umum, muncul dua calon lainnya, [[Eros Djarot]] dan [[Dimyati Hartono]]. Keduanya mencalonkan diri karena tak ingin Megawati menjabat Ketua Umum PDI Perjuangan merangkap [[Wakil Presiden Indonesia|Wakil Presiden]]. Bagi Eros, saat akhirnya mendapat pencalonan dari cabang [[Kota Administrasi Jakarta Selatan|Jakarta Selatan]], muncul permasalahan keanggotaan dan membuat pencalonannya batal. Dia kemudian tidak diizinkan pergi dan berpartisipasi dalam kongres. Kecewa dengan apa yang dianggapnya sebagai kultus kepribadian yang berkembang di sekitar Megawati, Eros meninggalkan PDI-P dan pada bulan Juli 2002, membentuk [[Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia|Partai Nasional Benteng Kerakyatan]] (PNBK). Bagi Dimyati, meski pencalonannya tidak mendapat perlawanan sekeras Eros, ia dicopot dari jabatan Ketua Umum PDI-P Cabang Pusat. Ia tetap mempertahankan posisinya sebagai anggota [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia|Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) namun pensiun pada Februari 2002. Dimyati kemudain membentuk Partai Indonesia Tanah Air (PITA) pada April 2002.
 
Meski tidak mendukung Wahid sebagai presiden, anggota PDI-P mendapat posisi menteri di kabinetnya karena posisi Megawati sebagai wakil presiden. Seiring berjalannya waktu, seperti halnya Poros Tengah yang mendukung Wahid, PDI-P pun semakin kecewa terhadapnya. Pada bulan April 2000, [[Laksamana Sukardi]], anggota PDI-P yang menjabat sebagai Menteri Investasi dan Badan Usaha Milik Negara dipecat dari jabatannya. Ketika PDI-P bertanya mengapa hal ini dilakukan, Wahid menyatakan hal itu karena korupsi namun tidak pernah mendukung klaimnya. Hubungan ini agak membaik ketika pada akhir tahun, Wahid memberi wewenang kepada Megawati untuk mengatur jalannya pemerintahan sehari-hari. Namun, ia dan PDI-P perlahan tapi pasti mulai menjauhkan diri dari Wahid dan bergabung dengan Poros Tengah. Akhirnya pada bulan Juli 2001 dalam Sidang Istimewa MPR, Wahid dicopot dari jabatan presiden. Megawati kemudian terpilih sebagai presiden menggantikannya dengan Hamzah sebagai wakil presidennya, menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia. Namun, partai mereka menghadapi perpecahan lebih lanjut setelah Megawati menjadi presiden dan semakin banyak anggota yang kecewa meninggalkan partai. Dua di antaranya adalah saudara perempuan Megawati sendiri. Pada bulan Mei 2002, [[Sukmawati Soekarnoputri]] membentuk [[Partai Nasional Indonesia Marhaenisme]] (PNI-Marhaenisme). Hal ini disusul pada bulan November 2002, ketika [[Rachmawati Soekarnoputri]] mendeklarasikan pembentukan [[Partai Pelopor]] (PP).