[[Berkas:Tridarma Banjarmasin.jpg|jmpl|Daerah Pecinan di Banjarmasin.]]
[[Berkas:Kelenteng Tua Pek Kong.JPG|jmpl|Kelenteng Tua Pek Kong di [[Ketapang]].]]
==== Pendidikan ====
[[Kebangkitan nasional]]isme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal [[17 Maret]] 1900 terbentuk di Batavia [[Tiong Hoa Hwee Koan]] (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan pada tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan [[Djamiat-ul Chair]] meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah [[Budi Utomo]].
==== Perekonomian ====
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun [[1909]] di [[Buitenzorg]] (Bogor) [[Sarekat Dagang Islamiyah]] didirikan oleh RA [[Tirtoadisuryo]] mengikuti model [[Siang Hwee]] (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun [[1906]] di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, [[Haji Samanhudi]], pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di [[Surakarta]]. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
==== Pergerakan ====
Pemerintah kolonial Belanda makin khawatir karena [[Sun Yat Sen]] memproklamasikan [[Republik Tiongkok]], Januari [[1912]]. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan [[Politik Etis]], pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya [[passenstelsel]].
Pada waktu terjadinya [[Sumpah Pemuda]], ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain [[Kwee Tiam Hong]] dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. [[Sin Po]] sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia [[bumiputera]] sebagai pengganti kata Belanda ''inlander'' di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada [[1931]] [[Liem Koen Hian]] mendirikan PTI, [[Partai Tionghoa Indonesia]] (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
=== Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI ===
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor [[John Lie]] yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah [[Djiaw Kie Siong]] di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar [[Bung Karno]] dan [[Bung Hatta]] dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal [[16 Agustus]] [[1945]]. Di [[Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] (BPUPKI) yang merumuskan [[UUD'45]] terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; [[Liem Koen Hian]], [[Tan Eng Hoa]], [[Oey Tiang Tjoe]], [[Oey Tjong Hauw]], dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.[[Yap Tjwan Bing]]. [[Liem Koen Hian]] yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu [[Indonesia Raya]] yang diciptakan oleh [[W.R. Supratman]], pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran [[Sin Po]].
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah [[Tony Wen]], yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di [[Hotel Oranye]] [[Surabaya]].
=== Pasca kemerdekaan ===
==== Orde Lama ====
[[Berkas:Chinese Indonesian airmen Harian Umum 21 November 1950 p1.jpg|jmpl|Penerbang [[TNI Angkatan Udara|angkatan udara]] Tionghoa-Indonesia pada tahun 1950]]
Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri [[Republik Indonesia]] dari keturunan Tionghoa seperti [[Oei Tjoe Tat]], [[Ong Eng Die]], [[Siauw Giok Tjhan]], dll.
Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa [[Kabinet Dwikora]].
Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibu kota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.
==== Orde Baru ====
Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang [[Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia]], atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan [[Tionghoa]] dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian [[Bahasa Mandarin]] dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas [[Tionghoa Indonesia]] terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
[[Berkas:Letter for Name Change Request (Kwee Hway Swie, 1968).jpg|thumb|Surat ganti nama pasangan Tionghoa di Surabaya, 1968]]
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama [[Konghucu]] kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan{{cn}}.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
==== Reformasi ====
[[Reformasi]] yang digulirkan pada [[1998]] telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di [[Indonesia]]. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di [[Medan]], [[Sumatera Utara]], misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan [[bahasa Hokkien]] ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden [[Megawati]]-[[Hasyim Muzadi]] menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
<!-- Masih perlu ditambahkan: peranan menteri-menteri/tokoh-tokoh keturunan Tionghoa, konglomerasi2 Tionghoa, Bob Hasan, Kwik Kian Gie, Christianto Wibisono, CSIS, PITI-H. Karim Oey, Baperki, kebijakan-kebijakan Gus Dur yg pro-Tionghoa, imlek sebagai hari raya nasional, Metro TV (Metro Xinwen), masa mutakhir etnis Tionghoa-Indonesia di era new millenium. Naval Scene -->
{{sect-stub}}
== Budaya Tionghoa-Indonesia ==
|