Sistem noken: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k →Pelaksanaan: (QuickEdit) Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
|||
Baris 43:
Ignatius Yordan Nugraha dari [[Universitas Hasselt]] mengungkapkan bahwa definisi ini tidak menjelaskan secara spesifik tata cara pelaksanaan sistem noken.{{sfn|Nugraha|2021|p=261}} Menurut Cillian Nolan, memang tidak ada definisi umum untuk sistem noken, dan sebaiknya sistem ini dipahami sebagai "penyimpangan" dari praktik pemilihan umum nasional.{{sfn|Nolan|2016|p=402}} Akibat ketiadaan definisi umum, Cillian merasa bahwa banyak praktik-praktik yang bisa begitu saja diklaim sebagai bagian dari "sistem noken".{{sfn|Nolan|2016|p=404}}
Menurut antropolog Indonesia, Tito Panggabean, terdapat dua pola sistem noken yang umum dipraktikkan di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Pola pertama adalah sistem ''[[big man (antropologi)|big man]]'' (pria berwibawa). Pria berwibawa menjadi pemimpin bukan lewat warisan, tetapi dengan memenangkan persaingan melawan orang lain. Dalam sistem ini, pilihan diserahkan sepenuhnya kepada pria berwibawa sebagai bentuk ketaatan.{{sfn|Panggabean|2014}} Pria berwibawa bisa mengambil semua surat suara masyarakatnya, mencoblos surat-surat suara tersebut, memasukkannya ke dalam noken, dan kemudian menyerahkannya kepada petugas KPPS, sementara masyarakat berkumpul di tempat pemungutan suara untuk menyaksikan hal tersebut. Ada pula pria berwibawa yang sekadar memberitahukan kepada penyelenggara pemilu jumlah suara yang diberikan kepada calon tertentu.{{sfn|Perkasa|2016|pp=80}} Menurut seorang imam Katolik asal Papua, [[Neles Tebay]], pria berwibawa memiliki peran yang lebih kuat di wilayah Pegunungan Tengah Timur (atau wilayah La Pago), sehingga mereka cenderung memberikan suara yang bulat dalam pemilihan umum. Di wilayah Pegunungan Tengah Barat (atau wilayah Mee Pago), peran pria berwibawa tidak sebesar di wilayah La Pago, dan ia cenderung memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk memilih.{{sfn|Pamungkas|2017|p=228}}
Sementara itu, pola kedua disebut "noken gantung". Dalam sistem ini, masyarakat bersama dengan pria berwibawa melakukan deliberasi untuk menentukan bagaimana mereka akan memilih dalam pemilihan umum. Berdasarkan hasil kesepakatan tersebut, pada hari pemilu, masyarakat akan hadir di tempat pemungutan suara.{{sfn|Panggabean|2014}} Noken-noken akan digantung di kayu yang telah ditancapkan di tanah, atau bisa juga dikenakan oleh sejumlah individu.{{sfn|Nugraha|2021|p=262}} Noken kemudian menjadi pengganti kotak suara. Jumlah noken yang digantung disesuaikan dengan jumlah calon, dan masing-masing noken mewakili satu calon. Biasanya setiap noken dilengkapi dengan nama dan gambar calon. Setelah itu, terdapat beberapa variasi metode pemungutan suara. Berdasarkan salah satu variasi, pemilih akan berbaris di hadapan noken yang mewakili calon pilihan mereka, dan petugas KPPS kemudian akan menghitung jumlah mereka. Berdasarkan variasi yang lain, pemilih akan memasukkan surat suara yang belum dicoblos ke dalam noken yang melambangkan calon pilihan mereka. Petugas KPPS kemudian akan mencoblos surat suara tersebut untuk mereka.{{sfn|Perkasa|2016|pp=80}} Menurut Cahyo Pamungkas, sistem noken gantung pernah digunakan di 51 distrik di [[Kabupaten Yahukimo]].{{sfn|Pamungkas|2017|p=227}}
|