Gandum: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adnan Chaldun (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Mitgatvm Bot (bicara | kontrib)
k Commelinids ke Komelinid (17/05/2024)
Baris 10:
|unranked_divisio = [[Tumbuhan berbunga|Angiospermae]]
|unranked_classis = [[Monokotil]]
|unranked_ordo = [[CommelinidsKomelinid]]
| ordo = [[Poales]]
| familia = [[Poaceae]]
Baris 118:
== Gandum di Indonesia ==
{{unreferenced section|date=November 2017}}
Setidaknya sejak awal tahun 1970-an, makanan olahan berbahan dasar gandum sudah menjadi bagian konsumsi sehari-hari di Indonesia. Mi instan merupakan makanan olahan berbahan dasar gandum yang paling digemari, tidak hanya di perkotaan namun juga di pedesaan.
 
Menelusuri beberapa sumber, sejarah gandum di Indonesia dimulai pada tahun 1969 ketika Amerika Serikat memperkenalkan paket kerja sama ekonomi berdasarkan Public Law 480 (PL480) yang memberikan bantuan pangan atau bantuan pangan kemanusiaan berupa tepung terigu atau gandum ke Indonesia. Meski bantuan kemanusiaan ini sudah tidak ada lagi, namun karena fleksibilitas dalam pengolahan gandum, kesesuaian rasa makanan, dan kepraktisan dalam mengonsumsinya, banyak masyarakat Indonesia yang menyukai produk olahan gandum tersebut.
 
Keterlibatan industri pengolahan gandum dalam jumlah besar sangatlah besar. Gandum dapat diolah menjadi berbagai makanan, seperti mi instan, roti, kue, dan pasta, atau dipadukan dengan bahan dan makanan lokal. Namun permasalahan baru muncul karena Indonesia beriklim tropis sehingga tidak bisa menghasilkan gandum. Konsekuensinya, harus mengimpor gandum dan tepung terigu dari negara produsen. Sayangnya, kesadaran masyarakat akan tingginya ketergantungan negara terhadap impor gandum masih rendah, padahal impor gandum telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
 
Data resmi terbaru menunjukkan bahwa impor gandum dan tepung terigu melebihi 7 juta ton, dengan total Rp 25 triliun (US$2,52 miliar). Jumlah tersebut melebihi alokasi APBN untuk pembangunan pertanian pada tahun 2013 yang ditetapkan sebesar Rp16,4 triliun. Masyarakat luas dan akademisi Indonesia cenderung hanya fokus pada impor beras tahunan. Seperti yang telah kita lihat, impor beras selalu memicu ketegangan sosio-politik. Namun, mereka mengabaikan impor gandum dan gandum olahan, yang nilai ekonominya jauh lebih besar dibandingkan impor beras.