Kerajaan Inderapura: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
merapikan penulisan kalimat
Muhamri (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 63:
 
Kendali Aceh melemah keetika dipimpin pengganti Iskandar Muda, [[Sultan Iskandar Tsani]]. Selanjutnya, pada masa pemerintahan [[Ratu Tajul Alam]] pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda ([[VOC]]). Dominasi VOC diawali ketika [[Muhammad Syah dari Inderapura|Sultan Muhammad Syah]] meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan sistem [[matrilineal]]. Akibatnya, Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke [[Batavia]] menanda-tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan VOC hak monopoli pembelian lada serta hak pengerjaan tambang emas. Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di Manjuto.
 
Pada tahun 1680, VOC berhasil menandatangani perjanjian dengan kota-kota pantai barat dari Ketauan hingga Air Bangis di Utara, termasuk Sultan Muhammadsyah (sultan Inderapura) dan Raja Adil (dari Manjuto) semua berjanji mengakui kekuasaan VOC. Namun, dalam tahun yang sama Inggris telah mulai pula datang ke kota pantai Bengkulu karena di usir dari Banten. Kedatangan Inggris dan keikut campurannya dalam perpolitikan dan ekonomi di suatu daerah membuat pertikaian antara Sultan Muhammadsyah dan Raja Adil kembali kambuh. Inggris yang mendukung Sultan Muhammadsyah berhasil menandatangani sebuah perjanjian yang memberikan monopoli kepada Inggris dan daerah Inderapura diserahkan kepada Raja Inggris. Padang waktu itu yang menjadi representasi dari VOC tidak terima atas perbuatan Inggris dan menganggap Inggris telah melanggar hak daulat Belanda yang terlebih dahulu telah melakukan perjanjian dengan Inderapura maupun Manjuto. Atas hal itu, Pada tahun 1687 terjadi pemberontakan melawan Sultan Inderapura yang didukung Inggris. Pimpinan pemberontakan dipimpin oleh Sutan Larangan, Menantu Sutan Bakopiah dari XII Kota dekat Pariaman. Sultan Muhammadsyah melarikan diri dan pemerintahan untuk sementara dipegang oleh seorang wanita saudara sepupunya yang bergelar Tuanku Padusi (Raja Perempuan). Tidak lama kemudian Inggris mengakui kekalahannya atas VOC dan menarik diri dari Inderapura.
 
Setelah pemberontakan berakhir, Tuanku Padusi meninggal dan digantikan oleh pengantinya yang masih kecil bernama Raja Pesisir (cucu bekas panglima raja Alam di Padang) dan Muhammadsyah dijadikan sebagai walinya. Namun, tak lama kekuasaan berpindah kepada Raja Ibrahim dan pamannya bernama Akhmadsyah.
 
Pada tanggal 6 Juni 1701, kantor kecil VOC di Inderapura diserbu dan semua pegawai dibunuh oleh rakyat, kecuali satu orang yang kemudian berhasil melaporkan peristiwa tersebut ke kantor pusat di Padang. Atas kejadian tersebut, VOC mengirimkan pasukan untuk membalaskan dendam dengan menghancurkan semua yang ada termasuk tanaman Lada, merampok dan membunuh rakyat. Serangan balasan tersebut memaksa raja beserta keluarganya melarikan diri dan VOC kembali mengangkat Sultan Pesisir sebagai Raja.<ref name=":0">{{Cite book|last=Amran|first=Rusli|date=1981|url=https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=657864|title=Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang|location=Jakarta|publisher=Sinar Harapan|pages=228-242|url-status=live}}</ref>
 
Sewaktu Inggris dalam tahun 1715 ingin kembali mengadakan hubungan dagang, Sultan Pesisir meminta bantuan dari VOC namun ditolak (atas perintah dari atas) dan hanya mengizinkan beberapa serdadu untuk ditempatkan di Airhaji, sekedar sebagai pengawal kehormatan. Sebab tanpa Lada, VOC menganggap Inderapura tidak berarti lagi dan tidak memiliki nilai ekonomi. Akhirnya Sultan Pesisir hanya diperbolehkan memiliki satu orang pengawal kehormatan. Kemudian, satu-satunya pengawal raja tersebut ditarik kembali ke kantor VOC di Airhaji tapi Sultan menolak, akan tetapi Sersan pimpinan kantor VOC di Airhaji marah dan dengan beberapa tentara datang menyerang Inderapura (1792). Akibat dari peristiwa tersebut 7 (tujuh) orang mati dan Sultan melarikan diri ke [[Kabupaten Mukomuko|Muko-Muko]] di bawah perlindungan Inggris dan meninggal di sana pada tahun 1824. <ref name=":0" />
 
Tahun 1825, saudara perempuan Sultan Pesisir meninggalkan Bengkulu menuju Padang membawa semua anggota keluarga dan para pengikutnya. Salah seorang yang ikut adalah anak sultan terakhir bernama Marah Yahya yang berhak menggantikan Sultan Pesisir. Kemudian rombongan keluarga kerajaan Inderapura ini datang mengunjungi Residen Militer Belanda di Kota Padang bernama Ridder de Steurs. Kunjungan ini bermaksud menanyakan kepada kemungkinan Marah Yahya diangkat menjadi Raja Inderapura.
 
Tanggal 6 Desember 1825 Marah Yahya diangkat menjadi Tuanku Regen Inderapura dengan nama Akhmadsyah. Akan tetapi, daerah Inderapura telah menciut, ke Selatan terhalang karena Inggris yang telah menempatkan pula Regen mereka di Muko-Muko.
 
Tahun 1911 regen terakhir dipensiunkan dengan hormat dan tidak diganti lagi. Kemudian di akhir masa eksisnya kerajaan Inderapura, Kerajaan ini menjadi bagian tak berarti dari Balai Selasa di bawah Controleur yang berkedudukan di Balai Selasa.<ref name=":0" />
== Pemerintahan ==
Secara etimologi, Inderapura berasal dari [[bahasa Sanskerta]], dan dapat bermakna ''Kota Raja''. Inderapura pada awalnya adalah kawasan ''rantau'' dari [[Minangkabau]], merupakan kawasan pesisir di pantai barat [[Pulau Sumatra]]. Sebagai kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari [[Kerajaan Pagaruyung|Pagaruyung]] dan bergelar ''Raja''<ref>''Translation of the Undang Undang of Moco Moco'', by Richard Farmer, Governor of Benkulen (1717-18), in Malayan Miscellanies, 11/13 (1822), pp. 8-9.</ref> kemudian juga bergelar [[Sultan]]. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra ''Raja Alam'' atau [[Yang Dipertuan Pagaruyung]].<ref>Netscher, E., (1850), ''Verzameling van over1everingen van het rijk van Manangkabau uit het oorspronkelijk Maleisch vertaald'', Indisch Archief, II/2.</ref>