Pada pertengahan abad ke-7, sebuah kode hukum yang disebut ''{{lang|ja-Latn|[[Ritsuryō]]}}'' diadopsi untuk mendirikan pemerintahan terpusat bergaya Tiongkok.{{sfn|Hardacre|2017|p=17}} Sebagai bagian dari kode hukum tersebut, [[Jingikan]] ("Dewan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''") dibentuk untuk melakukan ritual-ritual kenegaraan dan mengoordinasikan ritual provinsi dengan ritual-ritual kenegaraan di ibu kota.{{sfn|Hardacre|2017|pp=17–18}} Hal itu dilakukan sesuai dengan kode hukum ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang disebut ''Jingiryō''{{sfn|Hardacre|2017|pp=17–18}} yang meniru ''[[Kitab Ritus|Kitab Ritual]]'' dari Tiongkok.{{sfn|Hardacre|2017|p=31}} Jingikan terletak di kawasan istana dan memelihara daftar kuil dan pendeta.{{sfn|Hardacre|2017|p=33}} Kalender tahunan ritual-ritual kenegaraan dibuat untuk membantu menyatukan Jepang melalui penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Hardacre|2017|p=18}} Ritual-ritual yang diamanatkan secara sah tersebut diuraikan dalam [[Kode Yōrō]] tahun 718{{sfn|Hardacre|2017|p=31}} dan diperluas dalam ''Jogan Gishiki'' pada sekitar tahun 872 dan ''[[Engi Shiki]]'' tahun 927.{{sfn|Hardacre|2017|p=31}} Di bawah Jingikan, beberapa kuil ditetapkan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kansha}}'' ("kuil resmi") dan diberi hak dan tanggung jawab khusus.{{sfn|Hardacre|2017|pp=33-34}} Hardacre memandang Jingikan sebagai "sumber kelembagaan Shinto".{{sfn|Hardacre|2017|p=18}}
Pada awal abad ke-8, [[Kaisar Tenmu]] menugaskanmemerintahkan kompilasi legenda dan silsilah klan Jepang, yang menghasilkan penyelesaian ''Kojiki'' yang selesai pada tahun 712. Teks ini dirancang untuk melegitimasi dinasti yang berkuasa, dan menciptakanmembentuk sebuah versi tetapyang disetujui dari berbagai cerita yang sebelumnya beredar dalam tradisi lisan.{{sfn|Hardacre|2017|pp=47–48}} ''Kojiki'' menghilangkan segala referensi apapun terhadap Buddhisme,{{sfn|Hardacre|2017|p=64}} sebagian karenatujuannya berusaha untukadalah mengabaikan pengaruh asing dan menitikberatkan narasi yang menekankan unsur-unsur asli dari budaya Jepang.{{sfn|Hardacre|2017|p=68}} Beberapa tahun kemudian, "Nihon shoki" ditulis. Berbeda dengan ''Kojiki'', teks tersebut membuatmemiliki berbagai referensi terhadap agama Buddha,{{sfn|Hardacre|2017|p=64}} dan ditujukan untuk pembaca asing.{{sfn|Hardacre|2017|p=69}} Kedua teks ini berusaha untuk menetapkanmembuktikan keturunansilsilah klan kekaisaran dariyang merupakan keturunan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' matahari Amaterasu,{{sfn|Hardacre|2017|p=64}} meskipun ada banyak perbedaan dalam narasi kosmogonik yang diberikan.{{sfn|Hardacre|2017|pp=57–59}} Dengan cepat, ''Nihon shoki'' mengalahkan ''Kojiki'' dengan cepat dari segi pengaruhnya.{{sfn|Hardacre|2017|p=69}} Teks-teks lain yang ditulis pada saat itu juga mengacu pada tradisi lisan mengenai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Misalnya, ''[[Kujiki|Sendari kuji hongi]]'' mungkin disusun oleh klan [[Mononobe]] sedangkandan ''[[Kogoshui]]'' mungkin disusun untuk klan [[Imibe]],; danpada dalamkedua kasus tersebut, keduasemua teks itu dirancang untuk menyoroti asal -usul ilahi dari masing-masing garis keturunan tersebutyang terikat dengan para dewa.{{sfn|Hardacre|2017|pp=64-45}} Perintah pemerintah padaPada tahun 713, memintapemerintah mengatur agar setiap daerah untuk menghasilkan ''[[fudoki]]'', catatanyaitu geografiarsip lokalcerita, produk, dan cerita,geografi denganlokal; cerita yang dicatat mengungkapkan lebih banyak tradisi mengenai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang hadir saat itu.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=43|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=66}}
Sejak abad ke-8, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan agama Buddha terjalin erat dalam masyarakat Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=8}} Di samping kaisar dan istana melakukan ritual Buddhis, mereka juga melakukan ritual lainnya untuk menghormati ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Hardacre|2017|p=72}} Tenmu, misalnya, menunjuk seorang putri kekaisaran perawan untuk melayanibertugas sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[saiō]]}}'', bentuksalah darisatu jenis pendeta wanita, di Kuil Ise atas namanya,; tradisi tersebut dilanjutkan oleh kaisar-kaisar berikutnya.{{sfn|Hardacre|2017|pp=82-83}} Dari abad ke-8 dan seterusnya hingga [[zaman Meiji]], ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dimasukkan ke dalam kosmologi Buddhis dengan berbagai cara.{{sfn|Kuroda|1981|p=9}} Salah satu pandangannyapandangan adalahyang ada yaitu ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' menyadari bahwa seperti bentuk kehidupan lainnya, mereka juga terjebak dalam siklus [[samsara]] (kelahiran kembali) seperti (terlahirsemua kembali)bentuk dankehidupan untuklain menghindarinyadan mereka harus mengikuti ajaran Buddha untuk bebas dari siklus itu.{{sfn|Kuroda|1981|p=9}} Pendekatan alternatiflain memandang ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sebagai entitas yang baik hati yang melindungi agama Buddha, atau bahwa; ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' itu sendiri adalah [[Buddha]],; atau ''kami'' adalah makhluk yang telah mencapai pencerahan. Dalam hal ini, mereka dapat berupa ''{{lang|ja-Latn|[[hongaku]]}}'', roh murni dari Buddha, atau ''{{lang|ja-Latn|[[honji suijaku]]}}'', transformasi dari Buddha dalam upaya mereka untuk membantu makhluk hidup.{{sfn|Kuroda|1981|p=9}}
=== Zaman Nara ===
|