Brigade Manguni: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tuama Minahasa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tuama Minahasa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 47:
 
== Sepak Terjang ==
Konteks konflik Poso ketiga di pertengahan tahun 2000 menjadi awal dari aksi BM. Konflik Poso terdiri dari tiga periode yang berlangsung sejak 1998-2001. Periode konflik yang menjadi pembahasan dalam bagian ini adalah konflik Poso ketiga. McRae (2008) menilai konflik Poso ketiga merupakan puncak dari dua periode konflik sebelumnya. Konflik Poso ketiga menjadi puncak dari dua konflik sebelumnya karena telah tereskalasi
=== Pisah Brigade dari GMIM pasca Kongres Minahasa Raya 1 ===
menjadi konflik horizontal antar-identitas keagamaan,dan melibatkan pendukung dari masing-masing pihak,baik Islam maupun Kristen dari luar Poso untuk datang berkonflik di Poso (Aditjondro, 2004). Aragon (2001) dan Aditjondro (2004) juga mencatat bahwa konflik Poso ketiga merupakan momentum balas dendam dari pihak Kristen kepada pihak Islam (Laskar Jihad) yang dianggap telah “membantai” banyak korban dari komunitas Kristen dalam dua konflik Poso sebelumnya.Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh BM melalui keterlibatannya dalam konflik Poso ketiga.Keinginan “balas dendam” tidak mampu diartikulasikan oleh gereja dalam situasi konflik.
Kondisi sosial politik di Indonesia pasca reformasi
 
memperlihatkan kecenderungan menguatnya sentimen
 
identitas primordial. menjelaskan bahwa
 
usaha Islamisasi sejak periode 1990-an menemui
 
puncaknya di era pasca reformasi. Selain konflik
 
komunal, contoh Islamisasi yang terjadi pasca reformasi
 
adalah usaha penambahan tujuh kata dalam amandemen
 
konstitusi. menguatnya
 
sentimen identitas primordial yang demikian menjadi
 
momen negosiasi posisi kelompok etnis dalam sebuah
 
negara-bangsa. Salah satu kelompok etnis yang terlibat dalam proses  “negosiasi” ini adalah kelompok etnis Minahasa
 
melalui pelaksanaan KMR I pada tahun 2000.
 
KMR I hadir sebagai respons atas wacana pengembalian tujuh kata dari piagam Jakarta ke dalam pembukaan
 
Undang-Undang Dasar 1945 yang digulirkan oleh politisi
 
dari kelompok partai berbasis Islam. Wacana penambahan tujuh kata ini menyebabkan  keminahasaan yang berkelindan dengan identitas
 
Kristen menjadi berbeda dan rentan “dipinggirkan”
 
melalui agenda Islamisasi dalam skala nasional. Elit
 
GMIM dinilai oleh Karim (2020) mampu merespons hal
 
tersebut melalui peran diskursif untuk menggagalkan
 
Islamisasi yang diupayakan oleh elit politik di Jakarta.
 
Melalui peristiwa KMR I, GMIM mampu untuk
 
mewakilkan respons komunitas Minahasa-Kristen atas
 
perubahan sosial yang terjadi pasca reformasi.
 
Kosel (2010) dan Karim (2020) mepandang momen
 
KMR I sebagai awal kehadiran BM dalam bentuk
 
seksi keamanan. Karim (2020) bahkan lebih spesifik
 
menjelaskan kehadiran Permesta secara simbolik dapat
 
dirasakan melalui kehadiran BM. Akan tetapi, studi
 
terdahulu hanya menunjukkan keterlibatan BM dalam
 
KMR I.
 
BM dalam kerangka kerja GMIM selama KMR I melalui
 
kontrol elit GMIM itu sendiri, seperti Pnt. (Penatua)
 
Marhany Pua dan Dolfie Maringka sebagai Tonaas
 
Wangko atau ketua umum BM. Namun, pengamatan
 
tersebut tidak mampu memindai momen KMR I dan
 
setelahnya sebagai awal berpisahnya BM dari GMIM.
 
Momen KMR I justru menjadi kesempatan bagi BM
 
untuk menilai dan memanfaatkan titik keterbatasan
 
GMIM. Indikator keberhasilan dari peran diskursif GMIM
 
yang diuji oleh kelompok kecil bernama BM saat itu
 
adalah kemampuannya menjaga keamanan komunitas
 
Minahasa-Kristen dari konflik komunal di beberapa
 
lokasi, salah satunya Poso. Walaupun momen KMR I
 
berakhir dengan keberhasilan GMIM dalam menjaga
 
komunitas Minahasa-Kristen di tengah upaya Islamisasi
 
melalui jalur parlementer (Karim, 2020), namun di sisi
 
lain, peran diskursif GMIM tidak cukup kuat untuk
 
menjaga komunitas Minahasa-Kristen dari dampak
 
langsung konflik komunal. Peran diskursif GMIM tidak
 
mampu membendung dampak dari konflik Poso pertama
 
dan kedua yang memakan banyak korban dari kelompok
 
Kristen (Aragon, 2001; Aditjondro, 2004). Karena itu, tidak mengherankan jika salah seorang tona’as, Deany
 
Keintjem, di kediamannya pada tanggal 29 Desember
 
2019 turut menegaskan bahwa:
 
“Torang dari pertama memang beda dengan dorang
 
gereja-gereja sama deng itu PGI. Dorang itu cuma
 
salaman deng senyum-senyum di TV, konferensi pers,
 
kong abis itu apa? Torang mo ibadah tetap susah. Nyanda
 
guna.” “(Kami sejak awal memang berbeda [cara kerja]
 
dengan gereja-gereja seperti contohnya PGI [Persatuan
 
Gereja-gereja Indonesia]. Mereka hanya bersalaman dan
 
senyum di depan TV, tapi setelah itu apa? Kita [orang
 
Kristen] mau ibadah tetap susah. Tidak berguna).”
 
Penilaian ini menunjukkan kegagalan gereja,
 
khususnya GMIM, dari sudut pandang kelompok BM
 
dalam menjaga keminahasaan di tengah konflik. Karena
 
itu, peristiwa KMR I dapat dipertimbangkan sebagai
 
momen awal BM dalam mengajukan ketidaksepakatan
 
atas dominasi cara kerja diskursif GMIM.
 
Ketidaksepakatan ini diikuti dengan berpisahnya BM
 
dari GMIM yang dianggap terbatas dalam melindungi
 
kelompok Minahasa-Kristen. Pemisahan ini juga terlihat
 
melalui terbentuknya jejaring dan elit baru yang mampu
 
untuk menentukan sikap BM pasca KMR I. Jabatan
 
Tona’as Wangko yang sebelumnya diketuai oleh Dolfie Maringka telah tergantikan oleh Dicky Maengkom pasca KMR I dilaksanakan.
 
 
 
== Lihat Pula ==