Tridharma: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 35:
Tradisi orang Tionghoa semenjak zaman purbakala sampai kini adalah pemujaan terhadap Roh (''Bai Shen''). Roh-roh yang dipuja itu pada mulanya adalah arwah para leluhur (''Di''), Roh Tanah (''She''), Roh Padi-Padian (''Ji''), Roh Langit (''Tian''), Roh Bumi (''Di''), hingga meluas ke Roh seisi alam semesta. Mereka percaya bahwa roh-roh itu bisa membantu keberadaan manusia apabila dihormati. Itulah kepercayaan [[Animisme]] dan [[Dinamisme]] yang umum dijumpai pada semua masyarakat purba di muka bumi. Meskipun kepercayaan semacam itu sebagian besar sudah luntur pada masa modern ini, tetapi pada bangsa Tionghoa masih tetap bertahan dan berkembang. Bahkan, masuknya agama Buddha dan lahirnya agama Tao serta Konghucu di [[RRT|Tiongkok]] makin menambah banyaknya roh-roh yang dipuja. Roh-roh itu disebut Roh Suci (''Shen Ming''). Untuk lebih memusatkan perhatian pada pemujaan, dibuatlah patung sebagai lambang dari roh-roh tersebut.<ref name="matrisia" />
Kendati demikian, [[Buddhisme]] menolak eksistensi roh atau arwah dengan ajaran tentang ''[[anatta]]'' (Pali; Sanskerta: ''anatman'') yang dianutnya. Ajaran tersebut menekankan bahwa tidak ada roh, arwah, atau diri kekal apa pun yang berdiam di dalam tubuh setiap makhluk, melainkan [[Gugusan (Buddhisme)|gugusan-gugusan]] yang membentuk kesatuan yang secara konvensional dianggap sebagai 'diri'.<ref name="gombrich4722">{{cite book|author=Richard Gombrich|year=2006|url=https://books.google.com/books?id=jZyJAgAAQBAJ|title=Theravada Buddhism|publisher=Routledge|isbn=978-1-134-90352-8|page=47}}, '''Quote:''' "All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, suffering and lack of soul or essence."</ref><ref name="buswelllopez42">{{cite book|author1=Robert E. Buswell Jr.|author2=Donald S. Lopez Jr.|year=2013|url=https://books.google.com/books?id=DXN2AAAAQBAJ|title=The Princeton Dictionary of Buddhism|publisher=Princeton University Press|isbn=978-1-4008-4805-8|pages=42–43, 47, 581}}</ref><ref>{{cite book|author=Phra Payutto|year=1995|url=https://books.google.com/books?id=ffsumKIixS8C|title=Buddhadhamma: Natural Laws and Values for Life|publisher=State University of New York Press|isbn=978-0-7914-2631-9|pages=62–63|translator=Grant Olson|authorlink=P. A. Payutto}}</ref>
Dalam pengertian umum, "pemujaan" biasanya dilakukan oleh pihak yang lebih rendah kepada pihak yang lebih tinggi derajatnya. Namun, bagi orang Tionghoa, "pemujaan terhadap roh''"'' berarti: "upaya untuk mengormati keberadaan roh, dan untuk berhubungan dengannya." Oleh karena itu, tujuan pemujaan di Klenteng menjadi beraneka rupa:<ref name="matrisia"/>
|