Gatot Soebroto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dwinug (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Dwinug (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 12:
| party = {{Parpolicon|IPKI}}
| known_for = Pahlawan Nasional
| alma_mater = [[KNILTentara Kerajaan Hindia Belanda]]
| office = Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat
| order = Jabatan ke-2
Baris 19:
| predecessor = Kolonel Inf [[Zulkifli Lubis]]
| successor = [[Letnan Jenderal|Letjen TNI]] [[Maraden Panggabean]]
| office2 = Polisi Militer Angkatan Darat Indonesia|Komandan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat
| order2 = Jabatan ke-3
| term_start2 = 1948
Baris 39:
}}
 
[[Jenderal (Indonesia)|Jenderal]] [[Tentara Nasional Indonesia|TNI]] '''Gatot Soebroto''' ({{lahirmati|[[Banyumas, Banyumas|Sumpiuh, Banyumas]], [[Jawa Tengah]]|10|10|1907|[[Jakarta]]|11|6|1962}}) adalah tokoh perjuangan militer Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan juga pahlawan nasional [[Indonesia]] yang berasal dari [[Kabupaten Banyumas|Banyumas]]. Ia dimakamkan di [[Ungaran (kota)|Ungaran]], [[Kabupaten Semarang]].
 
== Riwayat hidup ==
Setamat pendidikan dasar di [[Hollandsch-Inlandsche School]] (HIS), Gatot SubrotoSoebroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi memilih menjadi pegawai. Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki sekolah militer ''[[Tentara Kerajaan Hindia Belanda|het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger]] (KNIL)]]'' di [[Kota Magelang|Magelang]]. Sempat menjadi sersan kelas II saat dikirim di Padang Panjang selama lima tahun, Gatot SubrotoSoebroto kemudian dikirim ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan lanjutan, pendidikan ''masose''. Gatot SubrotoSoebroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah bekerja sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia dianggap contoh seorang pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Bergabung dengan KNIL membuat Gatot SubrotoSoebroto paham dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak.
 
Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot SubrotoSoebroto pun mengikuti pendidikan [[PETA|Pembela Tanah Air]] (PETA)]], organisasi militer milik Jepang yang merekrut tentara pribumi untuk berperang, di Bogor. Di sanalah karier Gatot SubrotoSoebroto mulai merangkak naik. Selepas lulus dari pendidikan Peta, ia diangkat menjadi komandan kompi di Banyumas sebelum akhirnya ditunjuk menjadi komandan batalyon. Setelah kemerdekaan, Gatot SubrotoSoebroto memilih masuk [[TKR|Tentara Keamanan Rakyat (TKR)]] dan kariernya berlanjut hingga dipercaya menjadi Panglima Divisi II, [[Polisi Militer Angkatan Darat Indonesia|Panglima Corps Polisi Militer]], dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.
 
Gatot SubrotoSoebroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah bekerja sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia dianggap contoh seorang pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Bergabung dengan KNIL membuat Gatot SubrotoSoebroto paham dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak. Selama menjabat sebagai komandan kompi dan komandan batalyon, Gatot SubrotoSoebroto dinilai sering memihak kepada rakyat pribumi. Hal itulah yang sering kali membuat ia ditegur oleh atasannya.
 
Namun, bukan berarti sering mendapat teguran dari atasan membuat Gatot SubrotoSoebroto kapok dan patuh terhadap perintah. Justru hal itulah yang membuat Gatot SubrotoSoebroto mendapatkan angin segar untuk sekadar 'menakuti dan mengancam' pihak Jepang. Saat itu, ia mengancam bahwa dirinya mengundurkan diri sebagai komandan kompi dengan melemparkan atribut senjata perangnya. Melihat tindakan berani Gatot SubrotoSoebroto, atasannya kemudian meluluskan apa yang dikerjakan Gatot SubrotoSoebroto, yakni memihak pribumi terlebih rakyat kecil. Ia juga menentang Jepang jika berbuat semena-mena dan kasar terhadap anak buahnya.
 
Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil didapat, Gatot SubrotoSoebroto kemudian membentuk [[TKR|Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR)]] yang merupakan cikal bakal nama [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) yang ada kini. TKR dipimpin oleh Kol. [[Soedirman|Sudirman]] di mana saat itu Gatot SubrotoSoebroto menjabat sebagai Kepala Siasat dan berganti menjadi Komandan Devisi dengan pangkat Kolonel setelah prestasinya yang dianggap gemilang dalam [[Palagan Ambarawa|pertempuran Ambarawa]].
 
Pada tahun 1948 terdapat ''[[peristiwaPemberontakan MadiunPKI 1948|Peristiwa Madiun]]'' atau ''Madiun Affairs'' yang melibatkan pihak [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) dan [[Tentara Nasional Indonesia]]. Pemberontakan tersebut berada di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang kemudian berakhir diatasi dengan baik oleh TKR di bawah pimpinan Gatot SubrotoSoebroto. Saat melawan PKI, Gatot SubrotoSoebroto melancarkan operasi militer agar dapat memulihkan keamanan. Di sebelah barat, Gatot yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II ([[Kota Semarang|Semarang]]-[[Kota Surakarta|Surakarta]]) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
 
Panglima Besar [[Soedirman]] menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung [[MusoMusso]] dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat. Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
 
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung MusoMusso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk [[Amir Syarifuddin HarahapSjarifoeddin]], mantan Perdana Menteri Republik Indonesia, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot SubrotoSoebroto.
 
Tak berbeda jauh dengan pemberontakan yang ada di Jawa, di Sulawesi Selatan juga terdapat pemberontakan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh [[Abdul Kahar MuzakarMuzakkar]] pada tahun 1952. Lagi-lagi karena dinilai pandai dalam memasang strategi, Gatot SubrotoSoebroto diserahi untuk menumpas pasukan pemberontak dan kembali pulang dengan membawa kemenangan. Tak hanya sekadar kemenangan, para pemberontak pun juga berhasil dibujuknya agar kembali dalam barisan TKR. Berkat usahanya tersebut, Gatot SubrotoSoebroto diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro pada tahun yang sama.
 
Selama memimpin, Gatot SubrotoSoebroto dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, tegas, berani, dan membela kaum yang tertindas. Maka, pada tahun 1953, ketika terjadi kerusuhan di istana negara akibat tuntutan rakyat atas pembubaran parlemen ditolak, Gatot SubrotoSoebroto yang dituduh sebagai dalang kerusuhan tersebut langsung mengundurkan diri dari jabatannya sekaligus dari dinas militer. Pada [[1953]], ia mengundurkan diri dari dinas militer, tetapi tiga tahun kemudian diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) pada tahun [[1956]]. Melalui tangannya, ia berhasil melumpuhkan pemberontakan Pemerintah[[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-Perdjuangan|Pemerintah RakjatRevolusioner SemestaRepublik (Indonesia]]-[[Permesta|PRRI/PermestaPerjuangan Rakyat Semesta]]) yang ada di [[Sumatra]] dan [[Sulawesi Utara]].
 
Pada tanggal 11 Juni 1962, Gatot SubrotoSoebroto meninggal di usia 54 tahun. Pangkat terakhir yang disandangnya adalah Letnan Jenderal. Ia adalah penggagas akan perlunya sebuah akademi militer gabungan ([[Angkatan Darat]], [[Angkatan Udara]], [[Angkatan Laut]]) untuk membina para perwira muda. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pembentukan [[AKABRI|Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]] pada tahun 1965.
 
Melengkapi pangkatnya, seminggu setelah ia dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran, Jawa Tengah, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.283 tanggal 18 Juni 1962 disematkan kepadanya.<ref>{{Cite news|url=http://profil.merdeka.com/indonesia/g/gatot-subroto/|title=Gatot Subroto|authors=Atiqoh Hasan|publisher=profil.merdeka.com|date=|accessdate=5 September 2015|language=id|work=[[Merdeka.com]]|archive-date=2017-10-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20171021060421/https://profil.merdeka.com//indonesia/g/gatot-subroto/|dead-url=no}}</ref>