Jambi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Penambahan informasi dan referensi #HibahBukuMIF #TagarPribadi
Tag: halaman dengan galat kutipan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Kesultanan Islam: #HibahBukuMIF #TagarPribadi perbaikan referensi
Tag: halaman dengan galat kutipan VisualEditor
 
Baris 179:
Setahun kemudian, kontrak permanen ditandatangani yaitu tahun 1834 M. Setelah itu, hubungan Jambi-Belanda berjalan stabil di atas kertas, walaupun pada praktiknya isi kontrak tidak terlaksana secara optimal. Hubungan Jambi dengan Keresidenan Palembang yang membawahi Jambi sangat lemah, bahkan Residen Palembang tidak pernah lagi mengunjungi Jambi sejak tahun 1836 M. Hanya ada seorang perwira administratif yang berdiam di [[Muara Kumpeh, Kumpeh Ulu, Muaro Jambi|Muara Kumpeh,]] sampai kedatangan utusan Belanda di Kesultanan Jambi pada tahun 1852 M. Situasi internal Jambi tidak banyak berubah sampai masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Nasruddin (r. 1841-1855 M).<ref name=":1" />{{Rp|page=266}}
 
Perubahan situasi politik terjadi ketika [[Thaha Syaifuddin dari Jambi|Sultan Thaha Saifuddin]] {{Efn|text=Peneliti Jambi terdahulu menggunakan ejaan yang variatif untuk nama Thaha Saifuddin. Penulis memilih menggunakan ejaan tersebut, selanjutnya diringkas Thaha, merujuk pada penulisan aksara Arab pada stempel yang digunakan oleh sultan serta keumuman penulisan dalam institusi resmi di Jambi saat ini. Dalam stempel resmi kesultanan tertulis طه سيف الدين yang jika ditransliterasi ke dalam aksara Latin menggunakan Turabian style menjadi Taha Sayf al-Din. Dalam diskusi tahun 2016 lalu, Elsbeth Locher-Scholten menjelaskan alasannya menggunakan ejaan Taha merujuk pada penulisan dalam dokumen-dokumen Belanda.}}<ref>{{Cite Lebih jauh tentang ragam penulisan nama Sultan Thaha Saifuddin lihat journal|last=Abid,|first=M. "Husnul|date=2010|title=Saifuddin atau Safiuddin..."?: Kontekstualitaatau 25,Jambi no.di 2Pinggir (2010)Sejarah|url=https: hlm//www.neliti.com/publications/37092/saifuddin-atau-safiuddin-atau-jambi-di-pinggir-sejarah#id-section-content|journal=Kontekstualita: 335Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan|language=id|volume=25|issue=2|pages=37092|issn=1979-351.598X}}</ref> naik takhta menggantikan pamannya pada tahun 1855 M.<ref name=":1" />{{Rp|pages=9-10}} Karena sultan menolak mengakui kedaulatan Belanda atas Jambi sebagaimana yang diyakini Belanda berdasarkan perjanjian sebelumnya.<ref name=":1" />{{Rp|page=266}}
[[Berkas:Groepsportret met Sultan Thaha Syaifuddin van Djambi en zijn gevolg (1904).jpg|al=Potret bersama Sultan Thaha Saifuddin dari Jambi dan pengikutnya (1904)|jmpl|Potret bersama Sultan Thaha Saifuddin dari Jambi dan pengikutnya (1904)]]
Upaya Jambi mengidentifikasi diri dengan kesultanan Turki 'Uthmany semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan Thaha. Tidak hanya menjadi sultan yang anti kolonial, Sultan Thaha juga berusaha membangun jaringan dengan Turki 'Uthmany dalam sebuah relasi pan-islamisme. Ketika menghadapi situasi sulit atas tekanan Belanda untuk menandatangani kontrak baru setelah dibatalkannya kontrak tahun 1833 M, Thaha berusaha mendapatkan dukungan dari Turki 'Uthmany dengan mengirim surat pada ke sultan. Surat ini dikirim Sultan Thaha pada tahun 1857 M. Pertengahan tahun 1857 M pangeran ratu mengirimkan surat Sultan Thaha ke Turki melalui Singapura.<ref>{{Cite book|last=Tiderman|first=J.|last2=Sigar|first2=P. L. F.|date=1938|title=Djambi|location=Amsterdam|publisher=Koloniaal Instituut|url-status=live}}</ref>{{Rp|page=33}} Masa-masa upaya perundingan yang dilakukan Belanda, Thaha mengirim surat melalui koneksi-koneksinya di Singapura, di mana salah seorang yang bernama Sharif 'Aly menerima biaya perjalanan sejumlah 30.000 dolar Spanyol. Namun, Sharif 'Aly hanya berangkat sampai ke Mesir, di mana di sana dia mendapat surat palsu yang menyatakan bahwa Turki 'Uthmany telah mengesahkan pengusiran Belanda dari Asia Tenggara. Meski demikian, surat sultan tetap sampai ke Turki. Pemerintah Turki 'Uthmany berjanji tidak memberikan balasan setelah mengonfirmasi kepada konsulat Belanda terkait status Jambi, dan Belanda menjawab bahwa Jambi adalah wilayahnya. Setelah itu, kemungkinan ada utusan lagi pada tahun 1861 yaitu orang Arab-Singapura yang berangkat ke Mekah.<ref>{{Cite journal|last=Reid|first=Anthony|date=1967|title=Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia|journal=The Journal of Asian Studies|volume=26|issue=2|pages=267-283}}</ref><ref name=":1" />{{Rp|pages=101-102}}