Pengguna:Lim Natee/Bak pasir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Lim Natee (bicara | kontrib)
bak pasir wikilatih daring
Lim Natee (bicara | kontrib)
bak pasir wikilatih daring
Baris 1:
''La Galigo'', epos terpanjang di dunia, merupakan mahakarya sastra yang menjadi saksi sejarah peradaban masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Ditulis dalam aksara Lontara, epos ini mencerminkan warisan budaya yang telah bertahan selama berabad-abad. Pada tahun 2011, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengakui karyanilai sastrauniversal ''La Galigo'' dengan mencatatnya sebagai ingatanbagian kolektifdari duniaMemori sastra.Dunia La(Memory Galigoof adalahthe buktiWorld). peradabanPengakuan karyaini sastramempertegas Sulawesiperan Selatan''La yangGaligo'' berisikansebagai eposakar kebudayaan dan dituliskecintaan dalammasyarakat aksaraSulawesi Lontara.Selatan terhadap sastra.
 
Epos ini tidak hanya sekadar naskah kuno yang mengisahkan kehidupan manusia, tetapi juga karya seni sastra dengan keindahan bahasa yang luar biasa. ''La Galigo'' mengisahkan perjalanan hidup Sawerigading sebagai tokoh utamanya dan diperkirakan berasal dari tradisi lisan yang berkembang sejak abad ke-14. Naskah ini disusun dalam bentuk puisi yang khas, di mana setiap penggalan frasa terdiri atas lima suku kata. Dengan gaya berpuisi bersuku lima, ''La Galigo'' dikenal sebagai salah satu contoh sastra kuno yang mendalam dan unik.
La Galigo merupakan naskah kuno puisi sajak bersuku lima yang berasal dari abad ke-14 dan mengisahkan kehidupan manusia bernama Sawerigading. La Galigo ditulis pada daun lontar menggunakan aksara Lontara. Akibatnya banyak naskah yang hilang dan tersebar menjadi bentuk nyanyian, mantra, doa, dongeng, lagu pengantar tidur, dan lagu dalam tradisi. Oleh karena itu, terus dilakukan reproduksi terhadap La Galigo dalam bentuk tradisi lisan agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.
 
Awalnya, ''La Galigo'' ditulis pada media daun lontar menggunakan aksara Lontara. Namun, banyak bagian naskah yang hilang seiring waktu. Sebelum dibukukan, kisah ini menyebar dalam bentuk tradisi lisan, berupa nyanyian, mantra, doa, dongeng, hingga lagu pengantar tidur dan ritual adat. Tradisi lisan ini memungkinkan ''La Galigo'' tetap hidup dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menjadikannya sebagai simbol keberlanjutan budaya Bugis yang kaya dan beragam.