Suyati Tarwo Sumosutargio: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 38:
Suyati sendiri merupakan salah satu penari dalam pementasan Tari Langendriyan.<ref>Tarian yang menggunakan alur cerita, yang mirip dengan Wayang Orang, dan dialognya menggunakan tembang.</ref> Pada masa pemerintahan [[Mangkunegara VII]], pemain pada Tari Langendriyan berjumlah tujuh orang, yang kemudian disebut dengan ''Langendriyan Pitu''. Tokoh-tokoh yang diperankan pada ''Langendriyah Pitu'' meliputi: [[Damar Wulan|Damarwulan]], Minakjinggo, Dayun, Sabdopalon, Nayagenggong, Wahito, dan Puyengan.<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 38-39.</ref>
 
Sekitar tahun 1980-an, Suyati mendapatkan surat keputusan pengangkatan sebagai guru tari di [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]] dari [[Mangkunegara VIII]]. Surat tersebut diberikan kepada Suyati berkat dedikasi dan loyalitasnya dalam kesenian tari, walaupun sebenarnya dia berkeinginan setelah menikah hanya akan menjadi [[Dharma Wanita]] saja. Dengan surat keputusan tersebut, dirinya memiliki wewenang untuk mengatur segala sesuatu terkait dengan tarian khas [[Praja Mangkunegaran|Mangkunegaran]]. Suyati diangkat menjadi pelatih tari pada masa R.M.T. Tarwo Sumosutargio (suaminya) menjabat sebagai Ketua Langenpraja di [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]].<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 57-58.</ref>
 
Tari Mangkunegaran lain yang dikuasai oleh Suyati meliputi: Langendriyan, Bedhaya Bedah Madiun, Srimpi Pandhelori, Srimpi Muncar, Golek Lambangsari, Golek Montro, Srikandi Larasati, Srikandi Mustakaweni, [[Tari Gambyong|Gambyong]] (Gambyong Pareanom, dan Gambyong Retno Kusumo), Wireng (Blambangan Cakil, Janaka, Dasamuka, dan Karno Tanding), serta Langenkusumo. Suyati juga pernah menciptakan sebuah tarian pada tahun 1985, yaitu Tari Gambyong Langenkusumo, sebuah tarian yang memadukan antara [[Tari Gambyong]] dan [[Tari Golek Menak|Tari Golek]]. Adapun Tari Gambyong Langenkusumo ciptaan suyati tersebut merupakan hasil interpretasi baru atas tarian yang sudah ada, yang kemudian digali dan direkonstruksi ulang. Meskipun kaya akan pengalaman dan pengetahuan tentang seni tari, namun Suyati tidak pernah membuka sanggar tari sendiri. Baginya, cukup menjadi guru tari di [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]].<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 59-62.</ref>