Suyati Tarwo Sumosutargio: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 27:
Kehidupan Suyati di asrama dijalaninya bersama dengan 14 orang penari perempuan lainnya. Beberapa penari yang masih diingat oleh Suyati antara lain: Kunti, Seno, Sarbini, Suparni, Tugini, Sagiyem, dan Jaikem. Pada waktu itu, para wanita penari keraton tersebut (termasuk Suyati) tinggal di dalam ''keputren'' yang berada di dalam tembok istana. Masyarakat ''keputren'' memiliki pemerintahan yang diatur oleh ''abdi dalem'' perempuan, yang di dalam tatanan tersebut mengenal birokrasi. ''Abdi dalem'' yang dimaksudkan sebagian terdiri dari ''priyantun dalem'' dan sebagian lainnya direkrut dari kalangan rakyat umum.<ref>Ernawati Purwaningsih, dkk. (2013). hlm. 56-58.</ref> Penghuni ''keputren'' sendiri terdiri atas kelompok bangsawan dan bukan bangsawan yang tersusun secara hierarki. Kelompok yang pertama meliputi para putri keluarga dan kerabat raja, sedangkan kelompok yang kedua meliputi ''abdi dalem estri'' dan para ''abdi.''<ref>Prabowo, W.S. (2007). hlm. 34.</ref>
 
Kelompok penari perempuan seperti Suyati biasa disebut dengan ''bedhaya, magang priyantun'', ataupun ''abdi dalem priyantun''. Dari penyebutan tersebut tampak bahwa para ''[[abdi dalem]]'' ini mendapatkan perlakuan dan perhatian khusus dari raja.<ref>Ernawati Purwaningsih, dkk. (2013). hlm. 29-30.</ref> Hal tersebut disebabkan karena para ''bedhaya'' juga bertugas melayani raja atau permaisuri. Untuk menjadi ''bedhaya'', mereka dididik sejak usia dini, yaitu sejak masih memakai ''sabuk wala'' yang merupakan cara memakai kain dalam tradisi Jawa untuk anak usia 10-12 tahun. Apabila mereka sudah berusia 12-15 tahun, mereka mengenakan tatanan kain model ''pinjungan'' terkait perkembangan bentuk tubuhnya. Setelah dewasa, mereka harus mengenakan model atau tatanan berkain yang disebut dengan ''semekan'' atau ''ubet-ubet''.<ref>Prabowo, W.S. (2007). hlm. 35.</ref>
 
Pada saat Suyati diangkat menjadi penari di Istana Mangkunegaran, dia berada pada masa pemerintahan [[Mangkunegara VII]] yang dikenal memiliki semangat dan upaya memajukan kesenian, termasuk di dalamnya seni tari. Para putra dan ''narapraja'' di lingkungan [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]] pun diwajibkan belajar menari dan karawitan.<ref>Hermono, Ully. (2014), hlm. 21-22.</ref><ref name=":1" /> [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]] mendirikan Pakempalan Beksa Mangkunegaran (PBMN) sebagai wadah untuk memajukan berbagai kesenian tersebut. PBMN merupakan sebuah wadah belajar menari yang mirip dengan pendidikan formal. Dalam sistem pengajarannya, PBMN memiliki tingkatan-tingkatan atau kelas. Hasil evaluasi akhir belajar disampaikan dalam bentuk buku rapot, sedangkan pembagian kelas dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan bakat dan kemampuan dari para siswa.<ref>Prabowo, W.S. (2007). hlm. 155.</ref>