Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 110.139.186.70 (bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh 125.165.118.220
Baris 14:
 
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama [[Pertamina]] yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh [[Soebandrio]] kemudian diganti menjadi '''Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi''' (''Kontrar'') dengan Presiden [[Soekarno]] menjadi ketuanya serta dibantu oleh [[Soebandrio]] dan [[Ahmad Yani|Letjen Ahmad Yani]]. Bohari pada tahun [[2001]] mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa [[Orde Lama]] pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
 
=== Orde Baru ===
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada [[16 Agustus]] [[1967]], [[Soeharto]] terang-terangan mengkritik [[Orde Lama]], yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya '''Tim Pemberantasan Korupsi''' (TPK), yang diketuai [[Jaksa Agung Republik Indonesia|Jaksa Agung]]. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk '''Komite Empat''' beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, [[I.J. Kasimo]], [[Wilopo|Mr Wilopo]], dan [[A. Tjokroaminoto]], dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
 
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di [[Pertamina]], misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika [[Sudomo|Laksamana Sudomo]] diangkat sebagai [[Pangkopkamtib]], dibentuklah [[Operasi Tertib]] (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang ''bottom up'' atau ''top down'' di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.begitu
 
=== Era Reformasi ===
Baris 21 ⟶ 26:
Pada tanggal 16 Desember 2003, [[Taufiequrachman Ruki]], seorang alumni [[Akademi Kepolisian]] (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "''good and clean governance''" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota [[DPR]] RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
 
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "''island of integrity''" (daerah contoh yang bebas korupsi).
 
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam [[UU No. 31 Tahun 1999]] jo [[UU No. 20 Tahun 2001]]. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
 
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei ''Transparency Internasional'' mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai [[IPK]] (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
 
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan [[partai politik]] di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di [[Asia]], Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas [[India]] (8,9), [[Vietnam]] (8,67), [[Filipina]] (8,33) dan [[Thailand]] (7,33).
 
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "''corruption by needs''" (korupsi karena kebutuhan), "''corruption by greeds''" (korupsi karena keserakahan) atau "''corruption by opportunities''" (korupsi karena kesempatan).
Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
 
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh [[Antasari Azhar]] sebagai Ketua KPK
 
== KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009) ==